Pemerintah dan stakeholder yang berkaitan sebenarnya telah menyepakati sebuah solusi yaitu menurunkan harga tiket pesawat domestik berdasarkan jadwal (Selasa, Kamis, Sabtu) yang dibatasi juga pada pukul jam 10.00 hingga 14.00 pada hari tersebut. Kebijakan yang diambil nyatanya belum mampu menurunkan harga tiket yang sejalan dengan kepentingan publik dan memudahkan. Kebijakan ini seolah-olah membuka arena kompetisi bagi masyarakat untuk memperebutkan tiket pesawat murah.
Menanggapi polemik ini, bahkan presiden sebagai ujung tombak harapan masyarakat ikut melemparkan sebuah ide yang seyogianya dapat menjadi solusi. Presiden Jokowi menyarankan agar maskapai asing ikut serta beroperasi pada penerbangan rute domestik (open sky). Pada dasarnya, kebijakan apapun yang diambil pemerintah mengenai hal ini, memang sudah sewajarnya dilakukan demi kesejahteraan masyarakat sesuai dengan konsep kesejahteraan masyarakat.
Liberalisasi
Sejak munculnya World Trade Organization (WTO) pada 1994 ruang lingkung perdagangan internasional mengalami perkembangan yang signifikan, salah satunya adalah masuknya perdagangan jasa. Maka, kegiatan yang berkaitan dengan jasa dapat ditransaksikan dalam kerangka perdagangan bebas. Hal tersebut menjadi semakin relevan mengingat prinsip dasar dalam perdagangan internasional adalah liberalisasi tanpa pembedaan. Perdagangan internasional pada bidang jasa diatur dalam General Agreement on Trade in Service (GATS) yang dimuat di dalam lampiran 1B The Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation.
Ruang lingkup yang disepakati dalam GATT tersebut adalah seluruh bidang jasa dapat ditransaksikan, termasuk jasa transportasi udara. Meskipun demikian, lampiran tentang jasa pengangkutan udara dalam GATS menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas pengangkutan udara hanya sebatas pada jasa perbaikan dan pemeliharaan pesawat, penjualan dan pemasaran jasa transportasi udara, serta jasa penjualan tiket pesawat.
Maka, berdasarkan lampiran tersebut bahwa GATT belum dapat menjangkau urusan pelaksanaan atau belum mampu mengintervensi negara dalam penentuan rute pengangkutan domestik. Dapat disimpulkan bahwa hak tersebut dikembalikan sepenuhnya kepada kewenangan masing-masing negara.
Kedaulatan di Udara
Pengaturan rute penerbangan atau hak lintas pesawat udara erat kaitannya dengan kedaulatan suatu negara. Konsep kedaulatan suatu negara itu sendiri diakui banyak dipengaruhi oleh Hukum Romawi yang berbunyi "cujus est solum, ejus est usque coelum" --barang siapa memiliki tanah, maka ia juga memiliki apa yang ada di dalam dan juga ruang yang berada di atasnya tanpa batas. (Priyatna Abdulrasyid, 2003). Norma tersebut juga akhirnya dijadikan acuan untuk menyusun aturan internasional tentang pengangkutan udara dan kedaulatan di ruang udara melalui Konvensi Paris 1919 serta mengalami pembaharuan melalui Konvensi Chicago 1994.
Kedaulatan penuh yang terkandung di dalam kaidah tersebut di atas memiliki dampak pada hak suatu negara untuk mengatur segala kepentingan di dalam wilayah udaranya, termasuk izin penerbangan bagi pesawat asing. Hal tersebut diperkuat oleh asas cabotage yang diatur dalam Pasal 7 Konvensi Chicago dan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, setiap negara memiliki keleluasaan untuk menolak atau memberi izin pesawat udara asing untuk melakukan kegiatan pengangkutan penumpang dan barang secara komersil pada rute domestik.
Tetapi, karena negara memiliki kuasa penuh atas ruang udaranya maka hal itu dapat menjadi akses utama terjadinya monopoli pengangkutan udara oleh perusahaan maskapai nasional. Dampak negatifnya, monopoli akan membawa pada harga tiket maskapai menjadi tinggi. Oleh karena itu, open sky dapat dipertimbangkan sebagai solusi alternatif bagi permasalahan harga tiket yang sedang dialami di Indonesia. Hadirnya maskapai asing di dalam rute dalam negeri dapat berdampak, bukan hanya pada persaingan harga melainkan juga persaingan pada layanan yang baik.
Open Sky di ASEAN
Open sky sebenarnya sudah familiar bagi Indonesia atau negara-negara ASEAN pada umumnya, bahkan sesungguhnya negara-negara ASEAN sudah mengakui open sky sebagai kebijakan pengangkutan udara regional yang telah disepakati bersama melalui ASEAN Multilateral Agreement on Air Services (ASEAN MAAS) pada 20 Mei 2009 di Manila. Kesepakatan regional ini menjadi mengikat bagi negara-negara yang menandatanganinya, sehingga wajib untuk mengimplementasikan ketentuan di dalamnya.
Negara anggota ASEAN termasuk Indonesia dapat dikatakan serius dalam menyambut kebijakan open sky ini. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan waktu dimulainya pembahasan mengenai open sky sejak 2003 dan telah dituangkan dalam deklarasi ASEAN Bali Concord pada KTT ASEAN ke-9. Dalam konteks hukum internasional, pelaksanaan open sky dapat dilakukan melalui kerja sama antardua negara (bilateral), beberapa negara di kawasan tertentu (regional) ,maupun beberapa negara secara universal (multilateral).
Pengangkutan udara memiliki peran yang sangat penting di negara seperti Indonesia yang dikategorikan sebagai negara kepulauan yang luas. Mobilitas orang maupun barang akan menjadi efektif dan efisien dengan pengangkutan udara. Sektor lain seperti pariwisata juga akan terkena dampaknya --sedikit banyaknya wisatawan dipengaruhi oleh harga tiket pesawat. Keberhasilan pemerintah dalam menekan harga tiket pesawat akan berbanding lurus dengan suksesnya program pemerintah pada sektor pariwisata untuk menciptakan 10 destinasi prioritas sebagai "Bali Baru".
Memang tidak mudah mengambil keputusan dalam pengambilan kebijakan untuk masalah tiket pesawat ini. Ada dua kepentingan yang harus diakomodasi dalam hal ini, yaitu pengusaha maskapai nasional dan masyarakat di lain pihak. Harus diakui hadirnya pesawat asing dalam rute domestik sedikit banyaknya akan bisa menghambat perkembangan maskapai nasional jika tidak mampu mengimbangi. Tetapi demi kepentingan masyarakat secara luas, mengimplementasikan kebijakan open sky itu bisa dipertimbangkan.
(mmu/mmu)