Tidak berselang lama, pemerintah mengeluarkan dua beleid yang dimaksudkan untuk mendorong sektor properti. Yang pertama adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.010/2019 yang menaikkan batas transaksi yang dikenakan PPnBM dengan tarif 20% dari semula Rp 10 miliar dan Rp 20 miliar menjadi Rp 30 miliar. Yang kedua adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.03/2019 yang menurunkan tarif pemungutan PPh Pasal 22 dari semula 5% menjadi 1% sekaligus juga menaikkan batas transaksi yang dikenakan PPh Pasal 22 dari semula Rp 5 miliar menjadi Rp 30 miliar.
Sebelumnya, yaitu pada Agustus 2016, pemerintah juga sudah memberikan insentif lain yaitu penurunan tarif PPh Final pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari sebelumnya 5% menjadi 2,5%. Pelaku pasar tentu menyambut kemudahan ini dengan gembira meskipun tampaknya belum sepenuhnya memuaskan. Berbagai insentif ini diharapkan bisa menggerakkan pasar properti khususnya segmen atas, namun dianggap tidak akan cukup menggerakkan sektor properti secara keseluruhan karena ceruk pasar dari hunian mewah tidaklah signifikan. Beberapa kalangan bahkan mempertanyakan efektivitas insentif fiskal untuk menggerakkan sektor fiskal.
Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau kita telusuri dari pangkalnya, sebenarnya kenapa pembuat kebijakan mengenakan pajak tambahan (selain PPN) berupa PPnBM atas rumah mewah? Tujuannya apa? Perlu diingat bahwa menurut teori ekonomi, pengenaan pajak komoditas dengan tarif seragam (seperti PPN dengan tarif seragam 10%) adalah paling efisien karena akan menghindarkan distorsi dari pilihan konsumsi. Artinya bahwa pilihan konsumsi yang dilakukan individu akan sama persis dengan atau tanpa ada pajak. Adanya pajak tambahan, atau pengenaan pajak dengan tarif yang tidak seragam akan menjauhkan kesejahteraan sosial dari utilitas yang optimal.
Hanya ada dua alasan kenapa pajak tambahan diperlukan. Pertama untuk mencapai tujuan redistribusi pendapatan, dan kedua apabila terdapat eksternalitas. Menambah penerimaan negara tidak akan efektif dicapai dengan mengenakan pajak tambahan karena pelaku pasar akan merespons dengan perubahan perilaku sehingga secara total kesejahteraan sosial akan turun. Kerugian ini dikenal dengan efek deadweight loss. Eksternalitas pun ada dua, yaitu eksternalitas positif dan negatif. Pajak tambahan baik dikenakan apabila terdapat eksternalitas negatif. Sedangkan eksternalitas positif justru baiknya diberi subsidi.
Apakah rumah mewah mempunyai efek eksternal yang negatif sehingga layak dikenakan pajak tambahan? Apakah orang kaya membeli rumah mewah akan merugikan orang lain? Rasanya tidak. Hal ini berbeda dengan misalnya konsumsi rokok yang dapat merugikan orang lain sehingga layak dikenakan pajak tambahan atau cukai dalam kasus di Indonesia. Karena itu layak diduga bahwa satu-satunya alasan yang masuk akal untuk mengenakan pajak tambahan atas konsumsi rumah mewah adalah untuk tujuan redistribusi pendapatan.
Tujuan redistribusi pendapatan dilakukan dengan mengenakan pajak tambahan kepada komoditas yang lebih banyak dikonsumsi orang kaya daripada orang miskin. Dengan syarat tambahan bahwa komoditas tersebut mudah diidentifikasi dan dibedakan dari komoditas yang lain serta relatif tidak mempunyai barang substitusi. Kalau tidak, biaya kepatuhannya bisa lebih besar daripada penerimaan pajaknya. Rumah mewah tidak memenuhi kualifikasi demikian. Karena itu, penggunaan pajak penghasilan lebih direkomendasikan untuk mencapai tujuan redistribusi penghasilan dibandingkan dengan pajak komoditas.
Beberapa negara dunia seperti AS misalnya malah memberikan subsidi atas pembelian rumah, alih-alih mengenakan pajak tambahan. Bentuk subsidi yang diberikan adalah dalam bentuk deductible mortgage interest. Artinya, bunga kredit kepemilikan rumah dapat dibebankan sebagai biaya dalam perhitungan pajak penghasilan. Argumennya, kepemilikan rumah mempunyai eksternalitas positif sehingga layak disubsidi. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya insentif pajak ini pun sudah berlebihan.
Berusaha Menghindar
Pajak tambahan berupa PPnBM dikenakan dengan tarif 20% atas rumah mewah dengan harga jual sebesar Rp 30 miliar rupiah atau lebih. Peraturan sebelumnya bahkan sempat mengatur pengenaan PPnBM dengan batasan luas rumah. Bagaimana respons perilaku konsumen terhadap pengenaan pajak seperti ini? Tentu saja akan berusaha menghindari dengan cara tidak membeli rumah dengan batasan harga atau luas yang dikenai pajak. Beberapa studi empiris sudah menunjukkan bahwa elastisitas permintaan pada sektor properti cukup tinggi. Adanya pajak tambahan akan menimbulkan efek deadweight loss yang besar.
Tidak ada orang yang senang membayar pajak, termasuk juga orang kaya. Kalau ingin punya rumah dengan kualitas di atas batasan harga dan luas yang dikenai pajak, bagaimana caranya? Pecah saja sertifikatnya. Bangunlah dua rumah yang berhubungan dengan harga masing-masing Rp 25 miliar. Masih lebih efektif jika pengenaan pajak ditentukan dengan batasan harga jual per meter persegi daripada harga jual per unit rumah.
Pengenaan PPnBM juga hanya dilakukan satu kali pada saat dijual oleh pengembang selaku produsen pertama kali. Hal ini membuka peluang penghindaran pajak dengan cara membuat entitas baru sebagai perantara dengan konsumen. Dengan mengatur harga jual dari produsen di bawah batasan kena pajak, mereka sudah bisa menghindari pajak dalam jumlah signifikan.
Menaikkan batas transaksi rumah yang dikenakan PPnBM dengan tarif 20% dari semula Rp 10 miliar dan Rp 20 miliar menjadi Rp 30 miliar sesungguhnya bukanlah insentif pajak. Hanya sekadar menghapus atau mengurangi hambatan yang selama ini diberikan. Lebih tepat bila disebut sebagai relaksasi. Idealnya malah tidak usah dikenai PPnBM sama sekali.
Redistribusi Pendapatan
Lalu bagaimana dengan menurunkan tarif pemungutan PPh Pasal 22 dari semula 5% menjadi 1% dan juga menaikkan batas transaksi yang dikenakan PPh Pasal 22 dari semula Rp 5 miliar menjadi Rp 30 miliar? PPh Pasal 22 pada dasarnya merupakan kredit pajak yang dapat digunakan untuk mengurangi pajak yang terutang. Jadi berapa pun tarif yang dikenakan tidaklah substansial, hanya akan mempengaruhi cash flow saja.
Tujuan dikenakannya PPh Pasal 22, sebagaimana juga pemotongan/pemungutan pajak lain yang dapat dikreditkan, adalah untuk administratif pemungutan pajak. Pihak yang memungut atau memotong pajak wajib melaporkan pemotongan atau pemungutan yang dilakukan ke DJP sehingga memudahkan DJP untuk mengawasi kepatuhan wajib pajak.
Meskipun pada praktiknya, banyak orang yang enggan mengkreditkan PPh Pasal 22 atas rumah mewah yang telah dipungut. Alasannya karena kredit pajak ini mengakibatkan SPT mereka menjadi lebih bayar. Restitusi pajak lebih bayar, setidaknya dalam persepsi wajib pajak, masih merepotkan sehingga mereka merelakan pajak tersebut menjadi penerimaan negara.
Karena tujuan pemungutan PPh Pasal 22 adalah untuk memudahkan pengawasan, maka tarifnya dapat diturunkan hingga sekecil mungkin. Yang penting tidak menambah beban administratif bagi wajib pajak dan DJP. Kalau DJP sudah dapat mengakses data setiap transaksi tanah dan rumah, misalnya lewat BPN atau PPAT, maka pengenaan PPh Pasal 22 atas rumah mewah tidak diperlukan lagi.
Kemudian bagaimana dengan PPh Final? Pengenaan PPh Final juga termasuk perbedaan perlakuan pajak yang secara ekonomi juga akan menimbulkan distorsi dan pada gilirannya akan menurunkan efisiensi. Idealnya perhitungan pajak penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dikembalikan saja menggunakan mekanisme pajak yang umum.
Kalau ditelusuri di memori penjelasan Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2016 disebutkan bahwa tujuan mengenakan pajak final ini adalah untuk lebih memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pajak penghasilan. Bagi orang pribadi atau badan selain perusahaan properti mungkin masih masuk akal alasan ini. Tetapi bagi perusahaan properti yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan bangunan, tentu sudah mempunyai kemampuan untuk melakukan pembukuan sesuai standar akuntansi.
Insentif fiskal bisa menggerakkan ekonomi kalau terdapat eksternalitas atau untuk tujuan redistribusi pendapatan. Jika tidak, pemerintah seharusnya tidak usah ikut campur dan membiarkan ekonomi bergerak sedekat mungkin dengan mekanisme pasar. Momentum pembahasan RUU Perpajakan sebaiknya digunakan pemerintah untuk melakukan reformasi perpajakan sektor properti secara komprehensif.