Pernah suatu ketika, dress code yang disepakati adalah "kembali ke sekolah". Hasilnya memang lucu; pada hari itu seolah-olah ada sekelompok "anak sekolah" yang bekerja di kantor. Ada yang mengenakan celana atau bawahan abu-abu ala anak SMA, ada juga yang mengenakan warna merah ala murid SD. Yang jelas, kemeja atau baju atasannya putih. Karena saya bos (ehm!), maka saya cukup mengenakan batik. Lho, kok nggak kompak? Siapa bilang?
Ketika kami foto bersama, maka tampaklah sederetan murid sekolah dengan saya seolah-olah sebagai gurunya. Hehehe. Kami pun menjadi pusat perhatian seluruh kantor; ada yang menatap aneh, ada yang sinis, ada yang terinspirasi karena merasa mendapatkan pemandangan yang tak biasa, lumayan buat menyegarkan suasana kantor agar tidak tegang, kaku, dan serius melulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya teringat kembali momen itu ketika awal pekan lalu menghadiri acara peluncuran buku teman kami, Citra Yuliasari. Ketika diinterogasi oleh MC saat mengantarkan peluncuran bukunya yang berjudul Sosialijah itu, Citra menceritakan salah satu pengalamannya, yang menjadi bagian dari isi bukunya tersebut. Alkisah, ia punya sekelompok pertemanan ibu-ibu muda yang rutin mengadakan arisan.
Baginya, setiap kali acara arisan itu tiba, seolah menjadi momen "uji nyali". Waduh, kira-kira dress code apa lagi yang nanti akan dipakai, demikian pikirnya. Arisan kumpulan ibu-ibu yang terbentuk karena sama-sama sebagai orangtua murid sekolahan anaknya itu memang unik. Selalu ada-ada saja ide yang terlontar, dan herannya, kata Citra, "semua satu frekuensi dalam hal kegilaan dan semangat untuk mensukseskannya".
Suatu kali, dress code yang ditentukan membuat dia tersipu. Ibu-ibu muda yang sebenarnya sudah tidak muda lagi itu --walau tetap tidak kalah manis dengan yang muda, kata Citra-- harus sepakat menggunakan kostum dengan tema 'Avangers'. Entah siapa yang memulai mencetuskan, tapi ide itu disambut dengan gegap gempita. Citra pun kemudian mengenang, betapa repotnya ia yang kala itu kebagian mengenakan kostum Spiderman.
Saat itu hanya terpikirkan topeng Spiderman milik anaknya. Sedangkan untuk bajunya perlu perjuangan bongkar lemari, yang penting warnanya merah-biru. Tidak lupa, ia membeli stiker laba-laba untuk ditempelkan di bajunya. Karena seperti biasa Jakarta macet, dan ditambah hari itu juga sangat panas, ia memutuskan memarkir kendaraannya di suatu tempat, dan meneruskan perjalanan dengan ojek online.
Sambil menunggu ojek andalannya datang, dia berdiri di tepi jalan, dan banyak mata memandang ke arahnya. Dia "lupa" kalau saat itu sedang berdandan aneh. Saat si tukang ojek datang, kalimat pertama yang keluar adalah, "Wah, neng Spiderman kok pesen ojek, nggak pakai jaring laba-laba aja biar cepet nyampe?" Saat itulah dia baru sadar, bahwa dirinya sedang berdandan "tidak normal".
Malu? Tentu saja, ada sedikit rasa itu. Tapi, ketika ia sampai di lokasi acara, dandanannya ternyata belum seberapa "memalukan" dibanding lainnya. Salah seorang temannya ada yang menyulap panci dapur sebagai atribut kostum Thor. Teman lainnya dengan kreatif menggunting-gunting rafia sebagai efek api untuk kostum Scarlet Witch. Namun, yang paling epik, ada yang rela menghijaukan seluruh wajah dan tangannya dengan eye shadow untuk berperan sebagai Gamora.
"Begitulah, punya teman-teman yang kadar sedeng-nya sama memang mengasyikkan, setidaknya ada satu kelompok teman yang punya frekuensi sama dan nggak jaim itu berkah," kata Citra seraya kemudian menyambung dengan semacam kesimpulan, "Ternyata, semakin kita gila semakin bahagia. Sosialita beneran mana bisa kayak gitu!"
Dari situlah, Citra menciptakan istilah "solialijah" yang kemudian menjadi judul bukunya itu, plesetan dari kata "solialita" yang digabungkan dengan kata "ijah" yang merupakan nama poluler asisten rumah tangga. Citra menamai dirinya dan teman-temannya sebagai "sosialijah", yakni ibu-ibu kelas menengah yang masih suka sosialisasi untuk eksistensi, tapi tugas utamanya masih "ngijah" alias bebenah rumah. "Kalau di rumah seneng banget pakai daster yang adem, tapi kalau keluar rumah lipstik harus tetap on," katanya.
Citra mengindentifikasi para sosialijah itu, termasuk dirinya ada di dalamnya, rata-rata memiliki rasa percaya diri cukup tinggi. Mereka juga apa adanya dalam menjalani hidup, bukan golongan BPJS alias budget pas-pasan jiwa sosialita. Mereka bahagia dengan tugasnya antar-jempur anak sekolah. Sesekali saat menunggu anak sekolah biasanya "ngopi-ngopi cantik" di kafe atau resto sekitar sekolahan, tapi agak rempong kalau sudah urusan anak. Mereka biasanya juga termasuk ibu-ibu produktif dalam keahliannya masing-masing, punya jiwa sosial tinggi, dan juga dari latar belakang pendidikan yang cukup tinggi.
Saya melihat sendiri setidaknya dari para hadirin yang diundang oleh Citra ke acara peluncuran bukunya di Penang Bistro, Grand Indonesia itu. Mereka hampir semuanya berjilbab, wajah mulus dan berkilau oleh kosmetik, wangi, busana berlapis-lapis dengan aneka warna yang membuat orang menoleh dua kali ke arahnya. Atau, dalam istilah Citra, mereka punya karakter yang kuat. Dan, itu tadi, kegilaan yang spontan.
Apakah ini semacam bentuk perlawanan terhadap feminisme yang menolak "peran ganda" perempuan, dan menyebutnya sebagai "beban ganda"? Saya buru-buru menepis pikiran yang terlalu serius itu. Terngiang kembali kata-kata Citra tadi, bahwa semakin kita gila semakin bahagia. Saya rasa itu sudah mewakili semuanya dengan sangat tepat.
Hidup ini kadang (atau sering) tidak mudah. Minimal bagi sebagian orang. Pemikiran bahwa hidup itu mudah adalah jebakan yang akan menyesatkan kita dari waktu ke waktu. (Hidup) bahagia bukanlah perkara sepele. Bahkan orang yang cerdas atau pun kaya raya pun sering tidak dapat mengelolanya (Sosialita beneran mana bisa!). Ungkapan "bahagia itu sederhana" yang populer di medis sosial sebenarnya terlalu menyederhanakan persoalan, dan tak lebih dari sebentuk hiburan kosong.
Kita telah menciptakan dunia yang tidak lagi kita pahami. Dunia yang penuh tekanan dan terlalu menuntut. Dunia yang menghendaki segalanya serba cepat, dan kita harus terus berlari mengejarnya. Dunia yang penuh kompleksitas, dan ketidakstabilan. Kita berusaha untuk mengarahkan lingkungan yang rumit itu menggunakan otak kita yang sebenarnya tidak pernah berkembang kapasitasnya sejak Zaman Batu. Evolusi tidak mampu mengimbangi perkembangan peradaban yang sangat cepat. Saat lingkungan kita berubah drastis selama sepuluh ribu tahun terakhir, perangkat batin dan otak kita masih sama seperti ketika mamot masih hidup di Bumi.
Itulah alasan kita perlu menyediakan satu kotak perangkat mental --bukan doktrin, ideologi, dan jargon-jargon yang kaku-- yang dapat kita gunakan lagi dan lagi, secara fleksibel; perangkat mental yang memungkinkan kita memandang dunia secara lebih objektif, bertindak lebih bijaksana, untuk jangka panjang. Perangkat mental yang memungkinkan kita untuk sesekali bertingkah "gila". Saya beruntung dan berterima kasih karena siang itu, setelah sekian lama tidak bertemu, Citra mengingatkan hal itu.
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini