"Ekonomi Lesu" dan Jebakan Fintech
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

"Ekonomi Lesu" dan Jebakan Fintech

Selasa, 13 Agu 2019 11:16 WIB
Dede Solehudin, SE
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Tim Infografis/detikcom
Jakarta -
Akhir-akhir ini konstelasi keuangan negeri ini semakin dinamis. Di tengah-tengah berbagai kesulitan keuangan yang banyak dialami oleh kaum ekonomi lemah khususnya kaum urban, kehadiran Fintech atau "kredit pintar" yang kian menjamur seolah hujan di tengah gurun.

Fintech atau Financial Technology merupakan sebuah kolaborasi yang sangat ideal antara jasa keuangan dengan teknologi digital. Kolaborasi ini menghadirkan sebuah ekosistem baru yang begitu mudah dan tentunya cepat sebagai daya tarik utamanya. Pinjaman atau kredit yang notabene tanpa jaminan plus sangat mudah menjadi sebuah fenomena tersendiri di kalangan anak muda kaum urban khususnya.

Kenapa kaum urban? Karena masyarakat kampung nan jauh di sana belum mengenal kredit semacam ini. Mereka lebih mengenal kreditur yang masih dalam paradigma kuno yaitu rentenir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemantik

Kesulitan ekonomi bukan satu-satunya pemicu booming-nya Fintech. Namun dominasi perilaku masyarakat dan perkembangan teknologi merupakan sebuah pemantik utamanya. Dominasi tujuan pemanfaatan dana dari Fintech adalah lebih kepada pemenuhan gaya hidup (lifestyle) dan memuaskan keinginan, bukan kebutuhan.

Harus dicatat pula bahwa ada perbedaan yang sangat mendasar antara kebutuhan dengan keinginan. Kebutuhan dalam definisi yang sering kita temukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia dalam rangka mempertahankan hidup. Bahkan sebagian orang menegaskan bahwa kebutuhan manusia secara fisiologis tiada lebih dari sekedar makan agar tidak lapar, minuman agar tidak kehausan, rumah untuk berlindung, serta pakaian untuk menutupi, melindungi diri dari kedinginan, dan membedakan manusia dengan hewan.

Tentu setiap individu memiliki pandangan berbeda dalam melihat kebutuhannya. Pada umumnya pendidikan tinggi adalah sebuah kebutuhan, namun bagi sekelompok orang, pendidikan cukup pada titik di mana seseorang mampu untuk membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Bagi sebagian orang memiliki ponsel yang pintar adalah termasuk kebutuhan primer. Namun bagi sebagian orang lainnya ponsel sangat tidak penting, bahkan masuk pada kategori barang mewah.

Begitulah setiap individu melihat kebutuhan. Namun tentu ada sebuah konsensus tentang musabab orang mengatakan suatu hal adalah kebutuhan atau keinginan. Misal bagi petani, cangkul adalah sesuatu yang sangat primer dan komputer tidak penting. Ini berkebalikan dengan seorang programer. Bagi programer, komputer bisa dikatakan sebagai "cangkul" dalam rangka mendapatkan penghasilan.

Kembali pada kebutuhan akan Fintech yang bertebaran di dunia digital. Berbagai aplikasi Fintech sepertinya sudah menjadi sebuah ekosistem seperti tentakel. Setiap kali membuka sebuah aplikasi, sering sekali ada iklan tentang tawaran Fintech. Bahkan banyak di antaranya yang diembel-embeli oleh frasa "Terdaftar di OJK" dan kata kata lainnya yang mencatut lembaga keuangan resmi baik itu OJK, LPS, BI, atau lembaga perbankan.

Ya, memang beriklan adalah sebuah praktik yang sangat wajar. Bahkan dengan iklan inilah seseorang bisa menjadi terkenal dan kaya. Dengan iklan digital seperti ini juga banyak orang yang terangkat taraf ekonominya. Contohnya adalah Youtuber atau influencer yang memanfaatkan dunia digital sebagai "ladang" tempat bercocok tanam.

Selain iklan melalui adds on aplikasi, iklan kredit jenis ini pun merambah sistem perpesanan lama yaitu SMS. Mereka mengatasnamakan berbagai macam nama. Entah itu sudah berizin atau belum. Entah itu legal atau ilegal. Mereka beriklan dengan menembus sistem data nomor telepon seluler. Bahkan di nomor ponsel yang saya gunakan, hampir dua hari sekali ada yang menawari kredit semacam ini. Tentu dengan menyertakan alamat URL-nya. Karena Fintech ini berbasis digital atau internet.

Saya, juga beberapa teman, kadang iseng untuk membuka tautan pada SMS tersebut. Hasilnya adalah tampak penawaran pinjaman yang sangat mudah dengan modal KTP saja dengan proses supercepat. Di sinilah letak jebakannya. Proses supermudah dan supercepat tanpa jaminan. Sekilas semua akan tergiur. Apalagi bagi anak-anak muda yang masih rawan dengan sikap mendahulukan gaya. Dengan modal KTP bisa mendapatkan uang yang seolah secara cuma-cuma. Dengan uang tersebut mereka bisa membeli smartphone seri terbaru atau bisa traveling ke mana saja lalu di-upload di media sosial seolah mencirikan dirinya anak muda urban yang modern.

Padahal dalam setiap kemudahan dan kecepatan memerlukan "ongkos" yang lebih banyak. Ongkos inilah yang kadangkala luput dari pertimbangannya. Bagi sebagian yang mengerti tentang pengelolaan keuangan, mungkin Fintech semacam ini adalah sebuah praktik yang sarat akan jebakan. Dan tentu sangat tidak direkomendasikan jika hanya berpatokan pada pemenuhan keinginan.

Pemilik atau investor Fintech bukanlah Robin Hood yang mencuri dari yang kaya kemudian mendermakan kepada yang papa. Investor ini adalah pihak yang sangat tahu risiko bisnis. Semakin tinggi risiko, maka margin yang harus dibebankan kepada konsumen/nasabah harus lebih tinggi. Motif ekonomi yang sangat kental dan kentara. Bisnis adalah untuk mendapatkan keuntungan yang tak terhingga. Risiko akan berbanding lurus dengan earning value.

Inilah yang harus selalu diingat dalam setiap praktik ekonomi kapitalis sekarang ini. Dan harus meyakini bahwa pemilik investasi Fintech ini bukan dewa penolong yang dengan ikhlas menolong seperti filantropi. Fintech adalah ekosistem yang berbeda dengan perbankan konvensional. Minimal dilihat dari tingkat kemudahan proses dan ada atau tidaknya sesuatu yang yang menjadi agunan.

Semakin Mahal

Sempat disinggung mengenai kondisi ekonomi akhir-akhir ini yang dirasa kurang bergairah. Minimal saya melihat itu dari harga-harga yang semakin mahal yang tidak diimbangi oleh naiknya upah atau penghasilan. Pada intinya kenaikan biaya hidup seolah berbanding terbalik dengan kenaikan penghasilan. Harga nasi bungkus atau di Bali orang menyebutnya dengan istilah nasi jinggo di seberang kantor saya beberapa bulan lalu masih Rp 5 ribu, belakangan ini harganya menjadi Rp 6 ribu rupiah dengan kuantitas yang sama.

Di sisi lain upah para pekerja di lingkungan sekitarnya yang notabene adalah customer setianya tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Sehingga ketika sesekali ngobrol dengan beberapa pembeli sambil menikmati kopi, ungkapan keluh kesah tentang kenaikan harga ini kerap terdengar. Secangkir kopi instan seduh yang semula RP 2 ribu naik harganya menjadi RP 3 ribu. Inilah kondisi warung kopi seberang kantor saya yang sudah berdiri lebih dari 8 tahun.

Dan si ibu pemilik warung tersebut belum mengenal Fintech. Dia hanya meminjam ke koperasi untuk menambah modal dan menyekolahkan anaknya yang masuk SMA. Dan dia juga lebih senang menabung di koperasi. Setiap tahun sering dapat hadiah entah itu seterika, baju kaos, atau barang lain yang menurut dia membuat senang. Setidaknya inilah kondisi riil yang terjadi pada masyarakat ekonomi bawah.

Terus Tumbuh

Perkembangan Fintech ini akan terus tumbuh seiring dengan kemajuan teknologi yang menciptakan unboundaries area atau dunia tanpa sekat. Sebagian masyarakat yang tidak lagi rela untuk mengantre di bank --masyarakat yang mendewakan privasi sehingga antre di bank untuk meminjam dana diibaratkan sebagai sebuah aib. Kemudian hadir solusi yang dianggap sangat privat yaitu Fintech.

Fintech menawarkan pelayanan yang sangat "privat" --katanya. Saking privatnya, kawan saya yang meminjam melalui Fintech bercerita bahwa istrinya tidak tahu bahwa dia meminjam dana dari Fintech. Apalagi tetangga, teman sekantor, atau mertua tidak akan tahu. Privasi seolah sangat terjaga. Tapi apa betul seperti itu?

Harus diingat bahwa setiap kali kita akan melakukan pinjaman melalui Fintech, kita harus menyiapkan data sesuai KTP. Bukankah dengan bermodal identitas yang ada di KTP orang bisa memasuki wilayah yang sangat privat sekalipun? Bukankah sudah banyak praktik jual beli data yang basisnya adalah data KTP? Bukankah KTP memuat data yang sangat detail?

Dari nomor induk di KTP salah satunya akan menjadi data pajak (NPWP). Dari data pajak akan mendapatkan data aset, penghasilan, utang, dan lain sebagainya. Dari data aset akan terlihat cara mendapatkan aset tersebut. Bukankah itu sangat tidak "privat"? Bahkan yang tahu bukan hanya tetangga, mertua, atau teman sekantor --jika data tersebut tersebar, bukan tidak mustahil "seluruh dunia" akan tahu?

Faktor kondisi ekonomi yang sulit ditambah dengan susahnya mengendalikan keinginan, maka Fintech seperti dewa penyelamat. Bagi individu yang sedang membutuhkan dana cepat dan mudah, tentu Fintech menjadi sebuah pilihan. Memang tidak ada salahnya kita jika memanfaatkan solusi keuangan melalui Fintech ini. Namun alangkah baiknya jika kita mampu memilah terlebih dahulu mana kebutuhan dan mana keinginan sebelum memilih Fintech sebagai sebuah solusi keuangan.

Jika kita telah berhasil mendefinisikan masing-masing antara kebutuhan dan keinginan, maka kita akan tidak menjadi masalah dalam memilih Fintech. Jadikan Fintech sebagai solusi terakhir. Jadikan Fintech sebagai solusi instan dalam memenuhi kebutuhan yang sifatnya sangat darurat. Jika tidak bijak, maka siap-siaplah kita diperbudak oleh "ongkos" Fintech yang sangat dahsyat. Selain itu sikap disiplin dalam mengembalikan kredit pun menjadi sebuah kunci agar kita tidak terperangkap.

Dede Solehudin, SE pemerhati masalah sosial

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads