Di Hadapan Oligarki

ADVERTISEMENT

Kolom

Di Hadapan Oligarki

Ibnu Nadzir - detikNews
Rabu, 14 Agu 2019 11:54 WIB
Ilustrasi: Fuad Hasim/detikcom
Jakarta -

Proses pemilihan presiden sudah selesai. Momen tersebut ditandai dengan perbincangan akrab antara Jokowi dan Prabowo di MRT. Sebagai kelanjutan pertemuan tersebut, belakangan Prabowo juga berjumpa secara khusus dengan Megawati. Momen-momen ini menjadikan ketegangan saat pemilu hingga kerusuhan beberapa waktu lalu seolah jadi amat berjarak dari politik hari ini. Namun, pada saat yang sama kita juga jadi diingatkan bahwa Prabowo mungkin tidak sepenuhnya salah ketika ia kerap menggugat bahwa demokrasi di Indonesia amat dikuasai oleh elite. Apapun pilihan yang dibuat para elite akan berimbas panjang pada interaksi masyarakat di tingkat akar rumput.

Tetapi, yang barangkali lebih penting untuk dicermati bukan sekadar elite politik yang wajahnya rajin muncul di pemberitaan. Melainkan, segelintir kecil warga negara yang dengan akumulasi kekayaannya amat besar mempengaruhi jalannya negara dan kerap disebut sebagai oligarki.

Sumber Dilema

Cerita soal orang-orang maha kaya dan punya pengaruh besar di ranah demokrasi sama sekali bukan kisah baru. Jeffrey Winters (2011) menyebutkan bahwa kelompok ini sudah dikenal pada masa Yunani dan Romawi kuno. Keberadaan mereka dapat ditandai dari kepemilikan aset yang jumlahnya jauh melampaui warga negara biasa pada masa itu. Sebagai ilustrasi, pada masa Julius Caesar, warga yang menjadi bagian oligarki dapat memiliki aset setara dengan 2,2 miliar dolar AS hari ini. Sebagai perbandingan, jumlah tersebut sama dengan 400.000 kali lipat dari seseorang yang berasal dari kelompok termiskin pada masa itu.

Penguasaan kekayaan yang jauh dari warga biasa,menjadikan orang-orang ini juga memiliki kekuasaan yang hampir tidak terkendali. Dengan aset kekayaan yang dimiliki oligarki, mereka dapat dengan mudah mengakses sumber-sumber kekuasaan lainnya. Kelompok maha kaya dapat mendorong figur yang mereka kehendaki untuk menempati posisi politik kunci. Aset yang mereka miliki juga mungkin digunakan untuk membangun kelompok dukungan politik, bahkan juga pasukan tersendiri.

Dengan kekuasaan yang sedemikian rupa, kelompok maha kaya dengan demikian telah lama jadi sumber dilema demokrasi. Untuk mengamankan kekayaan mereka, orang-orang ini bergerak di balik layar untuk dapat menyetir jalannya pemerintahan. Kenyataan ini dengan sendirinya menegasikan asumsi dasar demokrasi bahwa warga negara seharusnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan bernegara.

Persoalan ini pun bukannya tidak disadari oleh pemimpin-pemimpin pada masa itu. Entah didasari motivasi untuk konsolidasi kekuasaan atau keyakinan etis soal kesetaraan warganya, beberapa figur pemimpin terinspirasi untuk mengelola kelompok maha kaya ini. Namun, Winters mencatat bahwa nasib-nasib pemimpin visioner ini sebagian besar berakhir tragis. Banyak di antara mereka harus mati terbunuh atau dieksekusi di depan publik. Oleh karenanya, lebih banyak pemimpin yang memilih jalan kepemimpinan konvensional tanpa harus menyinggung kepentingan orang-orang maha kaya.

Jika fenomena tersebut tidak terasa asing, hal itu merupakan hal yang wajar karena gejala serupa juga banyak ditemukan dalam negara demokrasi modern. Amerika Serikat yang kerap dirujuk sebagai bentuk ideal demokrasi (setidaknya sebelum Donald Trump jadi presiden) pun mengalami persoalan yang sama. Di negara tersebut, kelompok orang maha kaya memiliki akses yang lebih kuat terhadap penyusunan kebijakan dibandingkan dengan warga biasa. Pada saat yang bersamaan ketimpangan ekonomi juga terus meningkat sampai pada titik yang mengkhawatirkan.

Persoalannya, bahkan ketika banyak orang telah mengakui permasalahan tersebut pemecahannya juga tidak mudah. Ilustrasi soal itu dapat ditemukan pada kontroversi Rutger Bregman di Davos pada awal 2019. Berlatar belakang sebagai sejarawan, ia hadir sebagai tamu yang ganjil dalam World Economic Forum. Kehadirannya dinanti karena Bregman menulis buku Utopia for Realist yang membahas kebijakan ekonomi alternatif seperti universal basic income, 15 jam kerja dalam seminggu, dan lainnya sebagai solusi persoalan modern. Namun, Bregman menyita perhatian media internasional lebih luas justru karena pernyataan kontroversialnya di forum tersebut:

Saya mendengar orang-orang berbicara mengenai partisipasi, keadilan, kesetaraan, dan transparansi tapi hampir tidak ada yang berbicara mengenai pengemplangan pajak kan? Dan soal orang-orang kaya yang tidak cukup membayar porsi mereka. Itu seperti saya berada dalam pertemuan pemadam kebakaran dan kita dilarang untuk berbicara soal air.

Pernyataan Bregman berangkat dari keyakinannya bahwa solusi ketimpangan ekonomi modern terletak pada upaya menuntut orang-orang maha kaya agar membayar pajak progresif sesuai dengan skala kekayaannya. Meskipun terdengar sederhana, usulan semacam ini cenderung diperolok sebagai upaya mendorong sosialisme dengan nada peyoratif di Amerika Serikat. Satu-satunya cara negara dapat mengakses kekayaan mereka adalah lewat derma suka rela atau filantropi, itu pun masih dengan seperangkat aturan yang membantu mereka untuk mengurangi pajak.

Di Indonesia

Soal kokohnya keberadaan orang-orang maha kaya dalam mengatur negara juga dialami Indonesia. Pada 1999, Time Asia menampilkan wajah Soeharto yang tercetak pada uang sebagai wajah muka majalah tersebut. Edisi khusus majalah tersebut membahas bagaimana selama tiga puluh dua tahun berkuasa, Soeharto dan keluarganya mampu mengakumulasi jumlah kekayaan berkisar antara 15 sampai 73 miliar dolar AS.

Periode Orde Baru memang kerap ditandai para sarjana sebagai momen fundamental dalam melahirkan kelompok orang maha kaya di Indonesia. Pada masanya, orang-orang yang ada di lingkar terdekat keluarga Cendana memiliki akses hampir tidak terbatas terhadap sumber-sumber ekonomi yang sangat diatur oleh negara. Jadilah Indonesia memiliki kelompok maha kaya yang amat tergantung pada sumber-sumber ekonomi negara.

Celakanya, kekuatan pengaruh orang maha kaya pada kebijakan negara tidak berubah banyak pasca Reformasi. Robison dan Hadiz (2004) mencermati tentang kecanggihan adaptasi para kelompok maha kaya Indonesia dalam era demokrasi. Meskipun tidak lagi dapat mengandalkan perlindungan patron utama seperti masa Orde Baru, mereka tetap mampu mengakses sumber-sumber akumulasi kekayaan seperti sediakala.

Walaupun pengaruh mereka kuat, namun keberadaan kelompok maha kaya sekaligus pengaruhnya tidak selalu mudah untuk diidentifikasi. Keberadaan mereka hanya sesekali menyeruak ke permukaan yang dapat dilihat warga jelata. Salah satunya ketika dialog Riza Chalid dan Setya Novanto yang sempat bocor ke publik beberapa waktu lalu:

Padahal, duit kalau kita bagi dua Pak, happy, Pak. 250 M ke Jokowi-JK, 250 M ke Prabowo-Hatta, kita duduk aja. Ke Singapura, main golf, aman. Hahahaa. Itu kan temen, temen semualah, Pak. Susahlah. Kita hubungan bukan baru kemarin. Masak kita tinggal, nggak baik. Tapi, kan sekarang udah nggak ada masalah. Sudah normal. Gitu.

Politik dalam dialog tersebut digambarkan sebagai sesuatu yang mudah dikelola. Pemilihan calon pemimpin juga tidak tergambar sebagai persoalan ideologi negara ke depan, setidaknya selama keberadaan kelompok maha kaya ini tetap terjamin. Riza Chalid yang pada 2014 aktif mendanai kampanye Prabowo dapat duduk dengan tenang dalam dukungan pada Jokowi menjelang Pemilu 2019. Berbeda dengan warga biasa, politik bagi para orang maha kaya adalah permainan yang selalu dapat dikendalikan.

Di luar sosok yang samar-samar, beberapa golongan maha kaya memilih terbuka dalam menampakkan dirinya dalam pemilihan presiden. Sebut saja di antaranya Erick Thohir dan Surya Paloh sebagai pendukung Jokowi, sedangkan Prabowo didukung oleh adiknya Hashim Djojohadikusumo dan Sandiaga Uno. Bahkan sosok kedua kandidat yang didukung juga masih mengingatkan bahwa arena politik bukan ruang terbuka bagi warga jelata. Prabowo yang selalu berkoar menolak elite jelas bagian dari golongan maha kaya Indonesia dengan aset yang dinyatakan sebesar Rp 1 triliun. Sedangkan, Jokowi sebagai presiden terpilih meskipun bukan bagian kelompok maha kaya namun tetap masuk 0.1% penduduk terkaya di Indonesia.

Semakin Tergerus

Pada titik ini kita bisa mempertanyakan apakah demokrasi betul-betul memberikan kesempatan dan hak yang sama pada seluruh warga negara. Seiring dengan melebarnya ketimpangan antara kelompok maha kaya dengan warga jelata, legitimasi demokrasi sebagai sistem politik jadi rentan untuk semakin tergerus. Bukan kebetulan jika dalam beberapa tahun terakhir, politik dunia diwarnai populisme yang menjanjikan kedaulatan rakyat. Sosok-sosok populis, termasuk Prabowo, dimungkinkan muncul dari keresahan nyata atas kejumudan demokrasi dalam menjamin kesetaraan warganya.

Kampanye alternatif sistem politik seperti khilafah oleh HTI juga berangkat dari kerangka pikir serupa. Yakni, bahwa demokrasi gagal menunaikan janjinya dalam menjamin warga-warga biasa untuk dapat mengakses hak dasar negara. Pada saat yang sama, ritus politik seperti pemilu cuma menjamin akumulasi kekayaan oleh segelintir orang-orang maha kaya. Khilafah dalam pandangan mereka jadi jawaban semua persoalan.

Tawaran politik seperti khilafah atau yang datang dari pemimpin populis boleh jadi terdengar mengada-ngada. Namun, memang sulit untuk tidak mengakui kalau persoalan yang dikemukakan adalah masalah nyata yang jadi pekerjaan rumah banyak negara demokrasi, termasuk Indonesia. Oleh karenanya, dalam langkah lima tahun ke depan penting bagi pemerintahan untuk betul-betul memikirkan cara menuntut komitmen kaum maha kaya dalam menjaga keberlangsungan demokrasi. Jika tidak, maka kita bisa bersiap dalam lima tahun ke depan Prabowo atau sosok lainnya berupaya mendulang suara dengan mengutuk kelompok maha kaya ini. Sementara kita berpasrah karena tahu pemilu tidak mengubah apa-apa, sebab di hadapan oligarki kita semua fana.

Ibnu Nadzir peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT