Potret Sang Syaikhah dan Semangat Keulamaan Perempuan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kalis

Potret Sang Syaikhah dan Semangat Keulamaan Perempuan

Jumat, 30 Agu 2019 16:25 WIB
Kalis Mardiasih
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Belakangan ini, perempuan diperdebatkan sebagai pakaian mana yang lebih asli dalam identitasnya sebagai manusia Indonesia. Satu pesan instan yang saya terima berisi foto-foto perempuan dengan kain hitam-hitam menutupi seluruh tubuhnya, juga lengkap dengan cadar penutup cadar, kemudian disemati judul bombastis: "inilah sejarah syariat Indonesia yang hilang." Kadang-kadang, foto perempuan membaluti seluruh tubuhnya itu lebih mirip sebagai gambaran perempuan pekerja perkebunan yang sedang menjaga tubuhnya dari angin atau penyakit dengan berselimut sarung, bukan sebagai "jilbab syar'i" seperti yang direferensikan oleh si penyebar pesan.

Mari kita mengenang Syaikhah Rahmah El-Yunusiyyah. Syaikhah adalah gelar yang diperoleh Rangkayo Rahmah El-Yunusiyyah dari Universitas Al Azhar, Mesir karena kiprahnya mendesain kurikulum sekolah khusus perempuan yang ia dirikan. Konon, Madrasah Diniyyah Putri Padang Panjang menginspirasi Kampus Al Azhar, bahwa pendidikan perempuan modern juga hal penting untuk peradaban. Sehingga, Al Azhar akhirnya mendirikan sekolah perempuan dan mendesain kurikulumnya. Rangkayo Rahmah, hingga hari ini belum mendapat gelar kepahlawanan, dan saya sangat berharap Presiden Jokowi mewujudkan hal tersebut.

Seringkali saya gusar, karena beredarnya potret Rangkayo Rahmah di media sosial maupun siaran pesan instan WA justru tidak sesuai dengan semangat yang ia nyalakan. Potret Syaikhah yang sering dipromosikan adalah potret Syaikhah dalam kain menutup tubuh semacam mukena, potret Rahmah El-Yunusiyyah yang paling banyak beredar di internet. Potret itu kemudian digunakan untuk menjustifikasi satu-satunya model "jilbab syar'i", dengan dua semangat melenceng.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, semangat politik identitas untuk tujuan klaim kebenaran kelompok konservatif atau bahkan pedagang jilbab syar'i. Sebuah broadcast yang memuat potret Syaikhah mengarahkan lebih kepada Arabisasi pakaian, dengan judul semacam "inilah sejarah jilbab asli Indonesia yang sesungguhnya", dibanding menggambarkan dengan jujur dan ilmiah tentang pakaian syariat kesopanan perempuan.

Kedua, semangat mendomestifikasi dan penundukan perempuan sebagai kepentingan politik maskulin yang menyertai bentuk pakaian yang serba tertutup itu. Nilai Syaikhah diringkus pada pakaian saja, menghilangkan pemikiran dan aktivitasnya yang jauh lebih besar.

Satu potret tentu saja tak cukup untuk menjelaskan sebuah situasi apalagi sebagai bukti peristiwa sejarah. Seperti suatu ketika, satu akun dakwah di Instagram mengunggah potongan video perempuan dengan kain di kepala sedang berjalan di kota London pada awal tahun 1900. Akun dakwah tersebut mengklaim, perempuan dalam video adalah muslimah asli Inggris dan potongan video itu diklaim sebagai sejarah muslim Eropa yang hilang. Padahal, sejarah muslim Inggris adalah sejarah migrasi orang India, Pakistan, Bangladesh setelah perang dunia kedua.

Hari ini, isu migrasi ini juga sering jadi pembahasan khusus dalam isu toleransi karena gesekan-gesekan sosial yang menyertainya. Lewat pencarian kecil di media sosial, saya lalu menemukan versi dokumenter utuh dari video tersebut. Perempuan-perempuan itu memang penduduk Manchester, hanya saja bukan muslim. Mereka adalah penduduk asli pekerja industri yang sedang kedinginan saja saat jelang musim salju.

