Begini ceritanya. Pagi ini, saat bangun tidur di ranjang penginapan murah di sudut Akihabara, kaki saya pegal sekali. Seharian kemarin saya muter-muter Tokyo dengan kereta subway, pindah satu jalur ke jalur lain, naik-turun eskalator dan tangga manual, dan itu semua aktivitas yang sungguh tidak biasa saya lakukan.
Minggu lalu dengan heran saya bertanya-tanya, kenapa porsi makan orang Jepang di warung-warung dan di restoran itu relatif jumbo. Baik udon, ramen, atau nasi putih semuanya nggak ada porsi kecil. Kalau mau yang kecil-kecil saja bisa beli nasi kotak atau onigiri di toko-toko swalayan. Selebihnya, hampir semua warung makan menyediakan porsi super-kenyang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertanyaan terpentingnya, kalau mereka sehat, kenapa makan banyak nasi? Itu sangat tidak masuk akal. Bukankah artis-artis Indonesia dan orang-orang Indonesia yang kepingin hidup ala artis itu sekarang wajib membenci nasi? Makan nasi maksimal tiga sendok sehari, syukur-syukur cuma sesendok, anti-soto, selebihnya buah saja, atau sayur saja, atau singkong saja, atau apalah saya juga nggak paham diet-dietan penyengsara hidup seperti itu.
Pendek kata, karbo adalah musuh kesehatan, eh, kecantikan, eh, kesehatan!
Seorang kawan menjawab pertanyaan saya itu dengan sedikit asumtif tapi lumayan masuk akal. "Ya orang Jepang memang makan banyak karbo, sih. Tapi lihat, mereka olah raga setiap hari. Bukan cuma olah raga biasa, tapi juga jalan kaki jauh setiap hari."
Hmmm betul juga. Saya yang bukan orang Jepang saja ketika jalan-jalan ke kota ini otomatis dipaksa berolah raga. Dengan jaringan transportasi kereta bawah tanah yang bagus dan lengkap, bukan lantas berarti orang-orang di Tokyo tinggal geser pantat dan tahu-tahu bisa ke mana-mana.
Sekarang hitung saja, coba. Dari rumah ke stasiun terdekat mereka berjalan kaki. Masuk stasiun mereka turun tangga, naik lagi, dan di dalam stasiun berjalan jauh ke platform lagi. Tiba di pemberhentian dekat tempat kerja mereka naik-turun tangga lagi, jalan kaki keluar stasiun lagi, dan dari stasiun hingga persis sampai di kantor ya berjalan lagi.
Jika diakumulasi pulang-pergi dalam sehari, berapa kilometer yang mereka susuri dengan berjalan kaki saban hari? Berapa tumpuk kalori yang mereka bakar tiap hari?
Memang orang Jepang sejak dulu suka berjalan kaki. Atau lebih umum lagi: mereka suka gerak badan. Ingat bagaimana senam taisho diwajibkan di Indonesia pada zaman penjajahan Jepang, misalnya.
Ini membuat saya terkenang obrolan saya dengan almarhum Profesor Suhardi, guru besar Fakultas Kehutanan UGM. Beliau bilang, "Orang Jepang tidak menganggap gerak badan sebagai siksaan. Adapun bagi kita, gerak adalah siksaan. Maka semakin tinggi derajat sosial manusia Indonesia, semakin sedikitlah gerak badannya. Orang berlomba-lomba memburu karier yang minim gerak badan."
Cerita Pak Hardi tadi disambung dengan konsep status di Indonesia yang dimanifestasikan dengan kendaraan. Semakin makmur seseorang, semakin bagus pula kendaraannya. Dan dengan kendaraan itu pulalah pemiliknya akan semakin menghilangkan gerak dari tubuhnya.
Di Jepang, justru orang yang punya mobil rata-rata malah orang desa. Orang kota tidak punya mobil. Kepemilikan mobil pun tidak pernah menjadi parameter status sosial seseorang.
Tapi, itu tadi soal-soal yang sifatnya sudah ada sejak dulu. Sekarang saya bicara tentang jaringan kereta bawah tanah dulu.
Disadari ataupun tidak, dibangunnya jaringan kereta yang lengkap bukan cuma berefek mempermudah pergerakan warga kota, melainkan juga satu cara untuk mendidik mereka. Orang dipaksa berjalan berkilo-kilo. Orang dipaksa naik-turun tangga. Eskalator dan lift memang ada, tapi jauh lebih sedikit daripada tangga, sehingga kalau kita terburu-buru malah akan lebih cepat bila lewat tangga saja. Salam olah raga!
Pendidikan karakter masyarakat ini sudah kita saksikan waktu terjadi berisik massal soal MRT baru, di Jakarta tempo hari. Tapi ini belum soal olah raga, melainkan tentang budaya antre.
Awalnya, warga Jakarta masih belum akrab dengan jalur antrean di MRT. Tapi lambat laun semua jadi mengenal antre, akrab dengan aktivitas itu, dipaksa oleh situasi dan lingkungan pula untuk mengantre. Belum lagi soal ketertiban buang sampah.
Nah, biar saya tidak melantur, kita kembali ke soal nasi lagi. Pendek kata, orang Jepang makan nasi banyak tapi penuh dengan gerak. Itulah kenapa mereka baik-baik saja, sehat-sehat saja, setidaknya secara jasmani.
Kalau tradisi kita, nasi dimakan banyak, tapi kita malas bergerak. Keluar pintu rumah langsung naik motor sampai parkiran kantor, dari parkiran kantor cuma jalan beberapa meter sudah naik lift, keluar lift langsung tiba di pintu masuk ruangan kerja.
Tak heran, kata "mager" alias "malas gerak" pun menjadi istilah generik yang disambar dengan sigap sebagai senjata pemasaran oleh perusahaan ojek merangkap penyedia layanan beli makanan.
Benar, yang terjadi pada kita sekarang ini hanyalah kehidupan yang tidak seimbang. Kalau toh banyak orang menggemuk atau men-diabetes karena overdosis karbo, rasanya itu terjadi bukan gara-gara nasi, melainkan karena ketidakseimbangan hidup itu tadi.
Lha memangnya dulu-dulu kakek-nenek kita sudah pada diet karbo? Enggak, kan? Lalu kenapa tidak terjadi ketakutan massal kepada karbo seperti halnya menimpa banyak orang di Zaman Aurel Hermansyah ini?
Anda tahu, jawabannya klasik saja. Yakni karena kakek-nenek kita masih banyak gerak, belum naik motor, dan belum punya aplikasi Go dan Grab Food.
Bulan puasa lalu saya pun mencoba menggali hal-hal beginian, namun dari varian musuh kesehatan lain di luar nasi, yakni lemak dan kolesterol. Saya datang ke salah satu pusat dunia lemak paling ganas dalam khazanah Nusantara, yakni warung nasi padang.
Uda-uda nasi padang langganan saya itu saya ajak ngobrol tentang kesehatan. Awalnya saya menduga dia tidak akan tertarik dengan topik tersebut, tak bedanya seorang seleb Youtube macam Atta Halilintar atau Ria Ricis diajak bicara tentang literasi dan edukasi publik. Namun, di luar dugaan saya, si uda memberikan ilustrasi sangat menarik.
"Mas, kami ini orang Minang, Mas. Orang Minang itu muslim taat. Bapak-bapak kami ya makan seperti ini terus. Tapi mereka ke surau untuk salat lima waktu. Dan mereka ke surau itu jalan kaki, Mas. Sekarang hitung saja, kalau sekali jalan ke surau lima menit saja, bolak-balik sudah sepuluh menit. Lima kali sehari, berarti total lima puluh menit. Dan itu setiap hari, seumur hidup!"
Tuh kan, orang Minang zaman dulu sebenarnya menjalankan lelaku yang mirip dengan orang Jepang. Eh, maaf, orang Jepang yang mirip orang Minang, maksud saya. Ada keseimbangan di sana. Ada porsi besar lemak dan kolesterol yang berjejal masuk ke tubuh, tapi ada mekanisme pembakaran yang disiplin pula.
Itu baru jalan kakinya. Belum teh Bendera-nya. Menurut khittah dasarnya, makan nasi padang itu ya dibuka dengan nyeruput teh Bendera panas, lalu ditutup dengan teh Bendera panas pula. Jadi lemaknya bisa larut dalam darah. Begitu kata Uda Alfi--bukan pedagang nasi padang.
Kekeliruan umum kita, kita ini selalu menjalankan sesuatu setengah-setengah, sambil lupa dengan paket lengkapnya. Makan nasi banyak, tapi lupa olah raga. Makan nasi padang, tapi lupa teh Bendera. Makan daging kambing, tapi menyingkirkan acar timunnya. Padahal tradisi makan kambing itu datang dari Timur Tengah, sementara kebiasaan makan kambing diiringi pula dengan kebiasaan makan acar di tempat asalnya sana.
Sikap mental semacam itu menyebar hingga ke mana-mana. Mau negerinya maju, tapi ogah belajarnya, bahkan buku-buku malah dirazia. Ngotot menuntut fasilitas publik ini-itu, tapi ogah sama pajaknya. Mau sama PLN, tapi ogah sama mati lampunya. Eh, enggak ding. Maaf kelepasan.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini