Penyitaan Buku Mau Sampai Kapan?

Kolom

Penyitaan Buku Mau Sampai Kapan?

Muhammad Yusuf El-Badri - detikNews
Sabtu, 03 Agu 2019 13:30 WIB
Kasus penyitaan buku di Probolinggo (Foto: Muhammad Aminudin)
Jakarta -

Dalam kurun tujuh bulan paling tidak sudah tiga kali bencana penyitaan buku melanda Indonesia. Pertama penyitaan buku di Kediri, 26 Desember 2018. Pada peristiwa itu ada banyak buku yang disita oleh aparat TNI, yakni (1) Empat karya filsafat; (2) Menempuh Jalan Rakyat; (3) Manifesto Partai Komunis; (4) Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan; (5) Benturan NU-PKI 1948-1965; (6) Gerakan 30 September 1965 Kesaksian Letkol (PNB) Heru Atmodjo; (7) Nasionalisme, Islamisme, Marxisme; (8) Oposisi Rakyat; (9) Gerakan 30 September 1965; (10) Catatan Perjuangan 1946-1948; (11) Kontradiksi MAO-Tse-Sung; (12) Negara Madiun; (13) Islam Sontoloyo; (14) Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G 30S 1965; (15) Komunisme ala Aidit.

Tak lama setelah peristiwa Kediri, terjadi pula penyitaan buku di Padang, 8 Januari 2019. Buku-buku yang disita adalah (1) Kronik 65; (2) Mengincar Bung Besar; (3) Anak Anak Revolusi; (4) Gestapu 65 PKI; dan (5) Jas Merah. Kabar terakhir dari kasus itu, yang beredar di media lokal, buku masih diteliti Kejaksaan.

Kini bencana penyitaan buku itu terjadi lagi. Kali ini di Probolinggo. Dua orang pegiat pustaka jalanan diperiksa polisi setempat pada Sabtu (27/7) malam. Keduanya diperiksa terkait buku-buku yang mereka bawa. Ada empat buku yang disita, yakni (1) Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara; (2) Sukarno, Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia; (3) Menempuh Jalan Rakyat; (4) D.N Aidit Sebuah Biografi Ringkas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti biasa, alasan penyitaan oleh aparat negara, mulai dari peristiwa Kediri, Padang, hingga Probolinggo ini adalah bahwa aparat mencium bau komunis dan PKI di buku-buku itu. Setiap peristiwa penyitaan buku-buku itu selalu mendapat kecaman dari masyarakat, aktivis demokrasi, dan literasi.

Setiap penyitaan buku selalu ada dalih yang menggelikan. Pada saat penyitaan buku di Kediri, aparat mengatakan bahwa buku disita agar tidak meresahkan masyarakat. Masyarakat saja sekarang malas datang ke toko buku, bagaimana mereka bisa resah. Ketika penyitaan di Padang aparat berkilah bahwa tidak ada penyitaan buku, melainkan buku diamankan untuk diteliti lebih lanjut.

Kali ini di Probolinggo, kepolisian beralasan hanya meminta keterangan terkait buku yang dibawa tersebut. Namun setelah mendapat kecaman dari masyarakat dan aktivis, untuk menghilangkan jejak, dibuatlah seolah-olah tidak ada peristiwa penyitaan buku. Yang terjadi adalah penyerahan buku dari pemilik ke kepolisian. Orang Indonesia tentu tidak bodoh-bodoh amat dengan untuk memahami masalah itu.

Apapun namanya, dan dalih yang disampaikan substansinya sama, yakni buku diambil tanpa proses pengadilan karena dianggap berbau komunis atau PKI. Kabar terakhir yang beredar, buku yang disita polisi di Probolinggo diserahkan kepada MUI. Dikatakan, buku itu diserahkan untuk dikaji lebih dalam. Pertanyaannya, apa urusan buku-buku itu dikaji ole MUI? Kalau mau mengkaji isi buku itu, mestinya di lingkungan akademik, kampus.

Agaknya ini ada kaitannya dengan posisi MUI di masyarakat sebagai lembaga agama yang dihormati. Terlebih akhir-akhir ini jargon yang berkembang dalam masyarakat muslim adalah berdiri bersama ulama. Ini kesempatan bagi pemerintah untuk melegitimasi tindakan penyitaan bukunya. Dari sini terbaca bahwa masalah buku digiring menjadi masalah agama.

Dengan diserahkannya buku itu ke MUI, barangkali polisi sedang berharap MUI akan menyatakan buku-buku itu bertentangan dengan Islam. Narasi yang akan keluar dapat diterka, yakni karena Marxisme adalah ideologi anti Tuhan, maka buku-buku itu harus dilarang. Polisi lupa bahwa tak semua yang bertentangan dengan Islam menjadi otomatis dilarang di Indonesia. Kata netizen sekarang: tidak semudah itu, Bambang!

Oh ya, sebelum kasus Probolinggo ini, kabar yang juga beredar setelah penyitaan buku di Kediri dan Padang adalah bahwa buku disita untuk diteliti atau dikaji lebih dalam. Lalu, dari kasus penyitaan Padang dan Kediri itu, bagaimana hasil kajian dan penelitian tersebut? Apakah sudah ada berita? Saya sih belum baca. Ini sudah enam bulan lebih, apa masih sedang dikaji atau diteliti? Apa sedang dibiarkan saja biar menguap dan hilang?

Mulai Bosan

Oke. Sembari menunggu hasil kajian atau penelitian dari kasus penyitaan buku di Kediri, Padang, dan Probolinggo itu, ada pertanyaan penting, mungkin juga pertanyaan banyak orang. Kenapa penyitaan harus terjadi terus-menerus tanpa henti dan silih berganti dari satu kota ke kota lain di setiap tahun? Kenapa penyitaan tidak dilakukan secara serentak dan sekaligus di seluruh Indonesia?

Jawaban yang paling mungkin atas pertanyaan itu adalah bahwa penyitaan demi penyitaan itu dilakukan agar isu komunis tetap hidup dalam masyarakat. Guna meyakinkan publik bahwa komunisme benar-benar masih ada, maka dilakukanlah penyitaan buku itu. Publik tidak perlu bertanya soal hubungan buku dengan keberadaan sesuatu ideologi atau partai.

Sebenarnya kalau memang pemerintah serius ingin menyelesaikan masalah buku dan mengakhiri keresahan masyarakat --yang menjadi salah satu alasan penyitaan-- mereka bisa membeli semua buku yang diduga "berbau" itu dari toko-toko buku. Kumpulkan buku-buku "berbau" itu secara berjenjang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Lalu kaji dan teliti secara akademik dan ilmiah. Hasil kajian atau penelitian itu umumkan ke publik, mana buku yang berbahaya, kalau memang ada.

Tanpa keseriusan itu, masyarakat akan terus menduga-duga ada apa di balik penyitaan buku itu sehingga sering terjadi. Tanpa keseriusan itu, masyarakat sangat mungkin akan membangun kesimpulan sendiri. Bahwa penyitaan buku bukan untuk diteliti atau dikaji melainkan agar isu komunisme, PKI tetap bertahan dan hidup dalam memori masyarakat sebagai ideologi yang berbahaya.

Setiap penyitaan buku menuai kecaman. Tapi penyitaan buku terus terjadi. Apakah aparat negara tidak bosan dengan kecaman itu? Kalau aparat tidak bosan, mungkin wartawan mulai bosan membuat berita judulnya itu melulu. Kalau wartawan tidak bosan, ya netizen bosan, karena beritanya tidak berubah-berubah dari tahun ke tahun. Arab Saudi saja yang terkenal ketat dalam beragama sudah menggelar turnamen PUBG dan sedang menyiapkan taksi terbang, orang Indonesia masih sibuk mengecam penyitaan buku. Apakah memang Indonesia dipertahan seperti ini sampai kucing bertanduk?

Muhammad Yusuf el-Badri pengkaji Islam dan kebudayaan

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads