Memang, sebagian besar publik dididik dengan kriteria persepsional yang ketat untuk menerima seorang pemimpin. Sejarah pun mengajarkan demikian. Sekalipun latar belakang Sukarno dan Soeharto terkesan sangat populis, misalnya, tapi track record dan torehan prestasi mereka mendatangkan prestise elitis tersendiri yang berkelas dunia. Sukarno ditahbiskan sebagai proklamator. Suaranya yang mengaudiokan teks proklamasi dianggap sebagai suara sakti pemutus relasi kolonialisme di negeri ini.
Begitu pula dengan Soeharto. Dia tak berbintang empat kala itu, tapi adalah aktor utama pemutus relasi sejarah Indonesia dengan Orde Lama yang dianggap sudah usang. Dan, betapapun kentalnya stigma otoriter yang dilekatkan kepadanya, transformasi dan pembangunan ekonomi Indonesia di era kepemimpinannya cukup diakui dunia.
Pun Habibie dan Megawati, keduanya bergaris sejarah elite yang cukup kental. Habibie dipersepsikan sebagai salah satu kader pemimpin teknokrat di bawah binaan langsung Soeharto. Seorang bintang yang memperkenalkan teknologi tinggi kepada Indonesia. Bahkan, kala itu publik sempat diperkenalkan konsep pembangunan ala Habibie dengan sebutan habibinomic, pembangunan berbasiskan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, justru pada saat Soeharto masih berkuasa.
Sementara itu, Megawati adalah anak kandung dari Sukarno. Mengalami alienasi yang cukup akut pada era Orde Baru. Dikucilkan dari ruang publik dan dibatasi gerakan politiknya, persis seperti yang dialami bapaknya pasca 1965. Amunisi yang sudah ada tersebut bertemu dengan statusnya sebagai seorang perempuan. Maka dengan mudah akan muncul persepsi tentang seorang wanita tangguh, yang dianggap siap menjadi wanita pertama yang menjadi presiden di negeri ini. Publik cukup arif menerimanya kala itu mengingat modal sosial, modal sejarah, dan modal politik yang sangat paripurna sifatnya.
Begitu pula dengan SBY. Dia memang berada di luar kedua jalur itu, tapi sebenarnya tidaklah terlalu jauh di luar. Garis kejenderalan masih terbilang kental melekat di dalam autobiografi politiknya mengingat SBY adalah menantu idaman Sarwo Eddie, perwira bintang yang memang sempat menjadi bintang pada masa transisi Orde Lama ke Orde Baru. Berlatar militer, otomatis perawakan SBY memenuhi langsung kualifikasi persepsional publik yang beranggapan bahwa seorang pemimpin biasanya tegap, badan berisi, tinggi, dada membusung, dan berwajah super-serius.
Ada di barisan yang sama dengan SBY adalah Prabowo; pernah menjadi menantu Soeharto dan sempat digadang-gadang sebagai the rising star pada masanya. Lainnya, Prabowo juga berlatar anak seorang pemikir ekonomi yang kurang terlalu sejalan dengan pemerintahan Orde Lama, alias kelas elite pada masanya. Dua latar belakang tersebut menyolidkan potensi garis kepemimpinannya. Tak lupa pula, Prabowo adalah salah satu danjen pasukan superelit nasional, Kopassus, yang namanya sampai hari ini diukir sangat indah di kesatuan tersebut.
Jadi, jika kita menggunakan kerangka historis seperti itu dalam melatih "rasa" dan "pola pikir" untuk menerima kehadiran seorang pemimpin, maka kita tidak akan menemui Jokowi di titik kesimpulan. Harus jujur diakui, memang tidak mudah bagi sebagian kalangan untuk begitu saja menerima seorang presiden yang berlatar belakang seperti Jokowi. Sekali lagi, memang tak mudah. Nyatanya sejarah memang tidak mendidik kita untuk terlalu siap menerima Jokowi secara taken for granted seperti orang Amerika yang penuh euforia saat menerima Obama. Obama tak pernah ikut berperang atau wajib militer, "hanya" berlatar senator, berkulit hitam pula.
Kita memang terbiasa berpikir bahwa kepemimpinan lahir dari proses penempaan yang tak mudah. Dwight Eisenhower, misalnya, dengan mudah diterima masyarakat Amerika karena peran pentingnya dalam mengakhiri Perang Dunia II. Sebelum turun ke Eropa, Presiden Amerika yang kerap dipanggil Ike ini tak pernah sekalipun terjun langsung ke dalam perang. Otomatis, pada awal kedatangannya di Eropa, Ike dipandang dengan skeptis oleh pemimpin-pemimpin di Benua Biru itu, terutama oleh Churchill. Saya kira, kondisi tersebut mirip dengan lima tahun awal Jokowi.
Pengakuan pertama muncul setelah Ike dinilai berhasil melakukan pembebasan negara-negara koloni Prancis di Afrika. Operasi pembebasan Tunisia adalah titik awal Ike mulai mendapat perhatian dari Churchill. Momen kedua adalah saat Ike melakukan terobosan berani dengan menemui De Gaulle secara langsung, saat Ike mendapat penolakan dari Churchill terkait penggunaan pesawat pembom angkatan udara Inggris di Calais. Alasan Churchill ketika itu, Inggris enggan bermasalah dengan Prancis di kemudian hari karena pesawat-pesawatnya telah membombardir salah satu daerah di Prancis.
Untuk memastikan itu, Ike langsung mendatangi De Gaulle, pemimpin Prancis yang menolak mengakui kekuasaan Jerman, untuk mendengar langsung pendapatnya terkait pemboman Calais. Menurut Ike, pemboman daerah Calais diperlukan untuk memastikan tipuan terhadap Jerman bahwa D-Day, invasi pembebasan Prancis dan penghentian agresi Hitler, bukan dilakukan di Normandia, tapi di Calais. Terobosan Ike mendapat respons positif di mana De Gaulle ternyata setuju. Bahkan menurut De Gaulle, rakyat Prancis siap berkorban dan tidak akan mendendam Inggris jika pemboman itu dimaksudkan untuk menghentikan Hitler yang telah menginvasi Prancis. Hasil pertemuan itu meluluhkan penolakan Churchill sekaligus menjadi pengakuan penuh Churchill terhadap kepemimpinan militer Eisenhower di Operasi Overlord Normandia.
Dan, setelah itu,tantangan yang jauh lebih besar sudah menunggu Eiseinhower, yaitu tantangan untuk menyempurnakan pengakuan publik. Ike harus membuktikan bahwa operasi Overlord yang dia sodorkan adalah pilihan terbaik untuk menghentikan Hitler. Berbagai macam strategi dicetuskan. Menciptakan operasi duoble intelegent untuk memberi sinyal tipuan kepada Hitler, melibatkan Istana Buckingham untuk menguatkan sinyal serangan di Calais, bukan di Normandia, membuat kendaraan-kendaraan perang palsu di Calais, sampai merumuskan strategi dan taktis penyerangan. Satu setengah jam pertama setelah operasi Overlord diluncurkan, Ike mendapat kabar bahwa pendaratan di Normandia sukses. Dan sekira 12 jam setelah itu, Churchill yang mewakili Inggris dan segenap aliansinya mengumumkan keberhasilan Operasi Overlord yang sekaligus pengakuan penuh atas pembuktian kinerja Ike.
Keyakinan terhadap Eiseinhower tersebut terus berlanjut sampai rezim Nazi tumbang dan memuluskan jalannya ke Gedung Putih sebagai bukti pengakuan rakyat Amerika kepadanya. Sejatinya, jika dibuka cerita soal Perang Dunia II, ada sekitar 8 Presiden Amerika yang menorehkan keringat untuk memenangkan perang dan diganjar kursi presiden oleh rakyatnya. Eiseinhower, Nixon, Gerald Ford, Kennedy, Lyndon Johnson (senator yang ikut pesawat bomber di perang Asia Pasifik), Jimmy Carter, Reagan (membuat film-film yang mendukung operasi militer dan endoser utama obligasi perang), dan Bush Senior, yang kesemuanya diakui jasanya dalam Perang Dunia II.
