Minggu ini serangkaian peristiwa memilukan terjadi di Tanah Air. Kekerasan demi kekerasan yang mengoyak persatuan dipertontonkan oleh sebagian anak bangsa. Bermula dari tragedi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Semarang hingga demonstrasi besar di Manokwari dan Jaya pura. Semua itu terjadi dengan bungkus perbedaan-perbedaan latar belakang budaya yang mengarah kepada konflik rasial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi justru saat Indonesia sedang merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan. Sungguh sebuah ironi, bahwa persatuan dan kesetaraan masih dipertanyakan pada bangsa yang telah berusia 74 tahun dan telah masuk pada derajat 20 negara dengan pertumbuhan ekonomi yang baik ini.
Apa yang Salah
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya ingin mencoba mengurai dari perspektif kekerasan sebagai ekspresi komunikasi. Peristiwa-peristiwa kekerasan adalah pesan politik yang ingin disampaikan oleh pelaku ketika mereka tidak bisa lagi mengatakan atau menuliskannya. Kata kuncinya adalah "mengatakan sesuatu dengan melakukan sesuatu". Ketidakmampuan komunikasi itu bisa berarti pelaku tidak memiliki kosa-kata yang cukup untuk mengekspresikan keinginannya, bisa juga karena panggung-panggung komunikasi publik telah hilang di negeri ini.
Insiden-insiden kekerasan yang terjadi baik di Surabaya, Malang, Manokwari ataupun Jayapura memiliki kata kunci dan pola relasi antarpesan yang serupa. Setidaknya ada tiga perkara yang terselip dalam peristiwa-peristiwa tersebut, yakni relasi daerah dengan pusat, perebutan kekuasaan, dan akses terhadap sumberdaya. Ketiganya kemudian dilengkapi dengan bumbu "penegakan hukum" dan aksi anggota organisasi masyarakat sipil.
Setelah memperhatikan tiga perkara yang muncul pada setiap konflik, saya ingin mengajak pembaca untuk sejenak mengingat apa yang baru saja terjadi. Belum lama ini Indonesia menggelar peristiwa besar pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Walaupun tidak sedikit orang yang merasa pileg dan pilpres adalah hajatan rutin yang tidak istimewa, keduanya adalah peristiwa yang melibatkan sebagian besar penduduk Indonesia dan menyedot sumberdaya yang nyaris tak terhitung. Di antara orang-orang yang sedang merayakan kemenangan dan optimisme masa depan, ada orang-orang yang dirundung penyesalan dan kekhawatiran karena cita-cita politik mereka kandas.
Bahwa ada pihak kalah dan menang itu sudah lumrah. Tetapi menang dan kalah, terpilih atau tidak hanyalah permukaan dari persoalan besar yang terpendam. Mari kita kesampingkan pikiran bahwa pileg dan pilpres adalah perebutan kekuasaan semata. Lebih dari itu semua keduanya adalah pertarungan gagasan, cita-cita, serta harapan-harapan besar. Seorang calon presiden adalah simbol dari jutaan harapan para pendukungnya. Sementara itu satu orang calon legislatif menyimpan harapan aspirasi para pendukungnya dari kampung-kampung sampai kota besar.
Calon-calon legislatif dan calon presiden yang gagal dalam pemilihan 2019 adalah adalah simbol dari cita-cita besar dan harapan sebagian anak bangsa yang terancam gagal menyusul para calonnya. Ke mana harapan dan cita-cita itu akan berlabuh dan bagaimana mereka yang gagal tetapi berpartisipasi dalam membangun adalah pesan penting yang harus dikomunikasikan dan dicari benang merahnya.
Musabab Konflik Sosial
Pertama-tama yang harus dilakukan pemerintah adalah mendengar permintaan untuk penindakan tegas para perusuh dan aktor intelektual di belakangnya. Pemerintah tidak boleh menunggu waktu lagi untuk mengadili dan menghukum mereka yang bersalah. Kemudian secara paralel proses dialog juga harus dibangun dengan cara memperbaiki saluran-saluran komunikasi selama ini gagal menjalankan fungsinya. Kemudian terakhir adalah memastikan bahwa aspirasi politik kelompok-kelompok oposisi, termasuk kelompok ekstremis, terkomunikasikan dengan baik.
Pendekatan hukum dan keamanan sudah lama dianggap bukan cara terbaik untuk menyelesaikan konflik sosial. Tetapi jika dilakukan dengan adil, pendekatan ini akan memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahawa negara telah hadir memberikan rasa aman bagi mereka. Benar bahwa kekerasan adalah bagian dari ekspresi komunikasi, tetapi undang-undang kita jelas mengatur bahwa kekerasan tidak boleh menjadi cara untuk menyampaikan aspirasi apapun, termasuk aspirasi poltik.
Gesekan-gesekan antarkelompok yang berujung pada bentrok fisik ternyata juga didukung oleh peran media. Persaingan antarindustri "media baru" yang memanfaatkan kekuatan internet dan digital lebih sering mengutamakan kecepatan. Media-media daring berlomba-lomba mengejar clickbait untuk menjadi yang tercepat dalam menyajikan berita. Tanpa mengesampingkan jasa para jurnalis dan industri media, target clickbait ini harus diakui telah mengesampingkan akurasi data, dan karenanya konflik antarwarga menjadi semakin sulit untuk diurai.
Kesalahpahaman antarwarga juga didukung oleh hilangnya fungsi-fungsi ruang pertemuan antawarga. Pertemuan-pertemuan warga untuk saling sapa dan udar gagasan telah digantikan oleh grup-grup chat melalui media sosial. Pertemuan antarwali murid yang dulu santai dan kekeluargaan kini menjadi agenda terselubung sekolah untuk meminta dukungan atas kepentingan-kepentingan sekolah. Bahkan pusat-pusat serap aspirasi politik anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menelan anggaran besar juga tidak lebih dari kampanye untuk kepentingan partai politik dan elektabilitas calon.
PR untuk Jokowi
Pemerintah telah sukses membangun infrastruktur, meningkatkan tingkat pendidikan warga, dan bertahan dari krisis ekonomi global. Kesuksesan-kesuksesan itu tidak boleh berhenti sampai di situ. Capaian-capaian Presiden Joko Widodo pada periode pertama ini tidak boleh menjadi alasan pembenar terjadinya pengesampingan pada aspek sosial.
Sebenarnya, inisiatif itu telah dimulai. Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya, tempat konflik ini bermula, telah memulai komunikasi itu dengan baik. Tanpa terlebih dahulu mencari siapa yang bersalah, Khofifah Indar Parawansa dan Tri Risma Harini dengan penuh penyesalan meminta maaf atas kejadian di Surabaya. Selain pemerintah, kalangan masyarakat sipil seperti Ikatan Keluarga Besar Papua dan Nahdlatul Ulama, serta sejumlah tokoh-tokoh Papua dan ormas lain juga telah mengambil peran yang menyejukkan. Jauh sebelumnya, pemerintahan terdahulu, pada era Presiden Gus Dur, juga telah meletakkan fondasi penting untuk mengelola Papua dengan segala dinamikanya dengan partisipatif.
Inisiatif telah dimulai, kini saatnya pemerintah pusat melanjutkan upaya tersebut pada skala yang lebih luas dan berjangka panjang. Penegakan hukum diperbaiki, regulasi dalam bermedia harus ditata dengan baik, inisiatif kecil masyarakat untuk bersosialisasi harus difasilitasi, pendidikan harus dikembalikan pada fungsinya, dan yang terakhir kanal-kanal aspirasi harus dibuka seluas-luasnya.
(mmu/mmu)