Potret Syaikhah yang sebetulnya tentu saja ada banyak. Dalam kehidupan sehari-hari, Rangkayo Rahmah juga berkebaya dan memakai kain kerudung santun yang ia lingkarkan di kepala. Pakaian keseharian dan kain kerudung itu tentu sangat mendukung aktivitas di rumah dan pergaulan kemasyarakatan di tempat tinggal masing-masing, seperti banyak perempuan lain pada umumnya.

Ketika mengajar di madrasah, Rangkayo Rahmah memakai baju kurung sederhana dan kerudung lebih tertutup. Jenis foto semacam ini biasanya paling banyak beredar ketika menggambarkan tokoh tertentu dalam sejarah, karena kesan ketokohan dan formalitasnya.

Dalam potret lain, Syaikhah mengenakan kerudung dari kain renda putih khas Nusantara dan baju kurung khas Minang berbentuk jas yang sangat trendi dan terhormat ketika bertemu Syaikh Al Azhar ketika menerima gelar Doktor Honoris Causa. Hal yang menunjukkan bahwa sifat pakaian sangat situasional dan terkait dengan budaya setempat, misalnya saja jenis-jenis kain Nusantara yang menjadi bahannya.

Semangat sesungguhnya dari Rangkayo Rahmah adalah semangat keulamaan perempuan yang berpikir seutuhnya soal eksistensi kemanusiaan perempuan. Syaikhah bercerai dari suaminya karena menolak dipoligami. Ia kemudian bersikeras mendirikan sekolah perempuan, terpisah dari sekolah yang lebih dahulu dirintis oleh kakak laki-lakinya. Semangat Diniyyah Puteri sesungguhnya adalah melihat potensi perempuan dengan pengalaman khusus untuk kelak menjadi seorang Ibu, sehingga memerlukan nilai-nilai khusus pula untuk membentuk dirinya.

Syaikhah adalah seorang bidan, seorang social engineer, seorang aktivis organisasi lintas pergerakan yang sangat nasionalis, sekaligus punya kiprah di Laskar Hizbullah hingga Hizbul Wathan. Syaikhah adalah perempuan yang mengibarkan bendera merah-putih tinggi-tinggi bahkan sebelum proklamasi diumumkan di radio-radio.

Syaikhah menolak bantuan kolonial Belanda untuk sekolah yang ia bangun karena tidak mau kurikulumnya diatur-atur. Syaikhah bahkan menolak tawaran Buya Hamka agar Diniyyah Puteri bergabung saja dengan sekolah rintisan Muhammadiyah, sekali lagi karena Syaikhah memiliki misinya sendiri soal sekolah perempuan.

Jika ulama konservatif hanya mendefinisikan ilmu yang wajib dipelajari seorang perempuan hanya sebatas akidah dan fikih ibadah, Syaikhah berpandangan bahwa penting bagi seorang perempuan untuk paham ilmu jiwa, ilmu kesehatan, ilmu kriminologi, ilmu sosiologi, dan ilmu politik. Tentu saja ini sebuah pemikiran yang sangat berani, apalagi sebagai muslimah hal tersebut tak hanya berupa pemikiran, namun juga ia praktikkan.

Mengapa? Tentu karena pengalaman Syaikhah sebagai perempuan yang sejak zaman kolonial, zaman Jepang, hingga zaman Sukarno membentuk seutuhnya kedirian dan martabat nilai kemanusiaan perempuan yang ia yakini. Syaikhah terkenal banyak berseberangan dengan kebijakan-kebijakan Sukarno.

Selain itu, pandangan keulamaan perempuan ala Syaikhah pun semakin menarik sebab berkaitan dengan adat matriarki Minang yang ia alami secara autentik. Adat perempuan yang mewarisi pusako dalam rumah tangga, diartikan Syaikhah bahwa perempuan harus mampu mewarisi pusako itu dengan siap dan untuk kepentingan kemanusiaan. Bukan semata-mata pandangan sempit sebagian orang bahwa perempuan terkait dengan materi dan ujung-ujungnya adalah mendomestifikasi perempuan.

Syaikhah Rahmah El Yunusiyyah adalah ulama perempuan yang sangat menyejarah. Warisan yang ia tinggalkan abadi sepanjang zaman. Warisan yang ia tinggalkan sesungguhnya juga adalah mengambil Islam dengan nilai-nilai kemajuan yang berani mendobrak kejumudan berpikir dan sangat peduli pada pengalaman perempuan.

Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads