Kotak Pandora Perubahan Konstitusi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kotak Pandora Perubahan Konstitusi

Selasa, 20 Agu 2019 14:20 WIB
Yance Arizona
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pembahasan amandemen UUD 1945 (Foto: Rengga Sancaya)
Jakarta -
Gagasan untuk melakukan perubahan UUD 1945 kembali mengemuka setelah PDIP menyelenggarakan Kongres di Bali baru-baru ini. Salah satu mandat dari Kongres PDIP adalah mendorong untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun untuk mengadakan kembali GBHN tersebut harus dilakukan dengan amandemen terhadap UUD 1945.

Ide untuk menghidupkan GBHN bukanlah hal baru. Sebelumnya pada masa kepemimpinan Taufik Kiemas, MPR sudah memulai inisiatif serupa. Seakan, agenda reinkarnasi GBHN adalah suatu wasiat politik dari Taufik Kiemas untuk dilanjutkan oleh PDIP.

Melakukan amandemen UUD 1945 untuk mengadakan GBHN bukanlah perkara yang sederhana, sebab sekali kunci amandemen UUD 1945 dibuka, ia seperti kotak pandora yang akan memancarkan berbagai cahaya dan memberikan kesempatan untuk mengubah berbagai aspek lain dari konstitusi. Sehingga amandemen konstitusi dikhawatirkan tidak terkendali dan bisa membuat Indonesia yang sudah mulai menata demokrasi terperosok kembali dalam kubangan otoritarianisme atau oligarki.

Meskipun PDIP menghendaki adanya amandemen UUD 1945 secara terbatas, hal itu tidaklah memberikan garansi, sebab tidak pasti garis batasannya sejauh mana. Selain itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah mengintai sebab sejak lama telah mendorong perubahan konstitusi untuk memperkuat posisinya dalam ketatanegaraan Indonesia. Tak dapat dielakkan, kompromi-kompromi akan berlangsung sebab amandemen konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan mayoritas anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD.

Tiga Simpul Utama

Dari sisi waktu, sebenarnya sudah cukup bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan perubahan konstitusi yang dibuat sebagai hasil Reformasi yang dimulai sejak tumbangnya Orde Baru pada 1998. Setelah kurang lebih dua puluh tahun, kita bisa melihat dimensi mana dari konstitusi yang perlu dibenahi untuk keberlanjutan pembangunan demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hasil kajian komprehensif itulah hendaknya yang menjadi dasar bagi setiap inisiatif untuk melakukan perubahan konstitusi. Tanpa itu, arah perubahan konstitusi akan menjadi liar dan bisa jadi tak terkendali.

Setidaknya ada tiga tema besar yang akan diperbincangkan ketika kotak pandora perubahan konstitusi dibuka. Pertama, perdebatan ideologis antara Pancasila vs Islam. Upaya untuk mengislamisasi Negara Republik Indonesia sudah berlangsung sejak sepanjang usia Republik Indonesia itu sendiri. Pada 1945, hal itu mendapatkan titik temu setelah serangkaian sidang BPUPKI, pembentukan Piagam Jakarta, sampai akhirnya penetapan Pembukaan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Intinya, Pancasila dan UUD 1945 menjadi titik kompromi sementara sampai dibentuknya konstitusi yang permanen.

Perdebatan ideologis ini kembali mengemuka ketika diadakan sidang Konstituante 1956-1959 untuk membentuk konstitusi baru. Kelompok partai Islam di parlemen mendorong konsep Demokrasi Islam sebagai dasar negara sebagaimana tercermin dalam pandangan Mohammad Natsir (Masyumi), Kasman Singodimoedjo (Muhammadiyah/Masyumi), dan Abdul Wahab Chasbullah (Nahdlatul Ulama). Sementara kelompok Islam lainnya bergerilya di luar parlemen untuk mewujudkan negara Islam seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang dihadapi oleh pemerintah dengan aksi militer.

Pada 5 Juli 1959, Sukarno membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Ketika dilakukan amandemen UUD 1945 pada 1999 sampai 2002, hanya PKS dan PBB yang memiliki agenda syariat Islam. Kedua partai itu memiliki suara minor dan tak dapat mempengaruhi secara substansial hasil amandemen kala itu. Hasil Pemilu 2019 juga tidak meletakkan partai Islam sebagai kelompok dominan di parlemen. Namun bedanya, saat ini gerakan Islam politik di luar parlemen semakin menguat dan siap memanfaatkan setiap momentum politik ketatanegaraan.

Sejalan dengan kebijakan desentralisasi, kelompok Islam politik memanfaatkan momentum dengan mendorong daerah-daerah untuk mengeluarkan peraturan daerah yang bernuansa syariat Islam. Selain itu mereka juga memanfaatkan pemilihan kepala daerah dengan kampanye pilih pemimpin muslim dan mencapai puncaknya pada Pilkada Jakarta. Resonansi gerakan ini dimanfaatkan pula oleh kandidat presiden dalam Pemilu 2019. Besar kemungkinan kelompok ini akan mengintervensi proses amandemen konstitusi untuk memasukkan agenda syariat Islam ke dalam konstitusi Indonesia.

Apalagi dalam perjalanannya kelompok ini berkolaborasi dengan sebagian kelompok militer mempromosikan "NKRI Bersyariah". Sebagian kelompok militer tidak suka dengan konstitusi hasil Reformasi sebab membuat mereka kehilangan privilege politik. Meskipun representasinya di parlemen lemah, gerakan ini cukup mengkhawatirkan membanjiri ruang diskusi publik, terutama melalui media sosial. Sehingga tensi politik yang sudah mulai tenang pasca Pilpres 2019 bisa heboh kembali.

Kedua, penyelenggaraan negara dan hubungan antar lembaga negara. Agenda PDIP untuk menghidupkan kembali GBHN masuk dalam rumpun ini. Demikian juga hasrat DPD untuk memperoleh kewenangan yang setara dengan DPR dalam proses legislasi. Tema ini tidak bisa dilihat secara parsial sebab satu perubahan punya implikasi terhadap rancang bangun kelembagaan negara. Misalkan, ide GBHN terkait dengan kedudukan MPR, pemilihan presiden dan pertanggungjawaban presiden. Secara teoritik, yang menjadi concern beberapa ahli hukum tata negara, hal ini terkait dengan konsistensi penerapan sistem pemerintahan presidensial serta pemisahan kekuasaan.

Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa evaluasi terhadap desain penyelenggaraan negara tetap dibutuhkan untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan responsif. Antara lain dengan memberikan jaminan konstitusional terhadap keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penguatan peran Komnas HAM, Ombudsman, dan Komisi Yudisial. Penataan kelembagaan negara harus selalu terikat dengan semangat untuk mewujudkan demokrasi, bukan oligarki. Jadi, meskipun terkait dengan lembaga negara dan pengisian jabatan politik, persoalan ini harus dibahas secara terbuka memastikan adanya masukan dari ahli dan masyarakat.

Ketiga, penguatan hak warga negara. Salah satu perubahan paling fundamental dari empat kali amandemen UUD 1945 adalah hadirnya ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia yang sebelumnya sangat terbatas. Namun setelah dua dekade, apakah serangkaian pasal hak asasi manusia itu berhenti sebagai sebuah katalog, atau betul-betul hadir dalam kenyataan?

Terkait dengan hal itu, tulisan ini memberikan refleksi terkait dengan pemenuhan hak masyarakat adat dan agenda reforma agraria untuk kesejahteraan petani. Bagi gerakan masyarakat adat di Indonesia, hambatan untuk pemenuhan hak masyarakat adat justru bersumber dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang setengah hati mengakui keberadaan masyarakat adat dikarenakan model pengakuan bersyarat. Sehingga peraturan turunan dari konstitusi memperumit proses pengakuan hukum terhadap masyarakat adat. Akibatnya, masyarakat adat yang wilayah adatnya dirampas oleh pengusaha atau pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk mempertahankan wilayah adatnya. Konflik agraria dan perampasan wilayah adat justru meningkat dan meluas sejak Indonesia memasuki demokratisasi dan desentralisasi dengan konstitusi yang baru.

Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya hidup dari sektor pertanian, tetapi kata "petani" tak satu pun ditemukan di dalam konstitusinya. Bandingkan dengan Brazil dan Filipina yang di dalam konstitusinya memberikan prinsip-prinsip dasar untuk pembaruan agraria dan sumber daya alam bagi kesejahteraan petani dan pelestarian lingkungan hidup. Sudah saatnya Indonesia memiliki konstitusi reforma agraria yang memberikan tugas kepada pemerintah untuk menjalankan reforma agraria sebagai agenda pembentukan republik yang belum tuntas lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka. Selama ini penyelenggara negara selalu mengelak menjalankan reforma agraria karena tidak ada mandat yang tegas dan otoritatif dari konstitusi untuk menjalankannya.

Selain itu, sudah banyak putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan koreksi penting untuk melengkapi konstitusi terkait dengan jaminan hak asasi manusia baik di bidang sosial dan politik maupun di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Perkembangan yang muncul dalam penerapan konstitusi dapat dijadikan sebagai sumber untuk dinormakan ke dalam perubahan UUD 1945.

Cara Perubahan Dilakukan

Hal yang tidak kalah penting dari diskusi tentang apa yang mau diubah adalah tentang bagaimana cara perubahan konstitusi dilakukan. Pasal 37 UUD 1945 menentukan bahwa usulan perubahan konstitusi dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 anggota MPR (238 kursi). Sidang untuk perubahan konstitusi dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR (475 kursi) dan keputusan dapat dicapai bila disetujui oleh sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh anggota MPR (356 kursi).

Mekanisme perubahan konstitusi Indonesia termasuk mekanisme yang sederhana dan sepenuhnya terletak pada proses politik. Bahkan secara kalkulasi, seluruh anggota DPR (575 kursi) di MPR dapat mengubah UUD 1945 tanpa persetujuan dan kehadiran anggota DPD (136 kursi). Koalisi partai pendukung Presiden Jokowi sudah memiliki 349 kursi di MPR (PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP) dan itu sudah memenuhi syarat mengajukan usul perubahan konstitusi. Butuh 126 kursi tambahan untuk mengadakan sidang MPR. Oleh karena itu, rencana bergabungnya Partai Gerindra (78 kursi) ditambah salah satu dari tiga partai baik itu Partai Demokrat (54 kursi), PKS (50 kursi), ataupun PAN (44 kursi) ke dalam koalisi pro-pemerintah sudah cukup memberikan kekuatan kepada partai politik mengobrak-abrik arsitektur konstitusi kita.

Untuk menghindari hal-hal buruk terjadi, maka perubahan konstitusi sebaiknya tidak dibatasi hanya pada proses politik di parlemen, melainkan perlu ditambah dengan proses akademis dan proses partisipasi publik. Proses akademis dalam bentuk kajian komprehensif dari berbagai ahli mengenai substansi perubahan yang diajukan. Beberapa negara bahkan membentuk Komisi Konstitusi mempersiapkan perubahan konstitusinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Indonesia pernah membuat Komisi Konstitusi namun hasil kerjanya tak pernah jadi pertimbangan. Ke depan, hasil kajian para ahli mesti berujung kepada opsi limitatif yang menjadi dasar keputusan oleh MPR. Sedangkan proses partisipasi publik tidak cukup hanya dalam bentuk konsultasi publik, melainkan lebih kuat dari pada itu. Misalkan referendum untuk perubahan pasal-pasal krusial di dalam konstitusi, ataupun dalam bentuk konfirmasi kepada rakyat melalui referendum sebelum hasil perubahan konstitusi yang dibuat oleh MPR diberlakukan.

Memang dalam dua dekade terakhir kita sudah berupaya mengkombinasikan proses politik, proses akademis, dan partisipasi publik dalam pembentukan peraturan di level undang-undang dan peraturan daerah. Namun hal itu belum memuaskan sebab pada akhirnya proses politik di parlemen seringkali mengabaikan hasil kajian akademik dan mengabaikan aspirasi rakyat di luar parlemen. Namun hendaknya ada perbedaan bila yang akan dibuat atau diubah itu adalah konstitusi yang menjadi tulang punggung penyelenggaraan negara. Jadi, bila amandemen UUD 1945 hendak dilakukan, hal paling pertama yang perlu diubah justru mengenai cara perubahan konstitusi itu sendiri.

Yance Arizona kandidat Doktor di Faculteit der Rechtsgeleerdheid, Universiteit Leiden, Belanda
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads