Hampir setiap jengkal pantai di Pulau Lembata memiliki panorama yang memikat hati. Pasir putihnya membentang luas dibalut pandangan pantai berkelok ditumbuhi pohon kelapa dan lontar.
Di bagian depan pulau penghasil jagung titi terbesar di Provinsi Nusa Tengara Timur (NTT) ini berjejer pulau-pulau kecil tak berpenghuni seperti Pulau Siput dan Pulau Suanggi. Di belakang kedua pulau itu berjejer pula tiga pulau yang didiami manusia, yakni Adonara, Solor, dan Flores.
Dari kejauhan tampak seperti benteng berlapis yang siap menjaga kenyamanan siapa saja saat berkunjung ke Lembata menggunakan kapal laut. Nah, ketika berada di selat Lembata inilah, kita dengan mudah melihat Ikan Paus, Lumba-Lumba, dan Ikan Torani atau ikan terbang meliuk-liuk di permukaan air.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Minggu (28/7) hingga Kamis (1/8) kemarin saya berkesempatan mengelilingi Pulau Lembata dari Timur ke Barat hingga dari Utara ke Selatan, termasuk Lamalera, sebuah desa di Kecamatan Wulandoni yang terkenal sebagai kampungnya para pemburu Ikan Paus.
Saat ke sana, dari Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata, kami melewati jalur selatan atau ruas jalan Waijarang (Kecamatan Nubatukan)βWulandoni. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan yang luar biasa indahnya. Mulai dari kemegahan bukit-bukit, di antaranya Bukit Cinta dan Bukit Doa, hingga pesona pantai yang tak pernah putus.
Namun kami harus berjibaku dengan keadaan jalan yang sangat buruk. Ruas jalan yang mulus atau sudah di-hotmix hanya dari Lewoleba sampai Waijarang atau sedikit melewati Kuma Resort, rumah pribadi milik Bupati Kabupaten Lembata, Eliaser Yentji Sunur.
Kawasan Kuma Resort tampak megah lengkap dengan pos jaga Satpol PP. Terlihat juga di pinggir jalan sedang dibangun sebuah SPBU yang menurut warga setempat, itu milik sang bupati.
Kondisi berbeda ketika kami melewati Kuma Resort. Rumah warga tampak rapuh dengan kondisi jalan rusak berat. Ada sedikit perbaikan jalan di daerah Bukit Doa hingga perbatasan Loang. Namun itu hanya sekitar 4 kilometer. Selebihnya hancur total. Bahkan lebarnya pun hanya sekitar 2β3 meter diapit jurang terjal dan tebing tinggi dengan bebatuan besar yang seolah akan jatuh menindih siapa saja yang melewati jalan itu.
Adrenalin saya sontak terpacu menghadapi jalan rusak dengan kemiringan menurun dan mendaki yang tajam itu. Dua bahaya seakan terus mengancam saya. Bisa terjungkal ke jurang atau mati tertindih bebatuan besar. Puji Tuhan, kami selamat sampai tujuan. Kami juga sempat singgah di Dusun Walet, sebuah dusun yang berada di pinggir pantai terjal di Desa Tapobali.
Sepanjang jalan, saudara saya di dalam mobil terus berceloteh, "Selama ini bupati kerja apa saja? APBD di kemanakan? Ke mana hati dan perhatian bupati? Kasihan masyarakat di sini."
Singkat kata tibalah kami di Lamalera. Di sana tak ada aktivitas perburuan Ikan Paus. Hanya terlihat tiga orang nelayan yang baru pulang melaut dengan hasil tangkapan seekor penyu dewasa. Sementara para nelayan lainnya terlihat hanya duduk-duduk santai di dekat perahu tradisional atau paledang yang biasa mereka gunakan untuk berburu Ikan Paus.
Setelah puas menikmati panorama Lamalera, kami pun beranjak pulang ke Leweleba melewati jalan tengah atau ruas jalan WulandoniβWaikomo. Ruas jalan ini juga rusak berat. Hanya sedikit ruas yang diaspal lapen. Namun kondisinya pecah dan berlubang. Bahkan di beberapa titik terdapat kubangan debu dengan ketebalan sekitar 20 sampai 30 sentimeter. Walau begitu, ruas jalan ini 100 kali lipat lebih baik ketimbang ruas jalan WaijarangβWulandoni.
Saya sempat bertanya kepada beberapa warga di sepanjang jalan WaijarangβWulandoni dan WulandoniβWaikomo. Kenapa kondisi jalan seperti ini? Kata mereka, sejak Indonesia merdeka, daerah mereka kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Lembata, Pemerintah Provinsi NTT, dan Pemerintah Pusat, termasuk Lembata di era kepemimpinan Eliaser Yentji SunurβThomas Ola Langoday sekarang ini.
Tersiar kabar bahwa Eliaser Yentji Sunur enggan membangun jalan ke Wulandoni karena pada pilkada lalu hanya 50 orang Wulandoni yang memilihnya. Dendam politik? Entalah! Hanya Yentji Sunur yang tahu.
Yang pasti, bukan hanya jalan ke Lamalera yang rusak parah. Tapi jalan menuju ke semua kecamatan di Lembata juga kondisinya sama saja. Bahkan jalan lingkungan di dalam kota Lewoleba, ada ruas jalan yang masih tanah kosong atau belum tersentuh pembangunan, seperti yang terlihat di depan rumah milik mantan Anggota DPRD Lembata, Fredy Wahon.
Jika dibandingkan dengan kabupaten lain di NTT, hemat saya, infrastruktur jalan di Lembata yang paling buruk. Mudah-mudahan keadaan jalan ini segera diperbaiki oleh Pemerintah Kabupaten Lembata agar wisatawan lokal maupun dari luar mudah menjangkau seluruh tempat wisata di Lembata yang ujungnya ekonomi masyarakat setempat makin membaik. Semoga!
(mmu/mmu)