Deru investasi asing di Indonesia kian menggebu. Yang terbaru, dana jumbo senilai Rp 136 triliun bakal mengucur dari beberapa perusahaan multinasional negeri petrodolar Uni Emirat Arab. Komitmen investasi tersebut diteken langsung di hadapan Presiden Jokowi dan Putera Mahkota Abu Dhabi Syeikh Mohammed Bin Zayyed Al-Nahyan.
Tiga perusahaan papan atas asal Dubai telah memantapkan komitmen berinvestasi di Indonesia. Yaitu, Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC) dan Mubadala Petroleum di bidang migas, serta DP World, operator pelabuhan global yang sangat mapan --holding dari perusahaan kenamaan seperti London Gateway, kawasan bisnis berikat Jabel Ali Free Zone (JAFZ), dan banyak lagi perusahaan lain yang jadi motor ekonomi di Dubai.
Bersamaan dengan momentum MoU yang amat penting itu, kami di Komisi VII DPR yang mengemban fungsi pengawasan, khususnya untuk bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hadir di Dubai bersama mitra guna memastikan pendalaman kerja sama tersebut. Terutama kita arahkan tak hanya berdampak pada perekonomian secara makro, tapi juga menggerakkan ekonomi masyarakat bawah. Apakah dalam bentuk penyerapan tenaga kerja maupun penggunaan konten lokal dalam proyek investasi mereka.
Dalam pertemuan dengan Direktur JAFZ Ebtesam Alkaabi, dia menyampaikan pujian kepada Indonesia sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi menjanjikan. JAFZ melihat bahwa potensi bisnis Indonesia-Dubai bakal berdampak masif di tengah upaya pemerintah mendorong pemerataan pembangunan di mana kedua belah pihak dapat memainkan peran-peran yang signifikan dalam kerangka saling menguntungkan. Sebagai catatan tambahan, JAFZ merupakan superholding company yang membawahi 7.200 perusahaan dan 150.000 profesional di Dubai.
Lanskap ekonomi Dubai memang bertumpu pada perusahaan seperti JAFZ. Kontribusi superholding company seperti JAFZ ini terbukti ampuh mendorong Dubai tampil di panggung ekonomi global. Dubai yang pada tiga dekade lalu masih merupakan hamparan padang pasir tandus sejauh mata memandang, kini telah tumbuh menjelma sebagai jantung bisnis di Timur Tengah.
Dubai bahkan sejajar dengan pusat-pusat bisnis dunia seperti New York di Amerika, London di Eropa, dan Tokyo di Asia Timur.
Proses transformasi Dubai digerakkan oleh JAFZ, dan ratusan atau mungkin ribuan holding company lain di kawasan teluk Uni Emirat Arab tersebut. Dubai adalah magnet baru ekonomi dunia yang masih terus tumbuh ketika New York, London, dan Tokyo sudah terasa bikin jenuh.
Memacu Ekonomi Daerah
Partnership ekonomi dalam bentuk investasi ini harus dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat di daerah. Apalagi bila berbicara investasi di bidang sumber daya alam dan logistik yang sarat bersentuhan dengan ekonomi di daerah-daerah. Indonesia sudah punya investasi bidang energi baru terbarukan yang bisa dijadikan pilot project. Yaitu, proyek energi baru terbarukan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Sidrap dan Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Proyek elektrifikasi ramah lingkungan tersebut merupakan investasi asing dengan pemanfaatan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mencapai 40 persen. Selain TKDN, besarnya pasokan listrik dari PLTB tersebut ke masyarakat tentu saja ampuh memacu gairah ekonomi daerah secara lebih efisien.
Untuk diketahui, Indonesia telah meratifikasi The Paris Agreement tentang climate change. Artinya, Indonesia wajib turut serta dalam pengurangan emisi karbon akibat penggunaan energi fosil. Ini adalah kabar baik bagi daerah-daerah yang punya potensi energi baru terbarukan. Seperti PLTB Sidrap dan Jeneponto yang telah sukses dikembangkan.
Potensi pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia memang amat besar. Hal itu mendasari pemerintah mengambil langkah konkret yang tertuang dalam Dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017. Pemerintah mencanangkan penggunaan EBT di Indonesia sebesar 23 persen dari total bauran energi nasional sampai tahun 2025. Meningkat menjadi 31 persen pada 2050.
Ini ditunjang oleh sumber-sumber energi baru terbarukan yang tersebar di berbagai wilayah, sehingga memungkinkan distribusi lokasi investasi yang lebih merata. Di sinilah peran pemerintah, menjembatani daerah menangkap peluang investasi energi baru terbarukan yang tujuannya tak lain untuk memacu pembangunan di daerah melalui kerja sama investasi bidang energi ini.
Selain peran aktif pemerintah pusat, pemerintah daerah juga kita dorong dan arahkan agar mempersiapkan semua aspek kelayakan berinvestasi bagi para investor yang hendak mengucurkan modalnya. Masalah klasik yang selama ini menjadi kendala adalah kepastian keamanan investasi. Terutama dari aspek regulasi yang banyak menghambat, maupun aspek sosial. Sinergitas yang baik antara pemerintah pusat dan daerah akan menumbuhkan iklim investasi yang nyaman dan ramah bagi investor.
Apalagi perusahaan-perusahaan asal Timur Tengah ini punya cara pandang investasi unik yang tampaknya dipengaruhi oleh tradisi filantrophy yang berkembang di kawasan tersebut. Ini saya tangkap dari perbincangan dengan Mohamed Jameel Al Ramahi, CEO Abu Dhabi Future Energy Company, perusahaan papan atas di bidang energi baru dan terbarukan di Masdar City Abu Dhabi.
Mohamed Jameel menyatakan berkomitmen berinvestasi di Indonesia tanpa membawa tenaga kerja asing. Mereka hanya akan membawa modal dan teknologi baru. Mereka juga menjanjikan mengutamakan konten lokal dengan harga yang dijamin lebih murah dan kompetitif di bidang energi baru terbarukan.
Di sini tampak, paradigma investasi mereka bukan hanya datang untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Namun juga menyelaraskan kepentingan bisnis dengan kontribusi di negara atau wilayah destinasi investasi.
Ini agak berbeda dengan investasi dari beberapa negara yang selain membawa modal, juga memboyong serta tenaga kerja mereka sendiri sehingga mengeliminir sumber daya lokal. Hal demikian itu berimplikasi negatif. Mengubah investasi menjadi jembatan bagi dominasi asing. Akibatnya, investasi terdengar seperti momok menakutkan bagi masyarakat sehingga menciptakan resistensi alih-alih menyambut gembira para investor yang membawa kucuran dolar.
Di tengah-tengah masyarakat merebak pandangan bahwa investasi seolah jadi perpanjangan tangan imperialisme ekonomi. Investor datang membawa wabah sosial ekonomi. Membelah masyarakat dalam stratifikasi kelas dengan para pekerja asing yang mereka boyong. Pandangan ini tentu harus kita luruskan. Tugas pemerintah untuk memastikan investasi tidak melanggar kedaulatan negara, termasuk kedaulatan sosial ekonomi yang terletak di tangan rakyat di daerah yang menjadi tujuan investasi.
Investasi asing adalah extra power booster dalam pembangunan suatu negara. Itu bila pemerintah tepat dalam membangun positioning. Dalam konteks ini, saya melihat pemerintah melalui Konsulat Jenderal di Dubai yang dipimpin oleh Ridwan Hasan sangat proaktif serta progresif membangun komunikasi dengan pengusaha-pengusaha Dubai.
Pemerintah tampak bekerja sistematis dan gradual menyambut momentum investasi yang terus digairahkan. Karenanya, kita mendorong investasi jumbo dari negeri petrodolar Dubai ini jadi kabar gembira bagi rakyat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(mmu/mmu)