Seminggu ini media arus utama dan media sosial diramaikan dengan perbincangan mengenai perpanjangan izin Front Pembela Islam (FPI). Persoalan organisasi yang sejak April 2017 ini dipimpin secara remote itu telah membuat publik benar-benar terbelah, setidaknya jika dilihat dari media sosial. Warganet berbeda pendapat soal perpanjangan izin organisasi; sebagian menolak perpanjangan dengan pertimbangan rekam jejak, sementara pihak yang lain mengusulkan agar izin perpanjangan dikabulkan karena alasan demokrasi dan pertimbangan strategis lain. Melihat publik yang terbelah, pemerintah tampak gamang.
Kegamangan pemerintah tampak dari bagaimana Menteri Dalam Negeri memberikan pernyataan. Cahyo Kumolo menyilakan FPI mengurus perpanjangan izin, tetapi pemerintah juga akan melakukan penelaahan sebelum mengambil keputusan memperpanjang. Pemerintah tampaknya memang belum punya jawaban pasti mengenai polemik izin FPI ini. Kegamangan ini menurut hemat saya terjadi karena gagalnya pemerintah memilih pendekatan dalam menyelesaikan persoalan radikalisme; antara menindak tegas atau menjaga bandul politik.
Setiap pendekatan sudah barang tentu membawa risiko dan dampak. Ketika pemerintah mengambil pendekatan keamanan atau penegakan hukum, sudah sewajarnya jika memicu aktivis HAM untuk berteriak keras. Demikian juga ketika pemerintah memilih pendekatan humanis, maka bukan tidak mungkin pemerintah akan dituduh bertindak tidak tegas, atau bahkan kalah dengan kelompok pengacau.
Selera seni Presiden Joko Widodo dalam mengelola konflik sedang diuji dalam konteks ini. Setidaknya ada dua pertanyaan penting yang muncul dalam perkara ini. Pertama, adalah mengapa pemerintah begitu ragu memilih pendekatan? Kemudian pertanyaan selanjutnya, pendekatan apa yang paling mungkin dipakai agar persoalan kekerasan berbasis agama ini dapat diminimalisasi dan pemerintah tidak kehilangan dukungan publik secara signifikan?
Tulisan ini ingin mengajak pembaca menjajaki pada tiga pendekatan yang berpotensi sebagai solusi, yaitu multikulturalisme, kohesi sosial, dan keamanan.
Secara sederhana multikulturalisme dapat digambarkan sebagai sebuah gagasan yang menghargai berbagai perbedaan latar belakang budaya dan cara berpikir. Konsekuensi dari pendekatan ini adalah pemerintah harus memberikan keleluasaan kepada siapapun untuk berekspresi, sejauh apapun, sekalipun ekspresi itu berbeda dengan kelompok mayoritas. Sementara itu kohesi sosial adalah sebuah upaya menemukan kesamaan-kesamaan di balik perbedaan demi sebuah upaya membangun harmoni. Pada sudut yang lain, ada pendekatan keamanan yang menitikberatkan pada proses hukum dan penindakan kepada siapapun yang mengganggu atau mengancam ketertiban umum seperti apapun bentuknya.
Persoalan FPI, juga persoalan sejenis yang lain, adalah fenomena yang kompleks. Kompleksitas itu muncul karena oknum FPI, jika tidak ingin disebut organisasinya, dalam sejarahnya memiliki relasi yang dinamis dengan pemerintah. Para pendiri FPI memiliki hubungan yang unik dengan oknum penyelenggara negara ini. FPI pernah "membantu" kepentingan penguasa pada saat tertentu, tetapi juga mengoyak ketertiban umum pada saat yang lain. Selain itu, rumitnya persoalan FPI juga berkaitan dengan platform FPI yang mengusung image Islam, agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Kerumitan itu akan semakin memburuk ketika pemerintah tidak punya waktu menengok hasil-hasil riset kekerasan berbasis agama di Indonesia sebagai pertimbangan.
Mengingat rumitnya persoalan FPI, maka saya mengusulkan ketiga pendekatan, multikulturalisme, kohesi sosial, dan keamanan tersebut dipakai bersama-sama secara simultan. Pemerintah tidak boleh membiarkan harmoni terkoyak lebih dalam demi kepentingan multikulturalisme. Pemerintah juga tidak boleh terus-menerus mencari persamaan karena tentu akan menggerus kekayaan budaya. Pemerintah juga tidak boleh hantam kromo menggunakan alat negara untuk membungkam ekspresi warganya. Implementasi tiga pendekatan secara simultan tidak hanya akan memberikan daya dorong, melainkan juga akan menjadi penyeimbang antara kekuatan pemerintah dan masyarakat sipil.
Bisa jadi, orang mengatakan ketiganya tidak mungkin dilakukan bersama-sama karena satu dan yang lain saling menyandera. Pandangan tersebut adalah pandangan yang pesimistik. Penggunaan pendekatan yang disertai kajian mendalam dan inovasi model implementasi justru akan menjadi terobosan kebijakan publik. Dengan memadukan pendekatan tersebut mungkin saja kaum konservatif akan mengatakan pemerintah tidak konsisten, tetapi bukankah pendekatan konservatif telah lama ditinggal sejak pendekatan interdisipliner dikenalkan? Bukankah Pancasila yang menjadi kesepakatan bangsa kita juga tidak "konsisten" dengan satu aliran filsafat besar dunia tertentu?
Untuk menerapkan pendekatan interdisiplin ini, pemerintah bisa memulainya dengan terlebih dulu memilah yang inti dan yang komplemen dari ketiga pendekatan tersebut. Pemilihan ini tentu saja didasarkan pada hasil riset berbagai lembaga yang telah terbit sebelum, tidak perlu riset ulang, melainkan hanya konfirmasi dan pembaruan data. Contoh elemen inti dalam tidak pendekatan tersebut adalah penghargaan terhadap keragaman yang merupakan inti dari multikulturalisme, memperbanyak ruang interaksi sosial sebagai pintu masuk kolaborasi yang menjadi ruh dari kohesi sosial, dan dengan tegas menindak siapapun yang melanggar hukum.
Langkah selanjutnya yang dapat diambil adalah melakukan simulasi dan membuat projek pilot mix-match antara ketiga pendekatan tersebut dan program pemerintah yang telah berjalan. Misalnya untuk jangka panjang pemerintah merancang pendidikan multikulturalisme. Kemudian pada rencana nasional jangka menengah, melalui Kementerian Agama atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyediakan ruang-ruang kolaborasi, membangun pusat kebudayaan, dan memperbanyak fasilitas olah raga sebagai titik kumpul. Selanjutnya pada jangka pendek aparat keamanan segera menindak tegas anggota ormas yang mengganggu ketertiban umum.
Pendekatan-pendekatan sosiologis berbasis riset telah banyak dipakai oleh negara-negara yang rentan terhadap kekerasan ekstremis dalam membuat kebijakan keamanan. Australia adalah salah satu di antaranya. Pada 2007, Ministerial Council on Immigration and Multicultural Affairs Australia menyusun rencana aksi nasional untuk kohesi sosial, harmoni, dan keamanan. Melalui kebijakan ini Australia melakukan kegiatan afirmasi untuk kelompok anak muda dengan latar belakang agama tertentu yang dianggap rentan terlibat dalam kelompok ekstremis.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk dapat memulai pendekatan ini. Selain laporan-laporan lembaga riset dan think tank yang memadai, Indonesia juga memiliki penegak hukum yang telah teruji. Dengan modal riset dan kekuatan aparat ini Indonesia telah menjadi negara yang benar-benar siap untuk menangani ekstremisme menggunakan pendekatan interdisipliner. Mari kita nantikan apakah pemerintahan Jokowi jilid dua cukup berani untuk melakukan inovasi.
(mmu/mmu)