Berdasarkan data BKPM, total investasi yang telah mengalir ke sektor pariwisata sejak 2015 hingga semester I-2018 mencapai Rp 67,04 triliun. Rata-rata pertumbuhannya sekira 35,5% per tahun. Namun kontribusi investasi sektor pariwisata terhadap total investasi nasional baru sekira 3,03%. Dari total investasi pariwisata tersebut, sebanyak 77% berupa penanaman modal asing (PMA), dan sisanya 23% adalah penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Singapura mendominasi investasi asing di sektor ini dengan kontribusi 39,1% (Rp 19,39 triliun), disusul Hong Kong-RRT 12,2% (Rp 6,05 triliun), British Virgin Islands 10,2% (Rp 5,05 triliun), Korea Selatan 3,8% (Rp 1,88 triliun), dan Jepang 3,5% (Rp 1,72 triliun).
Investasi yang masuk ke sektor pariwisata sejak 2015 sebagian besar digunakan untuk pembangunan hotel dan restoran yang mencapai Rp 52,91 triliun. Selanjutnya adalah untuk perumahan, kawasan industri, dan perkantoran Rp 1,75 triliun, serta jasa lainnya Rp 12,37 triliun. Dan khusus di 10 Bali Baru, sampai semester pertama tahun lalu investasi yang masuk telah mencapai Rp 28,51 triliun, atau 42,5% dari total realisasi investasi pariwisata sepanjang 2015 hingga semester I-2018. Realisasi terbesar ada di DKI Jakarta, disusul Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Melihat perkembangan angka investasi pariwisata nasional yang ada, rasanya agak sulit untuk memenuhi target Kemenpar yang mematok angka Rp 500 triliun untuk 2019. Masalahnya tak berbeda dengan sektor infrastruktur, yakni keterbatasan ruang fiskal. Sehingga, untuk mencapai target investasi pariwisata juga diperlukan keterlibatan pihak swasta dengan skema-skema pembiayaan kreatif yang saling menguntungkan. Salah satu skema yang lazim kita kenal adalah Public Private Patnership (PPP) atau Kemitraan Pemerintah dan Swasta.
Pembangunan sektor pariwisata dengan skema PPP diyakini bisa menjadi solusi pembiayaan yang risikonya tak sepenuhnya ditanggung swasta ataupun pemerintah. Ada sisi positif yang layak dipertimbangkan dari penerapan PPP, yakni berupa adanya penghematan biaya, percepatan perbaikan tingkat pelayanan, dan munculnya multiplier effect (manfaat ekonomi yang lebih luas misalnya penciptaan lapangan kerja, pengurangan tingkat kriminalitas, peningkatan pendapatan).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk menghindari dampak-dampak negatif yang akan muncul, proses PPP haruslah dilandasi payung hukum yang jelas, baik mengenai pembagian insentif maupun mengenai tanggung jawab masing-masing pihak. Dengan demikian, sejatinya harus ada perjanjian kontrak yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab masing-masing pihak di mana ada ketentuan pembagian risiko dan timbal balik finansial yang didapat oleh pihak-pihak yang terlibat. Bagaimanapun, keterlibatan pihak swasta yang mampu menyediakan keuangan dan tenaga ahli diyakini akan membantu fungsi pemerintah sebagai motor pelaksana pembangunan sektor pariwisata.
Selain itu, skema PPP akan menciptakan sistem tata kelola sektor pariwisata yang bersih karena dalam hal ini pemerintah juga bisa melaksanakan fungsi kontrol terhadap sektor swasta yang terlibat, begitu juga sebaliknya. Namun perlu diingat, mengingat sifatnya adalah investasi, maka hubungan yang terjalin antara pemerintah dan sektor swasta haruslah bersifat mutual benefit alias hubungan saling menguntungkan yang diikat kontrak untuk jangka waktu tertentu. Dan yang paling penting, keuntungan yang didapat oleh pihak swasta nantinya tidak merugikan proses pembangunan sektor pariwisata dan tidak mengurangi kemanfaatan yang selayaknya diterima oleh segenap stake holder pariwisata, baik lokal maupun nasional. Oleh karena itu pembatasan waktu dan kejelasan tentang mutual benefit harus ditahbiskan di dalam kontrak.
Jika merujuk pada konsep besar PPP, maka kerja sama yang terjalin antara pemerintah dan pihak swasta dapat dilakukan dalam beberapa cara, seperti service contract, management contract, lease contract, concession, Build Operation Transfer, Joint Venture Agreement, dan lain-lain. Masing-masing bentuk kerja sama tersebut mewakili beberapa keunggulan dan kelemahannya.
Sebut saja misalnya skema service contract, yang merupakan kerja sama pemerintah dengan pihak swasta untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam jangka waktu relatif pendek, misal satu sampai lima tahun. Pihak swasta berposisi sebagai pemilik aset dan penanggung jawab risiko keuangan secara penuh. Di dalam proses ini tidak terlalu membutuhkan komitmen politik, biaya recovery, regulasi, dan informasi dasar. Contohnya pengumpulan dan pembuangan sampah alias penanggung jawab kebersihan di kawasan destinasi, perawatan fasilitas dan infrastruktur pariwisata, yang kesemuanya bisa saja dimitrakan kepada pihak swasta.
Selanjutnya adalah management contract. Kerja sama jenis ini tidak jauh berbeda dengan service contract. Yang membedakannya adalah kerja sama dilakukan pada tingkatan operasional manajemen dan maintenance dengan jangka waktu beberapa tahun, misalnya. Posisi pihak swasta adalah sebagai pemilik aset, investor, dan bertanggung jawab atas risiko finansial dalam batasan minimal. Biasanya secara teknis, dalam proses seleksi, hanya ada satu kali kompetisi dan tidak ada pembaharuan perjanjian. Keunggulan dari management contract adanya keterlibatan pihak swasta yang lebih kuat. Namun kelemahannya manajemen tidak memiliki pengawasan yang kuat secara menyeluruh (meliputi keuangan, kebijakan pegawai, dan sebagainya). Contohnya tidak jauh berbeda dengan service contract seperti pengelolaan fasilitas umum sektor pariwisata seperti tempat parkir, pengelolaan tiket destinasi, atau perawatan dan pengelolaan toilet umum.
Lalu ada skema lease contract, di mana pemilik modal adalah sektor publik (pemerintah) namun pihak swasta turut menanggung risiko keuangan (risiko menengah). Kelemahannya akan menimbulkan potensi konflik antara pihak swasta sebagai operator pelaksana dan sektor publik (pemerintah) sebagai pemilik modal. Contohnya pengelolaan taman hiburan, bandara, dan armada bis, dan sebagainya.
Ada pula skema concession atau konsesi. Skema ini merupakan kerja sama yang melibatkan pemerintah/publik dan swasta sebagai pemilik modal dalam jangka waktu 20 sampai dengan 30 tahun. Posisi pihak swasta sebagai penanggung jawab operasional, pemodal, pemeliharaan, dan menanggung risiko secara penuh. Keunggulannya pihak swasta mendapatkan kompensasi penuh. Di sisi lain sektor publik/pemerintah mendapatkan manfaat peningkatan efisiensi operasional dan komersial dalam investasi dan pengembangan SDM-nya. Namun untuk mengembangkan investasi dan infrastruktur dalam jangka waktu yang lama perlu komitmen politik, regulasi, kapasitas pemerintah, recovery cost, dan analisis kemampuan yang tinggi. Oleh karena itu, semua otoritas yang terkait harus sering duduk bersama untuk melahirkan komitmen yang kuat. Contoh konsesi misalnya pembangunan jalan tol menuju destinasi, pelabuhan laut dan udara menuju destinasi, pengelola amenitas untuk MICE di destinasi, dan sebagainya.
Kemudian ada Build Operate Transfer. Skema yang acap singgah di telinga kita ini merupakan kerja sama PPP di mana investasi dan komponen utamanya adalah peningkatan pelayanan publik untuk jangka waktu 10 sampai dengan 30 tahun. Posisi pihak swasta sebagai penanggung jawab operasi, pemelihara, pemodal, dan penanggung jawab risiko serta pihak swasta juga akan mendapatkan imbalan sesuai dengan parameter produktivitasnya. Skema ini bisa dilakukan untuk investasi sektor pariwisata yang berorientasi profit, tapi juga memiliki benefit signifikan untuk publik pariwisata, seperti pengelolaan destinasi milik pemerintah secara penuh, atau pembangunan dan pengelolaan moda transportasi pendukung kawasan destinasi, dan lain-lain.
Dan satu lagi skema PPP yang sering kita dengar adalah Joint Venture Agreement. Dengan skema ini, investasi dan risikonya ditanggung bersama antara pemerintah dan pihak swasta. Di sini tidak ada batasan waktu, hanya berdasarkan kesepakatan saja. Kerja sama tersebut melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah, non pemerintah, swasta, dan sebagainya atau stakeholder terkait. Masing-masing pihak saling berkontribusi. Dengan skema joint venture, pemerintah dan swasta saling berbagi dalam menyumbangkan sumber daya yang ada (baik finansial maupun SDM kepariwisataan). Memang ada sedikit kelemahan dengan sistem ini, yakni ada peluang penyalahgunaan investasi di mana pemerintah memberikan subsidi kepada pihak swasta atau pihak lainnya dalam pelaksanaan kerja sama tersebut yang seharusnya dihindari.
Perlu Kajian
Nah, terkait skema PPP yang layak diterapkan, perlu dilakukan kajian mendalam yang ujungnya adalah untuk melahirkan skema yang sesuai dengan kondisi di masing-masing destinasi. Dengan kata lain, harus dibentuk tim khusus terlebih dahulu untuk merumuskan model kerja sama PPP yang akan ditawarkan itu. Tim terdiri dari beberapa pihak yang kompeten di bidang pariwisata dan di bidang investasi, mulai dari praktisi pariwisata, investor pariwisata, pihak pemerintah yang concern pada bidang investasi dan pariwisata, pihak kampus, pengamat, pemerintah daerah, dan lain-lain. Hasilnya nanti akan berupa paket-paket PPP untuk destinasi-destinasi yang sedang diprioritaskan, sepaket dengan target-target investornya. Semoga.
Dony Oskaria Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) dan Ketua Pokja Industri Pariwisata KEIN RI