Menuju Ibu Kota Negara Maritim
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menuju Ibu Kota Negara Maritim

Selasa, 27 Agu 2019 11:20 WIB
Muhamad Karim
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Zaki Alfarabi/Infografis
Jakarta - Pemindahan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan amatlah wajar. Pasalnya, daya dukung Jakarta yang kini sebagai ibu kota negara sudah melampaui daya dukungnya (over carring capasity). Ini dibuktikan hasil kajian Kementerian PU 2010 yang mengukurnya dengan menggunakan jejak ekologi (Ecological Footprint/EF). EF adalah instrumen untuk mengukur pemanfaatan sumber daya dan kemampuan menampung limbah dari populasi manusia dikaitkan dengan kemampuan lahan (hektar). Parameternya: penggunaan lahan untuk tanaman, penggembalaan, kawasan hutan, penangkapan ikan, penyerapan karbon oleh tanah dan bangunan.

Jakarta sejak 2010 sudah mengalami defisit daya dukung. Terbukti, nilai EF-nya lebih besar dari biokapasitasnya (biocapacity) (baca: Rees, 1996). Biocapacity (BC) adalah ukuran ketersediaan lahan produktif secara ekologis (Ferguson, 2002). Nilai EF-nya sebesar 13.552.967 ha, sedangkan BC-nya 142.005 ha. Daya dukungnya defisit sebesar -13410962 hektar. Artinya, penggunaan sumber daya alam di Jakarta telah melampaui batas kapasitas alam untuk menyediakannya. Akibatnya, ia tak representatif lagi sebagai ibu kota negara. Soalnya, makin lama pertambahan populasi, transportasi, penggunaan sumber daya (lahan, kawasan pesisir, dan air tanah) makin tinggi.

Pilihan memindahkannya sebagai ibu kota negara amat rasional. Dan, jikaJokowi berkomitmen dengan visi Poros Maritimnya untuk mempoisisikan Indonesia sebagai pusat gravitasi ekonomi maritim, pilihan Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai calon ibu kota negara amatlah tepat. Apa keunggulannya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keunggulan Kaltim

Secara geografis, Kaltim memiliki keunggulan posisi strategis. Pertama, secara umum Pulau Kalimantan bukan jalur cincin api sehingga tidak rawan gempa bumi dan gunung meletus. Pulaunya aman untuk membangun infrastruktur gedung perkantoran, instalasi listrik, air bersih, jalan, jembatan, dan fasilitas publik lainnya dalam jangka panjang.

Kedua, letak Kaltim berimpitan dengan jalur pelayaran internasional yakni alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) II yaitu Selat Makassar. ALKI II melalui Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, Selat Lombok yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Jika ibu kota Indonesia di Kaltim, Pelabuhan Semayang, di Teluk Balikpapan yang bermuara di Selat Makassar amat strategis sehingga statusnya dinaikkan sebagai hubport internasional terbesar di Indonesia. Tujuannya, memudahkan lalu lintas arus barang dan jasa dari dan keluar negeri tanpa mesti melalui negara ketiga, semacam Singapura.

Indonesia bakal menjadi pusat pertumbuhan gravitasi ekonomi maritim kawasan. Pasalnya, berbatasan dengan Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Utara. Ditambah lagi wacana membuka terusan Palu yang menghubungkan Selat Makassar dan Teluk Tomini. Otomatis bakal mengakselerasi ekonomi Indonesia Tengah dan Timur yang berbasiskan kelautan (perikanan, industri maritim, dan wisata bahari). Strategis bagi pemerintah untuk melanjutkan visi poros maritim dunia.

Ketiga, Kaltim telah memiliki infrastruktur yang memadai. Di antaranya Jalan Tol Balikpapan-Samarinda bakal beroperasi 2019, bandar udara bertaraf internasional yaitu Sultan Aji Muhammad Sulaiman di Balikpapan dan Aji Pangeran Tumenggung Pranoto di Samarinda, serta Pelabuhan Laut Semayang, Balikpapan. Pemerintah pusat yang baru tidak perlu lagi membangunnya.

Keempat, Kaltim memiliki sumber produksi energi terbesar di Indonesia berupa minyak bumi dan gas alam (migas) hingga batu bara. Migas diproduksi lepas pantai. Batu bara diproduksi di daratannya. Ibu kota baru nantinya tidak sulit memasok penyediaan energi listrik untuk kebutuhan industri (pengolahan dan maritim), bahan bakar transportasi, rumah tangga, perkantoran, dan infrastruktur teknologi digital.

Kelima, lahan untuk membangun ibu kota negara baru relatif tidak membutuhkan biaya yang besar. Pasalnya tanahnya berupa tanah negara. Pemerintah tinggal mengalihfungsikannya bila berdekatan dan/atau di kawasan hutan lindung, misalnya Bukit Soeharto. Imbasnya, para cukong tanah tak bakal memainkan harga karena statusnya milik negara. Apalagi, Jokowi hendak mengembangkan konsep ibu kota berbasiskan hutan (forest city). Otomatis, kawasan hutan tetap dipertahankan dan hanya memanfaatkan tanah-tanah kosong di sekitarnya sebagai kawasan perkantoran. Kawasan permukiman bakal dikembangkan di sekitar kota-kota satelitnya seperti di Tenggarong, Bontang, dan Balikpapan.

Keenam, Kaltim memiliki sumber daya kelautan dan perikanan. Di antaranya luas perairan 10.217 km2 dan memiliki 100 pulau-pulau kecil. Potensi perairan umumnya seluas 2,77 juta hektar. Diperkirakan mampu memproduksi ikan sebesar 69.348 ton. Sayangnya baru dimanfaatkan 20,4 persen. Di perairan lautnya terdapat kawasan segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle) yang memiliki keanekaragaman hayati laut (ikan, terumbu karang) yang tinggi. Di daerah ini terdapat kawasan wisata bahari Kepulauan Derawan (Berau) dan Pulau Maratua.

Juga, ada fauna endemik berupa pesut mahakam dan bekantan (Nasalis larvatus) berhabitat mangrove. Kekayaan biodiversitas ini merupakan destinasi wisata yang mesti dijamin keberlanjutannya. Tatkala ibu kota negara pindah di Kaltim, bukan tidak mungkin wisata bahari bakal berkembang pesat di daerah ini.

Ketujuh, Kaltim merupakan daerah multi-etnis, di antaranya Bugis-Makassar, Jawa, Dayak, Kutai, Batak, Madura, Buton, hingga orang asing. Bahkan suku-suku berbudaya maritim seperti Bajo, Bugis, dan Makassar mendiami wilayah pesisirnya. Namun, tak pernah terjadi konflik antar-etnik. Mereka beraktivitas dalam beragam kegiatan ekonomi. Mulai dari perdagangan, transportasi, jasa, nelayan, dan pembudaya ikan, petani perkebunan, pengusaha tambang, hingga aparat pemerintahan. Artinya, pertimbangan geokultural juga penting karena akan mempengaruhi dinamika dan interaksi sosial ekonomi dan politik yang berkembang di masa datang.

Kedelapan, daya dukung ekologinya masih relatif baik. Nilai EF-nya sebesar 7.125.912 hektar, sedangkan BC-nya 10.081.779 hektar. Maka, daya dukungnya surplus 2.955.867 hektar. Ini menandakan segala aktivitas penggunaan sumber daya alam di Kaltim belum melampaui batas kapasitas alam untuk menyediakannya (Kemen PU, 2010). Meskipun bisa saja saat ini berubah sejak 2010. PR-nya adalah bagaimana mampu mempertahankan daya dukungnya agar tetap surplus meskipun nantinya ada pembangunan ibu kota negara.

Kota Berkelanjutan

Memilih Kaltim sebagai calon ibu kota negara amatlah tepat. Tinggal pemerintah mempertimbangkan dan menghitung daya dukung lingkungan dan kapasitas asimilasinya secara komprehensif. Jangan sampai menimbulkan konflik baru secara sosial-budaya, politik, ekonomi, agraria, maupun ekologi. Pasalnya, Kaltim masih menyisakan kekayaan biodiversitas darat (hutan lindung dan faunanya), perairan (sungai, pesisir, laut), dan pulau kecil beserta flora dan faunanya yang termasuk endemik. Mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan kota berkelanjutan jadi keniscayaan.

Pembangunan kota berkelanjutan ialah sebagai upaya meningkatkan kualitas kehidupan kota dan warganya tanpa membebani generasi yang akan datang akibat berkurangnya sumber daya alam dan menurunnya kualitas lingkungan (Urban21 Conference, 2000). Konsep ini menyelaraskan kepentingan keadilan ekonomi, sosial, dan ekologi. Intinya, warga kota mesti peduli, bertanggung jawab, dan menghemat pemanfaatan sumber daya pangan, air, dan energi yang dikenal kalangan pemikir alternatif sebagai degrowth. Mereka juga lebih memanfaatkan sumber daya alam terbarukan dan mengurangi pencemaran. Umpamanya, penggunaan biofuel (minyak sawit) dan bioenergi.

Kota berkelanjutan menekankan tiga prinsip dasar. Pertama, kesetaraan antargenerasi (intergeneration equity). Kedua, keadilan sosial (social justice) dalam kesenjangan akses dan distribusi sumberdaya alam secara intragenerasi untuk mengurangi kemiskinan. Ketiga, adanya tanggung jawab transfrontier yang menjamin pergeseran geografis dampak ekologi sehingga meminimalisasi kompensasi. (Haughton and Hunter, 1994).

Teknologi informasi (digitalisasi) yang mempengaruhi seluruh kehidupan manusia mau tidak mau bakal diintegrasikan dalam pembangunan ibu kota negara baru. Makanya, akan berkembang kota berkelanjutan yang inovatif dan kota cerdas (smart city) berbasis digital. Prinsip-prinsip ini tak boleh diabaikan karena bakal menimbulkan reaksi protes dari kalangan masyarakat sipil dan aktivis lingkungan. Mengapa? Supaya tindak menimbulkan defisit sosial-budaya (konflik dan intoleransi), ekonomi (kesenjangan dan kemiskinan), dan ekologi (kutukan sumber daya alam dan tragedy of common) sehingga perpindahannya tidak memproduksi masalah baru yang lebih kompleks.

Mungkinkah terpilihnya Kaltim sebagai bu kota baru sekaligus menandai Indonesia menuju era baru sebagai negara maritim? Semoga!

Muhamad Karim Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, dosen Universitas Trilogi Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads