Apologetik sebetulnya mulanya muncul dalam tradisi Kristen dengan concern utama dalam hal pembelaan iman melalui rasionalisasi sebagai upaya membantah kritik atau klaim kebenaran lain. Sayangnya, upaya tersebut kadang ditempuh dengan jalan menjelek-jelekkan agama lain. Pendekatan serupa lazim juga, saya kira, di dalam komunitas Muslim, di institusi pendidikan Islam. Termasuk, tentu saja, dalam hal mencemooh agama lain walaupun secara terang al-Quran memberikan larangan.
Kita mengenal Ahmad Deedat dan Zakir Naik. Dua pesohor yang metode dakwahnya adalah dengan, salah satunya, menantang non-Muslim untuk berdebat mengenai kebenaran agama. Ending dari video-video tentang mereka yang tersebar adalah "hidayah" yang diberikan kepada non-Muslim yang diajak debat. Pendekatan ini problematis, sebetulnya, karena menghadap-hadapkan pluralitas kebenaran agama dalam situasi dualistik yang saling bertentangan: hitam versus putih; benar versus salah. Yang memberi ruang pada rasa-diri lebih benar dan lebih-lurus dibanding yang lain, pada sikap mengolok-olok yang berbeda dengan keyakinan agama kita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya kira, persoalan tersebut dapat terjadi pada banyak agama. Bukan karena kesalahan agamanya, tetapi karena kebelumdewasaan kita dalam beragama dan menyebarkan kebajikan agama kita. Dalam konteks masyarakat Muslim dan dakwah Islam di Indonesia, situasi ini menjadi lebih kompleks karena dominasi jumlah Muslim yang banyak. Dengan jumlah yang dominan, komunitas Muslim secara langsung dan tidak langsung ikut andil dalam mengkonstruksi tatanan kemasyarakatan. Pada akhirnya, jika kita menggunakan pendekatan sosiologis Pierre Bourdieu, situasi tersebut telah melahirkan privilege bagi masyarakat Muslim.
Muslim bisa menikmati azan dengan pengeras suara setiap waktu, bahkan tarhiman pada jam-jam non-Muslim beristirahat tanpa merasa hal tersebut "mengganggu" sama sekali karena "Islam adalah agama yang benar" sehingga orang lain harus "patuh" dan menerima. Persepsi tersebut tidak pernah terkontestasi, dan jika dikontestasi sebagian Muslim menganggap itu sebagai "serangan", sebagai penistaan. Ambil contoh apa yang terjadi pada Meiliana yang "protes" ihwal pengeras suara di masjid.
Kenapa kok bisa ketika dikontestasi dalam rangka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagian dari kita, umat Muslim, langsung muntab? Karena, sebagian dari kita hidup, belajar, dan bergaul di lingkungan yang homogen, sehingga rendah kadar pertemuan lintas-komunitas apalagi lintas-iman. Alhasil, yang terbentuk dan terbangun adalah prasangka, yang salah satunya disebabkan oleh cemoohan-cemoohan terhadap agama lain ketika mereka belajar.
Saya pernah dekat dengan lingkungan pendidikan Islam model demikian sehingga ada masa dalam kehidupan saya ketika secara subtle saya merasa lebih baik daripada non-Muslim, merasa mereka warga negara kelas dua --sehingga kadar dan kualitas keadilan bagi mereka lebih rendah daripada kita-- serta merasa jijik, atau tidak nyaman, terhadap simbol agama lain.
Untunglah persepsi itu terklarifikasi dan terbantahkan seiring pertemuan dengan lingkungan pendidikan dan pertemanan yang heterogen. Tetapi kita tahu bahwa yang tidak berkesempatan untuk itu jumlahnya masih banyak. Maka jangan heran apabila tuntutan terhadap UAS "tidak bisa dipahami" oleh mereka secara nalar dan jangan-jangan malah dikategorikan sebagai bukti adanya sekularisasi (jika yang mengkritik UAS dari kalangan Muslim) atau pelemahan Islam (jika yang mengkritik berasal dari kalangan non-Muslim).
Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Salah satunya karena persoalan single-narrative dalam pendekatan pendidikan Islam bagi sebagian kalangan. Yang membuat sebagian Muslim kesulitan untuk mengakui suara-suara dari kalangan non-Muslim. Jangankan mengakui, melihat mereka saja mungkin tidak mampu --seolah-olah mereka "non-eksisten". Alhasil, apapun dilihat hanya dari satu kacamata saja, diputuskan berdasarkan satu suara saja. Dan ketika suara lain lamat-lamat terdengar, suara itu dianggap sebagai kegaduhan.
Itu sebabnya, PR dari kasus UAS ini mestinya tidak boleh berhenti pada tataran kasuistis. Tetapi harus menjadi titik balik kita untuk mulai mendekonstruksi pendidikan dan pengajaran keagamaan agar tidak lagi apologetik dan serba berfondasi prasangka, tetapi menjadi lebih inklusif dan berorientasi empati. Apalagi pada era ketika apa yang semestinya ada di ruang privat kadang bisa menjadi konsumsi publik sehingga apa yang semestinya biasa-biasa saja justru menimbulkan polemik.
Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, lulusan University College London
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini