Suatu ketika kiai saya, KH. M. Abdul Aziz Manshur (alm.) bercerita tentang Aji Saka dan Dewata Cengkar. Sosok Dewata Cengkar digambar sebagai sosok yang zalim dan selalu memakan daging manusia. Dalam cerita tersebut, Aji Saka menjadi lakon yang berhasil menyingkirkan Dewata Cengkar dengan sorbannya. Yai Aziz menyebutkan pesan dari cerita itu bahwa umat Islam dengan sorbannya yang akan menjadi penyelamat negara dari cengkeraman penguasa zalim dan pemakan daging rakyatnya.
Namun muslim bersorban yang dimaksud Yai Aziz tentunya bukan terkhusus buat mereka yang ke mana-mana memakai sorban. Tradisi pesantren tradisional (pesantren salaf), justru sangat berhati-hati dalam menggunakan sorban, seperti halnya kaum pesantren tradisional tidak mau memakai peci putih, bukan karena tidak mau atau tidak mampu membeli, namun peci putih dianggap sebagai tanda khusus bagi mereka yang sudah haji. Pun begitu sorban, dulu tidak ada santri yang berani memakai sorban, karena kiai mereka bahkan sangat jarang memakainya. Menurut kiai, sorban menandakan ketinggian ilmu pemakainya.
Namun perjalanan waktu seakan menelan pemikiran itu semua. Meskipun pemikiran kiai pesantren tradisional masih ada (seperti di Lirboyo, Sarang dan Pacul Gowang), namun kalah "trending" dengan pemikiran saat ini. Kendati pemikiran saat ini pun banyak sekali, melihat ormas yang diikuti. Namun yang jelas Islam saat ini identik dengan mereka yang bersorban. Terbukti, ketika ada teguran kepada mereka yang bersorban, maka tersematlah label anti-Islam. Terbaru bahkan ketika ada ormas yang izinnya masih dikaji, malah dikatakan sebagai foobia terhadap Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Muslim bersorban yang akan menjadi penyelamat negara dari penguasa zalim dan pemakan daging rakyatnya, menyimpulkan dari nasihat Yai Aziz, adalah muslim yang seperti paku. Sebagai unsur penting dalam bangunan, paku selalu menyatukan berbagai jenis kayu, misalnya, baik yang pendek atau yang panjang. Namun paku akan menjadi jelek ketika masih terlihat; kesempurnaan paku justru ketika tidak terlihat.
Simbol tentu penting dalam Islam, namun ketika simbol mengabaikan esensinya, sangat berbahaya. Prof Quraish Shihab mencontohkan lampu merah di jalan raya yang merupakan simbol untuk mengatur lalu lintas. Ketika pengendara malah terpana dengan lampu tersebut, itu akan berakibat berbahaya karena lampu merah hanyalah salah satu simbol untuk mengatur lalu lintas, maka ketika itu tidak ada, bisa diganti dengan aparat kepolisian bahkan sekelompok masyarakat umum. Pengendara yang cerdas akan memahami bahwa banyak simbol namun tujuannya satu; tertib berlalu lintas. Pun begitu Islam; tujuan utamanya adalah memanusiakan manusia.
Membahayakan bahwa kemudian ada yang merasa dirinya paling Islam, sehingga yang terjadi adalah setiap orang yang menentangnya dianggap sebagai anti-Islam, walaupun penentangnya adalah sesama orang Islam.
Muhammad Khoiruz Zadit Taqwa Ketum PPI Yaman 2012-2013