Sementara itu, Jokowi ada di jalur sipil. Hampir dua periode jadi wali kota, lalu kurang lebih dua tahun menjadi Gubernur DKI, keduanya masih belum meyakinkan publik bahwa Jokowi memiliki kapasitas yang cukup untuk mengemban posisi seorang presiden. Sebagian menganggap terlalu cepat lompatan yang dilakukan Jokowi, mengingat latar belakangnya tak seindah yang dimiliki oleh mantan-mantan pemimpin lainnya. Latar tersebut berpadu dengan lompatan cepat yang dia perlihatkan di dalam perjalanan karier politiknya. Walhasil, publik dituntut untuk belajar cepat, secepat lompatannya, yang terkadang tidak semua pihak mampu melakukan perubahan cara pandang tersebut secara serta merta, jika tak ada momen-momen spesial yang menguatkan keyakinan publik.
Maka tak pelak, lima tahun pertama, Jokowi mencoba terus konsisten dengan proyek infrastruktur masif, untuk meyakinkan publik bahwa dia mampu memberikan mesin unggul yang akan menggerakkan kendaraan nasional yang bernama pembangunan ekonomi Indonesia. Banyak pihak yang terpana, karena rencana besar tersebut diawali dengan pencabutan subsidi energi. Padahal, sebenarnya proyek infrastruktur bukanlah hal baru; semua rezim melakukannya. Hanya saja, di tangan Jokowi, ada pembesaran alokasi fiskal dan ada pengutamaan keberpihakan untuk infrastruktur, seturut dengan gembar-gembornya. Proyek-proyek tersebut berjalan seiring dengan rezim inflasi rendah, yang sebenarnya tak melulu bermakna positif karena ditopang dari sisi supply (kebanyakan impor). Tapi setidaknya, publik merasa "secure" bahwa Jokowi ikut berkonsentrasi pada isu stabilisasi harga.
Dalam kerangka pikir yang demikian, maka terkait hasil perhitungan pilpres tempo hari, boleh dikatakan bahwa publik sudah memberikan pengakuan atas kapasitas Jokowi sebagai seorang presiden, walaupun sebelumnya selalu beredar angka "approval" publik untuk kinerja Jokowi dari beberapa lembaga survei, yang angkanya konsisten di atas 60 persen. Pun dalam cara pandang yang sama, bagi Jokowi (juga Maruf), lima tahun mendatang adalah ajang untuk memenangkan pertempuran, yaitu ajang untuk membuktikan bahwa rencana-rencana kebijakan yang telah disodorkan dan diakui publik tersebut akan berbuah kemenangan alias bersesuaian dengan ekspektasi dan kepentingan publik.
Artinya, Jokowi harus membuktikan bahwa rezim infrastruktur akan berbuah pertumbuhan ekonomi yang sepadan, pemerataan yang adil, pembagian kue kekayaan nasional yang berimbang, kapasitas perdagangan nasional yang mumpuni, pengurangan ketergantungan kepada pasokan impor, kelahiran generasi-generasi muda yang andal, sesuai dengan kebutuhan lokal, nasional, dan global. Dan rezim inflasi rendah pun demikian, tidak menggerogoti produk-produk dalam negeri, tidak membolongi saku UMKM, usaha mikro, dan pedagang-pedagang kecil. Sederet tantangan tersebut sedang menunggu Jokowi pada hari-hari mendatang sebagai penyempurna pengakuan publik, yakni dengan pembuktian-pembuktian sebagaimana yang diekspektasikan. Semoga!
Ronny P Sasmita Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAct
(mmu/mmu)