Konon peringkat universitas top Indonesia bahkan tidak sanggup menembus 100 besar atau 150 besar peringkat universitas dunia. Itu sepertinya menggelisahkan Menristek Dikti. Masalahnya, peringkat itu berisi apa? Apa arti pentingnya?
Kalau kita perhatikan, ada banyak versi ranking universitas itu. Kalau kita bandingkan, hasilnya berbeda-beda secara sangat menyolok. Ada versi yang menempatkan Harvard di peringkat 1, tapi di versi lain universitas itu ditempatkan di peringkat 6. Di suatu versi University of Tokyo berada di peringkat 12, tapi di versi lain peringkatnya 62, di bawah Nanyang Technology University. Bagi saya agak sulit menerima universitas dengan sejumlah penerima Hadiah Nobel baik dari profesornya maupun alumninya, bisa berada di bawah universitas yang belum pernah menghasilkan hadiah bergengsi tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Parameter peringkat universitas itu sangat lebar. Kalau pun kita tentukan satu sistem pemeringkatan, lalu kita kejar agar universitas kita meningkat peringkatnya berdasarkan versi itu, apa makna positifnya? Boleh jadi kita bisa mendapat peringkat 100 besar, dengan meningkatkan nilai pada sejumlah parameter, tapi sebenarnya peningkatan tersebut bukan sesuatu yang benar-benar kita butuhkan. Artinya, mengejar peringkat itu lebih terdengar seperti usaha untuk mencari popularitas ketimbang meningkatkan mutu.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana seorang rektor asing bisa meningkatkan peringkat itu? Saya kebetulan lulusan dari dua universitas top di Indonesia dan di Jepang. Di Indonesia saya lulusan Universitas Gadjah Mada. Di Jepang saya lulusan Tohoku University. Dalam sebuah versi pemeringkatan, Tohoku University berada di peringkat 132 (versi THE). Saya bayangkan bagaimana Universitas Gadjah Mada akan berusaha mengejar ketinggalan dari Tohoku University. Tohoku University punya sejumlah pusat riset dengan fasilitas kelas dunia, artinya peralatan yang dimiliki hanya dimiliki oleh universitas bereputasi tinggi. Angka publikasi ilmiah serta jumlah kutipannya juga jauh di atas UGM. Bagaimana caranya agar UGM bisa mengejar itu semua? Dalam perhitungan saya, 10-15 tahun berusaha keras pun UGM tidak akan mencapai semua itu.
Kenapa begitu? Yang ada di sana, di Tohoku University tadi, bukan sekadar sederet peralatan canggih. Juga bukan sekadar soal anggaran riset dalam jumlah fantastis. Tapi di sana juga ada SDM yang tangguh, sederet profesor dengan kinerja riset yang luar biasa, dengan sederet peneliti tangguh di bawahnya. Bagaimana semua itu dibangun? Dengan kerja yang sangat keras, kita perlu 20-30 tahun untuk mencapainya, melalui kerja keras semua lini.
Pertanyaannya, bagaimana seorang rektor asing bisa mengubah itu? Peran apa yang akan dia mainkan?
Mari kita bayangkan sebuah perusahaan. Mungkinkah seorang CEO membuat perubahan besar? Mungkin saja. Tapi hal itu sangat tergantung pada sangat banyak faktor. Seorang CEO dari Chevron misalnya, tidak serta merta bisa membuat kinerja Pertamina jadi meroket. Sulit bagi saya membayangkan hal itu bisa terjadi.
Lalu bagaimana dengan universitas? Salah satu komponen utama penggerak universitas adalah para profesor. Nah, hubungan para profesor ini dengan rektor tidak bisa disamakan seperti hubungan antara CEO dengan para direktur dan manajer. Para profesor adalah para pemikir independen yang tidak bisa dikomando seperti para karyawan perusahaan.
Jadi, apa yang bisa dilakukan oleh seorang rektor asing? Entahlah.
Saya khawatir gagasan ini hanyalah cara Menristek Dikti untuk mendapat perhatian saja. Sejak diangkat jadi Menteri dia melontarkan sejumlah gagasan tanpa kejelasan realisasi. Pada masa awal jadi menteri dia menggulirkan gagasan hilirisasi riset. Konon riset-riset akan digiring untuk menjadi riset yang menghasilkan produk komersil. Bahkan pernah ada gagasan untuk mengalihkan riset dari perguruan tinggi ke perusahaan swasta. Realisasinya? Entahlah.
Pada masa lain Menristek Dikti malah sibuk mengurusi jual-beli gelar di universitas abal-abal. Dia sampai terjun ke kampus untuk menertibkan. Padahal banyak pekerjaan lain yang lebih penting dari itu. Lalu, apa hasil dan tindak lanjut langkah tersebut? Tidak jelas juga.
Sepertinya wacana ini juga akan berujung sama: ketidakjelasan.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini