Pusat dan Pinggiran
Saya sendiri mencoba untuk menilik peristiwa ini melalui konteks eksistensi UAS dalam jagat dakwah Islam populer di negeri ini. Sebagai seorang juru dakwah, UAS tidak menyembul ke ruang publik masyarakat Indonesia tanpa asal-usul. Ia tidak pula sekonyong-konyong dikenal melalui acara kontes juru dakwah di layar kaca. Tegasnya, UAS bukanlah juru dakwah produk "Jakarta" yang sejauh ini selalu dipatok sebagai pusat kuasa perkembangan seluruh aspek kehidupan di Indonesia. Meminjam sebaris istilah dalam teori sosiologi, UAS dilahirkan dari rahim sejarah dakwah Islam pinggiran, atau wilayah di seberang Jakarta yang memiliki adat dakwahnya sendiri. Lalu ia tumbuh, berkembang, menyemarakkan, dan bahkan merebut mimbar-mimbar utama dunia dakwah Islam yang sejak lama "dikendalikan" oleh Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada masa itu dan mungkin hingga kini, Zainuddin adalah representasi dakwah Islam dari wilayah pusat kuasa. Kepadanyalah masyarakat dakwah di wilayah pinggiran atau wilayah yang bukan pusat menumpu. Sampai 1990-an, di belakang Zainuddin, dunia dakwah Islam di Indonesia dikuyupi oleh orang-orang dari pusat kuasa itu. KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dan KH Muhammad Arifin Ilham ada dalam deretan ini. Keduanya lalu diteruskan oleh Ahmad Al-Habsyi, Jefri Al-Bukhori, Yusuf Mansur, Mamah Dedeh, Soleh Mahmud (Solmed), dan banyak lagi. Kelak, para pesohor itu bahkan melebarkan sayap mereka ke dunia industri budaya populer seperti film, sinetron, dan iklan komersial.
Pada pertengahan warsa 2000-an, ruang dakwah di pusat kuasa sempat diterobos oleh juru dakwah dari Sulawesi Selatan, yaitu Ustadz Maulana. Sayangnya, ia tidak mampu membuat arus dan tipologi dakwah baru yang cukup berbobot untuk diacu. Bahkan ia seperti tak mampu untuk tidak mengekor tipologi dakwah ala Aa Gym, Arifin Ilham, dan para juru dakwah romantik lainnya. Pada tataran inilah, kemunculan UAS menemukan momentumnya. UAS dapat ditilik sebagai juru dakwah pembawa panji baru dakwah Islam populer dari wilayah pinggiran.
Ciri paling kuat dari UAS adalah kelekatan penampilannya kultur kaum pinggiran; busana sederhana, ceplas-ceplos, logat daerah yang kental, dan berjarak dari formalisme bahasa. Berbeda dengan para juru dakwah populer sebelumnya yang terkesan elitis, romantik, modis, nyeleb, dan lebih sering mengedepankan bahasa formal. Bahkan jika dibandingkan dengan para juru dakwah populer seangkatannya seperti Adi Hidayat dan Buya Yahya, UAS terasa jauh lebih dekat dengan kultur kejelataan.
UAS juga mampu bertindak bagaikan seorang dokter yang tegas dalam memberikan resep praktis. Ia selalu menempatkan diri untuk menjawab berbagai pertanyaan masyarakat. Mulai dari hukum bunga bank sampai masalah-masalah sensitif keagamaan. Ia menjawab semua pertanyaan itu langsung dari tempat duduknya. Tentu saja dengan tetap mengajukan ayat Alquran, hadis, pendapat ulama, dan melafalkan kitab-kitab berbobot yang menjadi rujukannya. Nilai lebih lain UAS adalah bahwa ia juga menjadi juru bela kebudayaan Islam lokal yang sering diserang dan dituding bid'ah oleh kaum muslim puritan.
Selain kecakapan tersebut, UAS memiliki latar belakang pendidikan Islam formal yang lebih dari cukup untuk sekedar hanya menegaskan kemumpunian. Apalagi UAS merupakan seorang akademisi yang menepati pendidikan hingga jenjang sarjana strata tiga. Ditinjau dari tradisi keulamaan di Nusantara, UAS barangkali dapat dianggap sebagai kelanjutan tradisi keulamaan di Indonesia, khususnya di Sumatera. Mulai dari Hamzah Fansuri (1590 M) dari Barus, Abdul Rauf al-Singkili (1693 M) dan Nuruddin Al-Raniri (1658 M) dari Aceh, Abdul Somad Al-Falimbani (1832 M) dari Palembang, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1916 M) dari Padang, Hasan Ma'shum (1937 M) dari Medan, dan ulama-ulama lainnya. Pada titik inilah, UAS mengungguli para juru dakwah dari pusat kuasa seperti AA Gym, Arifin Ilham, Yusuf Mansur, Solmed, dan ustaz-ustaz populer lainnya.
Oleh karena itu, melalui matra ini, UAS harus "diselamatkan". Ia merupakan aset diskursif bangsa yang mewakili kultur Islam pinggiran. Bersama UAS, ada narasi-narasi kecil tentang adat-budaya keislaman yang selama ini tidak terakomodasi dalam narasi besar adat-budaya keislaman yang dikonstruksi oleh Jakarta sebagai pusat kuasa wacana dan praktik keislaman di Indonesia. Meminjam Michel Foucault dalam Of The Other Spaces (1986: 23), UAS dan semesta adat-budaya keislaman yang menempel bersamanya adalah sebuah heteropia atau dunia di dalam dunia. Ia merupakan sang liyan yang sebelum kemunculannya, barangkali dianggap sempalan, mengganggu, menginterupsi, atau tidak kompatibel dengan wacana dakwah arus utama di Jakarta. Menghormati dan menghargai narasi-narasi kecil itu, sambil menyuntikkan serum anti-kebencian, tentu saja merupakan jalan penciptaan harmoni bernegara-bangsa.
Instantifikasi Agama
Terakhir, kasus "ceramah salib" UAS kiranya penting digamit sebagai bahan refleksi untuk melihat wajah agama di zaman peradaban android ini. Pertanyaan seorang hadirin ihwal salib pada dasarnya cukup wajar dilontarkan. Sayangnya, sebagai sebuah pertanyaan serius karena terkait dengan doktrin agama umat lain, ia kurang tepat diutarakan dan apalagi dijawab secara instan di dalam sebuah majelis berketerbatasan waktu, rujukan, dan penalaran. Namun, zaman android saat ini memang menghendaki agar segala sesuatu bisa disajikan secara instan. Tidak terkecuali agama.
Faktanya, saat ini agama juga telah mengalami instantifikasi. Layaknya makanan instan, agama cenderung ingin dipahami dan diamalkan dengan prinsip cepat jadi, mudah, murah, praktis, dan minus penalaran mendalam. Padahal, pada umumnya agama menggariskan agar umatnya memahaminya melalui upaya mempelajari ilmu-ilmu dasar keagamaan. Agar pengamalan agama benar-benar dibangun di atas fondasi yang kokoh dan sahih. Tentu saja itu membutuhkan proses yang tidak sebentar. Pada zaman instan ini, aspek prosesual dalam beragama tersebut cenderung dikesampingkan. Yang penting, agama bisa sangat mudah ditanyakan dan dijawab dalam sekelebat tatap.
Ada banyak riwayat sahih yang cukup sering terdengar perihal akibat dari serangan wabah instantifikasi agama ini. Misalnya cerita tentang seorang muslim yang baru berhijrah atau bertobat "kemarin sore", namun,sangat fasih mengklaim validitas keyakinan atau pengalaman religiusnya sambil menuding invaliditas keyakinan atau pengalaman religius orang atau umat agama lain. Dari sini amat terlihat bahwa nalar agama instan bukanlah proses, melainkan hasil. Bukan produksi, melainkan konsumsi. Di situlah kebencian kelak bersinggasana. Semoga UAS berkenan untuk meletakkan horizon ini dalam pertimbangan keberlanjutan ibadah dakwahnya.
MY Arafat dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakata
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini