Pasca kemerdekaan di bawah Presiden Sukarno, bangsa kita membenci segala anasir yang kontra revolusioner. Presiden Sukarno dahulu selalu berseru: revolusi belum selesai! Pada era Orde Baru, bangsa kita diajarkan untuk membenci komunisme dan segala sesuatu yang berbau anti-NKRI dan anti-Pancasila. Setelah reformasi bergulir bersamaan dengan jaminan kesetaraan hak sipil-politik setiap warga negara, rasa kebencian terhadap agama, ras, dan etnik tertentu yang dibentuk sejak masa lalu nyatanya tidak pernah hilang.
Rasa kebencian yang menyejarah jelas menimbulkan masalah pelik dalam relasi sosial masyarakat di Indonesia. Seperti kasus penurunan bendera merah putih di Surabaya, 16 Agustus 2019 lalu. Dengan serta merta gelombang massa menuduh mahasiswa asal Papua yang tinggal di dalam asrama sebagai oknum dan penjahat yang telah melakukannya, meski tidak didasari pada bukti yang kuat. Satu-satunya pemicu dari tudingan serampangan itu adalah stereotip kepada orang-orang Papua yang dianggap anti-NKRI, dan prasangka rasis yang sangat menyudutkan.
Stereotip kuat ini muncul karena dibentuk dari konteks sosial dan sejarah yang panjang. Terutama pada era Orde Baru yang secara masif memprogandakan kebencian kepada pihak yang dianggap anti Pancasila dan anti-NKRI: dalam hal ini termasuk masyarakat Papua --dipicu dari kegagalan referendum penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 yang membuat Papua dengan terpaksa harus menjadi bagian dari Indonesia (MacLeod, 2011).
Indonesia memang membutuhkan Papua mengingat lokasi ini secara geologis memiliki sumber daya alam menguntungkan bagi negara. Lagi pula, tidak lama pasca Soeharto mengambil tampuk kepresidenan, hal pertama yang dilakukan adalah membentuk UU Penanaman Modal Asing (PMA) disusul masuknya Freeport ke dalam Papua.
Dengan kata lain, ada kepentingan ekonomi-politik Orde Baru dalam mempertahankan Papua di balik ajakan untuk membenci gerakan separatisme yang tumbuh pasca Pepera 1969. Dampaknya hari ini sangat jelas: ketimpangan dalam relasi sosial. Seolah ada superioritas ras di atas ras Melanesia yang tidak lain adalah orang Papua asli. Dari ketimpangan relasi sosial inilah yang menyebabkan stereotip itu muncul, dan sewaktu-waktu bisa meledak sekalipun dipicu dengan peristiwa yang barangkali cukup remeh.
Sampai titik ini, tesis Greenwalt (1995) yang menyatakan akibat dari provokasi kebencian dapat berujung pada reaksi kekerasan memang benar adanya. Apalagi rasa kebencian itu diutarakan melalui simbol dan bahasa tertentu --seperti 'monyet', misalnya-- yang dapat membangkitkan ingatan akan kekerasan dan menimbulkan aksi kekerasan lebih lanjut (Imparsial, 2017). Kerusuhan sosial di Manokwari dan Sorong adalah bukti nyata reaksi keras pihak-pihak yang tersudutkan akibat provokasi kebencian dari kelompok dominan.
Menelusuri Akar Kebencian
Kebencian yang telah melekat dalam bangsa kita adalah masalah yang sangat kompleks. Ada beberapa alternatif pendekatan untuk menelusuri asal-usul dari kebencian yang telah berurat-akar di dalam tubuh bangsa kita.
Pendekatan yang pertama berangkat pada asumsi bahwa rasa kebencian itu muncul sebagai reaksi dari penyingkiran dan penyiksaan yang pernah dilakukan oleh kelompok tertentu di luar diri kita. Penjelasan tentang mengapa sebagian dari bangsa kita sangat membenci "asing" dan "aseng" adalah contoh yang relevan untuk memahami pendekatan ini.
Kebencian tersebut jelas dipicu oleh penyingkiran terhadap kelompok yang selama ini kita anggap sebagai identitas asli Indonesia (pribumi). Walaupun sebetulnya, penggolongan masyarakat antara pribumi dan non-pribumi ini juga didasarkan atas kebijakan rasial dan diskriminatif pemerintah kolonial Belanda.
Di era kolonialisme, posisi pribumi berada dalam strata yang paling bawah, di mana posisi teratas adalah bangsa Eropa disusul dengan etnik Cina. Dalam banyak hal, rasa kebencian akibat peminggiran ini justru lebih besar di kalangan muslim. Sebab dalam konteks sejarahnya, masyarakat muslim terutama kalangan pengusaha, tersingkirkan dari mata rantai perniagaan yang didominasi non-pribumi (Eropa dan Cina).
Untuk itulah mengapa di era tersebut dibentuk Serikat Dagang Islam (SDI), kemudian menjadi Serikat Islam (SI), yang awalnya difungsikan untuk melindungi kepentingan kelas pengusaha muslim (Hadiz, 2015). Pada awal pemerintahan Sukarno, usaha untuk mengangkat posisi kelas pengusaha muslim dan pribumi pernah diupayakan melalui program benteng, meskipun gagal.
Memasuki era Orde Baru, terutama ketika negara kita kelimpahan "durian runtuh" dari boom harga minyak, justru Presiden Soeharto mengistimewakan kelas pengusaha Cina dan beberapa pengusaha "elite pribumi" yang dekat dengannya melalui pemberian berbagai lisensi dan monopoli (Robison, 1986). Lagi-lagi kelas pengusaha muslim dan pribumi akar rumput harus minggir, yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk mewujudkan aspirasi kelompoknya dalam kepentingan ekonomi. Tidak hanya itu, aspirasi kelompok yang merasa pribumi dan muslim dalam kebijakan negara juga cenderung tersingkir.
Maka tidak heran jika hari ini suara-suara sumbang "anti-asing" dan "anti-aseng" menjadi sangat kuat. Kebencian, terutama dari kelompok muslim dan yang merasa pribumi, kepada kelompok "asing" dan "aseng" itu tak pelak berbuntut pada kekerasan rasial dan identitas.
Ironisnya, cara-cara penyingkiran yang dilakukan oleh Belanda terhadap Indonesia juga dilakukan oleh Indonesia terhadap Papua. Dengan alasan yang sama antara Indonesia terhadap Belanda, kebencian masyarakat Papua terhadap Indonesia juga begitu kuat. Maka, kemunculan kelompok separatis seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) akan mendapat penjelasan yang logis.
Kemudian, jika orang-orang menjadi benci terhadap kelompok tertentu karena terpinggirkan, mengapa kebencian juga bisa tumbuh di antara orang-orang yang tidak terpinggirkan oleh kelompok tertentu di luar dirinya? Masyarakat di Jawa tidak pernah tersingkirkan oleh masyarakat Papua, tapi kenapa ada sebagian di antaranya yang membenci?
Peneliti LIPI Amin Mudzakkir (2017) menyebut kebencian berasal dari pembelahan kultural di masa lalu. Namun, argumen Ariel Heryanto (2018) yang menyebut bahwa kebencian muncul dari angan-angan atau obsesi atas "keaslian" sebetulnya lebih tepat. Yang dimaksud obsesi ini adalah keinginan bagi masyarakat untuk menyangkal elemen lain yang dianggap bukan bagian dari identitas tertentu.
Dalam pendekatan ini, kebencian muncul karena sebagian masyarakat di Jawa merasa "lebih NKRI" dibanding dengan Papua yang cenderung "anti-NKRI". Oleh sebab itulah jargon seperti "NKRI harga mati, yang tidak suka, keluar saja!" adalah bentuk angan-angan untuk membentuk identitas NKRI yang murni. Dia akan menyangkal kelompok-kelompok yang tidak terdefinisi sebagai NKRI seperti komunisme, khilafah, dan --dalam beberapa kasus-- Papua, karena akan mencemari keaslian identitas NKRI.
Tetapi menurut saya, tentu saja angan-angan itu tidak akan muncul begitu saja. Sebab, kebencian adalah sesuatu yang dikonstruksikan dengan sengaja, terutama oleh kekuasaan negara. Apa yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk menyingkirkan kelompok anti-Pancasila dan anti-NKRI adalah bukti nyata bagaimana kebencian itu ditanam di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Penanaman kebencian pada era Presiden Soeharto memberikan bekas yang mendalam kepada bangsa kita hari ini. Obsesi akan "keaslian" menguat lagi saat isu intoleransi di negeri ini juga menguat. Saat angan-angan untuk menjaga "kemurnian" NKRI menguat, sensitivitas kita terhadap perilaku yang bertentangan dengan prinsip NKRI yang "murni" juga akan tinggi.
Oleh sebab itu, penggerebekan massa terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya adalah ledakan peristiwa akibat obsesi akan "keaslian" NKRI bagi sebagian orang. Begitupun kebencian terhadap Papua, dan stereotip yang melekat di dalamnya, adalah manifestasi sejarah yang memang sudah dibentuk lebih dari setengah abad yang lalu.
Bukan Masalah Sepele
Pada akhirnya saya ingin menunjukkan bahwa peristiwa kerusuhan di Manokwari, atau konflik-konflik sosial di berbagai daerah yang pernah terjadi, sejatinya adalah puncak gunung es semata. Oleh sebab itu, hanya dengan saling memaafkan saja tidak akan pernah menyelesaikan persoalan.
Peristiwa serupa bisa muncul sewaktu-waktu, dan bisa juga mereda sewaktu-waktu. Jangan sampai kita menganggap bahwa konflik sosial yang ada di dalam negara ini adalah peristiwa yang terjadi tiba-tiba. Ada kebencian yang tertanam, dan sampai pada titik paling bahaya, adalah ledakan besar dalam bentuk peristiwa genosida (Mahoneey, 2010). Tentu kita tidak mau sejarah buruk ini sampai terjadi (lagi).
Lebih penting lagi, jika bangsa ini membiarkan rasa kebencian terhadap kelompok tertentu, akan membuat kelompok yang dibenci semakin merasa tertindas, makin tidak percaya diri, dan rasa takut yang semakin besar (Greenwalt, 1995). Jika situasi ini dibiarkan terus-menerus, ketimpangan sosial akan semakin lebar. Kelompok-kelompok yang dominan akan semakin dominan, sedangkan kelompok yang dibenci akan semakin tersingkirkan.
Grady Nagara Manajer Program NEXT Policy
(mmu/mmu)