Dunia Tak Seperti yang Anda Pikirkan

Kolom

Dunia Tak Seperti yang Anda Pikirkan

Mumu Aloha - detikNews
Minggu, 25 Agu 2019 12:40 WIB
Mumu Aloha (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Setiap kali mengantre di kasir toko buku, saya selalu tergoda untuk mencuri-curi lihat, buku apa yang sedang dibeli oleh orang yang berada di depan saya. Jika rumput tetangga selalu tampak lebih hijau, maka berlaku pulalah bahwa buku yang dibeli orang lain biasanya juga tampak lebih menarik, dan membuat kita juga ingin membelinya. Minimal, pilihan dan selera orang lain bisa menjadi informasi baru buat saya.

Tapi, belum lama kemarin, seorang perempuan muda yang sedang menyelesaikan transaksi di depan kasir membuat saya yang berdiri di belakangnya melongo sampai terlongong-longong. Orang itu membeli buku kumpulan Teka-Teki Silang (TTS) dari sebuah koran nasional ternama, sebuah buku yang diterbitkan berseri dengan tagline "Antipikun dan Antistres".

Maaf, saya tidak sedang melakukan "book shaming", atau menilai dan menghakimi selera orang pada buku. Tapi, hari gini membeli buku TTS? Yang benar saja! Saya segera teringat seorang teman yang juga suka membeli buku TTS yang sama, dan pernah saya ledek. Setelah saya menyelesaikan pembayaran atas buku yang saya beli di kasir, tergopoh-gopoh --karena sudah tak tahan lagi-- saya langsung mengirim pesan via WA pada teman saya itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ternyata, di luar sana, orang-orang yang beli buku TTS kayak kamu itu nyata adanya hehehe," seloroh saya.

Teman saya langsung membalas, "Huuuuu....Itu diterbitkan sampai berjilid-jilid karena ada yang beliiiii...."

"Di era digital yang supersibuk ini ada orang se-selo itu ngisi TTS?" pancing saya, benar-benar ingin memahami "fenomena apa ini"?

"Teman kantorku juga ngelus dada, sekarang kan ada apps-nya, ngapain beli bukunya," balas dia, bukan menjawab pertanyaan tapi justru memberikan informasi baru.

"Aku bilang, ya beda dooong...seni ngisi TTS itu setelah bisa menjawab satu nomor, terus nomor pertanyaannya dicoret," dia menyambung, lagi-lagi dengan informasi yang bagi saya yang awam --dan sinis-- dengan dunia per-TTS-an, itu merupakan sesuatu yang baru.

"Kenapa nggak beli korannya aja yang memuat TTS itu tiap Minggu?" kejar saya.

"Mosok demi ngisi TTS harus beli koran, bagian lainnya nggak dibaca!"

***

Sebenarnya, tanpa harus berdiskusi dan membahasnya panjang lebar, sama sekali tak ada yang aneh dari fakta tentang orang yang membeli buku kumpulan TTS, terlepas apapun eranya --digital, pra-digital, maupun post truth. Masalahnya bukan pada fakta ataupun orang tersebut, melainkan pada diri saya sendiri. Saya sering kali berpikir bahwa dunia di luar sana, dengan berbagai kejadian, peristiwa, dan realitas yang ada senantiasa sesuai dan tak pernah berbeda dengan apa yang ada di dalam kepala saya.

Bukan berarti saya naif atau pun "nggumunan", melainkan saya punya kecenderungan untuk selalu berpikir dalam kerangka generalisasi. Apa yang terjadi pada diri saya, apa yang saya alami dan rasakan, serta merta saya anggap sama dengan semua atau minimal kebanyakan orang lain, begitu pun sebaliknya. Bukankah sebagian dari kita memang seperti itu?

Orang yang menyukai durian akan terheran-heran ketika mendapati bahwa "di luar sana" ada orang yang bahkan mencium baunya saja muntah-muntah. Bagi kita yang suka durian, buah itu adalah yang paling lezat di antara semua buah yang ada di bumi dan di langit. Maka, lantas, ketika ternyata ada teman kita yang tidak doyan durian, kita mungkin akan mengatainya "bodoh". Itu contoh kecil yang sepele saja, bahwa perbedaan, dalam hal apapun, sering membuat kita tak siap untuk menerimanya.

Mungkin otak dan mental kita memang terkondisikan, oleh lingkungan atau pergaulan atau bahkan pendidikan baik dalam keluarga maupun di sekolah, untuk menerima hal-hal yang sesuai dengan pengalaman, pengetahuan, dan jangkauan referensi yang kita miliki. Dulu waktu di SMA ada teman yang memilih jurusan A3 (Ilmu Sosial), padahal nilainya cukup memadai untuk dia memilih jurusan A2 (Biologi), bahkan A1 (Fisika). Dan, itu membuat kami, bahkan para guru heran dan menyayangkan, seolah-olah pilihan itu sesuatu yang patut disesali. Itu sekadar contoh lain untuk memperluas ilustrasi betapa kita, sadar atau tidak, kerap menerapkan rumus-rumus yang baku dalam memandang dunia ini. Bahwa dunia adalah apa yang kita pikirkan.

***

Sekarang kita hidup di era internet, era digital, era sosmed. Cara kita melihat dunia dan kenyataan dengan pemikiran yang cenderung menyederhanakan, dan menggeneralisasi, semakin menjadi-jadi. Apa yang ramai di timeline, apa yang menjadi trending topic, apa yang viral, itulah ukuran bagi kita untuk melihat dunia. Ketika ada video seorang ustaz kondang yang dinilai melukai perasaan umat beragama lain yang heboh di media sosial, kita pun langsung dengan mudahnya menyimpulkan bahwa toleransi antarumat beragama sedang berada dalam situasi darurat.

Tentu saja, kita tidak menutup mata bahwa kasus-kasus "intoleransi" banyak terjadi dalam berbagai bentuknya, di sejumlah daerah, dalam tahun-tahun belakangan ini. Tapi, apakah lantas kita harus berpikir bahwa toleransi agama dalam masyarakat kita memang benar-benar segawat itu? Banyak hal yang perlu kita tata dan benahi lagi, itu betul. Tapi, kita juga harus cukup bijak untuk selalu melihat sisi lain yang barangkali tidak terekspos media dan menjadi perhatian publik secara luas.

Tahukah Anda, salah satu buku terlaris yang terbit di Indonesia? Judulnya Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya karya seorang biksu Budha, Ajahn Bram. Buku yang diterjemahkan dari judul asli Opening the Door of Your Heart itu per Agustus 2019 ini telah dicetak ulang sebanyak 40 kali sejak diterbitkan pertama kali pada April 2005. Kalau Anda tahu, itu buku tentang apa dan siapa penerbitnya dalam edisi terjemahan Bahasa Indonesia, maka cukup beralasan bagi Anda untuk merasa ikut gembira.

Ya, walaupun buku tersebut bukanlah "buku pelajaran" agama Budha, namun tak dapat dipungkiri isinya jelas mengandung spirit dan nilai-nilai dari ajaran agama tersebut. Namun, fakta bahwa buku itu demikian laris, dan artinya digemari masyarakat secara umum, menjadi bacaan spiritual universal yang mencerahkan bagi siapa saja yang membacanya tanpa peduli apa agamanya, kita boleh merasa lega bahwa umat beragama di negeri itu tidaklah sekaku seperti isi ceramah sang ustaz kondang tadi, yang melihat simbol agama lain dengan pandangan yang melukai perasaan dan keyakinan orang yang berbeda dengan kita.

Jangan terlalu ikut arus kehebohan, dan melihat satu keping fakta sebagai cara untuk melihat dunia. Di luar diri kita, di luar timeline media sosial kita, di luar isi kepala kita, dunia terbentang demikian luasnya. Satu kejadian tidak selalu dan belum tentu mewakili kenyataan seluruhnya. Jangan terlalu mudah menggeneralisasi, menarik kesimpulan, dan merumuskan. Ketika semua orang bergegas, serba ingin cepat, tak tahan untuk segara ikut berpendapat, ada baiknya kita justru memperlambat --langkah kita, pemikiran kita.

Orang ramai bicara tentang bitcoin, Libra, cashless society, nyatanya kita masih dikejutkan dengan berita tentang segepok uang yang disimpan di lemari, dan dimakan rayap. Orang ramai bicara tentang revolusi industri 4.0, artificial intelligence, internet of things, virtual reality, remote working....Kita tenggelam dalam keterhubungan digital, berjalan sambil chatting, pasang foto dan memperbarui "status" setiap sepuluh menit sekali, nyatanya masih ada orang yang menemukan keasyikan dengan mengisi TTS.

***

Setiap berangkat ke kantor, angkutan umum yang saya naiki melewati sebuah tempat pemancingan. Saya selalu melongokkan kepala ke luar jendela kaca untuk melihat orang-orang yang "sepagi" itu sudah ramai nongkrong di tepi empang, sibuk memasang umpan, duduk memegang joran, melempar tali pancing ke tengah kolam. Dan, saya selalu bertanya-tanya dalam hati, siapa orang-orang itu?

Apakah mereka tidak bekerja? Apakah mereka orang-orang yang "sudah selesai dengan hidupnya" --wirausahawan sukses, pensiunan kaya, pemilik start-up yang perusahaannya baru saja dibeli investor kakap? Siapapun mereka, saya selalu mendapat semacam "pencerahan" setiap kali melihat orang-orang itu. Bahwa ternyata hidup selalu bisa dijalani dengan cara lain. Bahwa di tengah ketergesaan dan tuntutan untuk serba cepat, masih ada orang-orang yang bahkan hanya diam menunggu.

Melihat mereka, jiwa saya yang selalu "kremungsung" menjadi sedikit tenang. Saya yang risau oleh kemacetan lalu lintas karena harus buru-buru sampai ke tempat kerja menjadi lebih santai. Para pemancing ikan yang selalu ramai mengelilingi empang itu seolah menjawab pertanyaan Milan Kundera lewat tokohnya dalam novel Kelambanan:

Mengapa kenikmatan dari kelambanan lenyap? Ah, ke mana perginya mereka, orang-orang yang berjalan santai tahun lalu? Ke mana perginya mereka, para pahlawan yang bermalas-malasan terlena dalam lagu rakyat, para pengembara yang menjelajahi mil demi dan tidur di bawah bintang? Sirnakah mereka bersama jalan-jalan setapak, bersama padang rumput dan pembakaran hutan, ataukah bersama alam?

Mereka masih ada, antara lain menyamar (atau menjelma?) menjadi para pemancing ikan di sebuah tempat pemancingan di pinggiran selatan Jakarta. Dan, para pembeli buku kumpulan TTS yang meyakini, seperti dibilang teman saya, bahwa ada "seni" tersendiri dari meletakkan huruf-huruf dalam jumlah tertentu yang membentuk kata yang tepat sesuai dengan jumlah kotak-kotak yang berjajar menurun dan mendatar. Sebuah seni yang hanya bisa dipahami dan dirasakan oleh mereka yang dalam hidupnya tak pernah dan tak perlu merasa diburu-buru. Dalam berjalan dan berpikir, maupun dalam berpendapat dan membalas chat.

Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads