Rakyat dan pasar dunia menunggu seperti apa wajah dan postur kabinet yang akan diumumkan kelak. Apalagi di balik penggodokan kabinet kemarin, berbagai manuver dan statemen elite politik sepertinya berusaha menjamah ruang senyap hak prerogatif Presiden tersebut dengan harapan kepentingan mereka diakomodasi. Ada yang secara halus menyodorkan jatah menteri, ada juga yang secara eksplisit. Bagi yang awam, sinyal tersebut dikhawatirkan akan mendikte pertimbangan taktis Presiden dalam memilih orang-orang kepercayaannya.
Padahal lima tahun ke depan dibutuhkan denyut kerja yang mampu memobilisasi terobosan maksimal di berbagai bidang pemerintahan. Sulit misi tersebut tercapai jika kompetensi dan visioneritas keterpilihan hanya menjadi ornamen keputusan Presiden, disisihkan oleh pertimbangan sosok berdasarkan kalkulasi politik belakang layar yang tidak mau ketinggalan mengisap madu kekuasaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berjangkar pada Rakyat
Jokowi tentu eling, di tengah dinamika politik yang alot, penuh riak tarik-menarik belakangan, dibutuhkan aktor-aktor penyokong kebijakan yang sevisi, solid, dan memiliki akseptabilitas dari publik. Menerjemahkan dan mendeterminasi program berkualitas pemerintah berbasis sumber daya unggul yang menentukan implementasi kebijakan kesejahteraan oleh pemerintah bukanlah hal mudah. Perlu dukungan gagasan transformatif orang-orang di dalam lingkarannya untuk menciptakan barikade sosial-politik terhadap efektivitas proses implementasi program-program Presiden sehingga 5 visi-misi Jokowi-Maruf Amin bisa terwujud.
Putusan formatur kabinet Jokowi nanti akan memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin transformatif yang tetap berjangkar pada agenda dan keinginan rakyat, bukan agenda temporal politik. Ia tidak saja membiarkan rakyat bebas mewacanakan aspirasinya tetapi juga memberikan stimulasi rasionalitas kepada publik terkait pilihan-pilihan vital dan menyejarah yang akan diambilnya.
Berkaca pada ahli politik Jane Bennett (dalam Gaus & Kukatahas, 2013), dengan meminjam pilihan matematis, dalam konteks penentuan "mesin kabinet" setidaknya menunjukkan derajat kematangan intensional Jokowi. Dari pilihan berbasis individual yang sarat dengan kalkulasi dan pertimbangan pribadi, yang kerap kali mengabstraksikan kriteria etika dan moral. Atau pertimbangan formalisme yang lebih menitikberatkan pertimbangan pengalaman, keahlian (manajerial) integritas, kita pada akhirnya berharap pilihannya pada pertimbangan rasional yang lebih melihat pada unsur kecakapan integritas dan kompetensi serta kepentingan nyata negara.
Meskipun di sisi lain mungkin disadari kelak akan ada gejolak penolakan psikologis akibat penetapan yang tidak linear dengan kaidah umum peta perpolitikan kekinian. Namun rakyat berharap Jokowi tidak membatalkan sekalipun upayanya melayani preferensi masyarakat yang semakin merindukan hadirnya pemerintahan yang bekerja dengan penuh kesungguhan sebagai presiden pilihan rakyat. Seperti bagaimana ia dulu memutuskan pengelolaan Blok Masela secara onshore ketimbang offshore, meskipun secara formalisme ataupun individualisme pilihan tersebut berpotensi mempengaruhi pendapatan negara, termasuk menghadapi ekses ketika 'mengusik' sarang mafia migas.
Namun manfaat pengembangan kawasan Timur Indonesia sebagai penjabaran dari diktum kebijakan "membangun Indonesia dari pinggiran" (yakni masyarakat miskin, tidak punya akses ke sumber daya esensial perawatan kesehatan, sedikitnya pendidikan dasar, tidak dapat berdiri tegak sama tinggi secara ekonomi, politik dan sosial)-lah yang menuntun Jokowi secara mantap melahirkan putusan populis tersebut, di tengah sinisme yang menyertainya.
Empat Basis
Kita setuju, masih banyak 'PR' yang harus dieksekusi Jokowi dengan melihat tantangan ke depan terutama bagaimana melanjutkan reformasi birokrasi di berbagai bidang, memberantas korupsi dan mafia, menstabilkan harga pangan dan kebutuhan pokok, termasuk juga mengawal pembangunan infrastruktur di daerah-daerah. Namun secara fundamental Jokowi sudah berupaya menerjemahkan prinsip-prinsip yang kokoh bagi penguatan politik demokrasi.
Karenanya momentum penentuan anggota kabinet diharapkan akan dibasiskan pada empat hal sebagai penentu ritme kerja lima tahun ke depan. Pertama, merawat nalar publik, dengan mendasarkan opsi keputusan pada keinginan dan rasionalitas publik, bukan pada kepentingan parsial atau perseorangan. Menurut John Rawls, nalar publik bersifat kesatuan, dapat dimengerti dengan mudah oleh individu-individu yang berpikir. Harus disadari, ancaman demokrasi sejatinya bukan berasal dari luar, tetapi justru dari dalam berupa budaya kekebalan terhadap nilai-nilai deliberasi dan suara genuine rakyat.
Kedua, pengejawantahan dari sebuah strict obligations (kewajiban total) yang tak bisa dikompromikan oleh seorang pemimpin untuk mengurus hal-hal urgensi terkait pemenuhan kepentingan publik. Ketiga, secara praktis wajah-wajah anggota kabinet harus mencerminkan spirit serius Jokowi untuk menyinambungkan upaya reformasi birokrasi publik dengan memperbaiki desain format dan strategi pelayanan terhadap publik yang berbasis pada integritas, kerja cerdas dan profesional. Kita senang karena formasi pembantu presiden kali ini akan diisi sosok "berdarah muda" di bawah 30 tahun. Sebuah pilihan untuk mentrengginaskan gerak dan spirit kabinet dalam melawan patologi kelambanan dan rutinitas kerja birokrasi.
Keempat, jika tiga basis tersebut dipraktikkan, maka sejatinya Jokowi sedang membangun antibodi politik bagi dirinya untuk keluar dari kungkungan pertimbangan pragmatisme politik yang didikte oleh kekuatan parpol. Jokowi tidak memberi ruang bagi desakan-desakan keinginan segelintir pihak atau kelompok yang menjauhkan ia dari kejernihan berpikir dan menimbulkan benih resistensi dari publik terhadap performa dan kewibawaan pemerintahannya. Antibodi (daya tahan) politik Jokowi inilah yang juga tengah dinantikan publik ketika harus merumuskan sikap nyata negara dalam menghadapi koruptor kelas kakap yang ingin merampok aset negara, para gembong narkoba dan teroris, para provokator dan aktor di balik konflik sosial, agama dan aneka kejahatan sosial lainnya.
Umbu TW Pariangu dosen FISIPOL Universitas Nusa Cendana, Kupang
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini