Tempurung Kepala yang Batal Membesar
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Tempurung Kepala yang Batal Membesar

Selasa, 30 Jul 2019 14:50 WIB
Iqbal Aji Daryono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta - Almarhum bapak saya seorang guru Biologi. Maka, meskipun beliau seorang muslim-Muhammadiyah taat yang tentu berpihak kepada kreasionisme, tetap saja Bapak terpapar pengaruh ide-ide dari Teori Evolusi.

Karena itulah, sejak kecil saya sudah diberi gambaran bahwa suatu ketika nanti manusia akan mengecil tubuhnya dan membesar kepalanya.

Kenapa? Sebab segenap aktivitas badan semakin dikurangi dengan bantuan teknologi, sedangkan segala aktivitas berpikir dengan otak semakin digenjot dalam intensitas tinggi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Itu imajinasi yang sangat Darwinian, bukan?

Hari ini saya ingin membantah nubuat bapak saya itu. Bukan karena saya menolak mentah-mentah Darwin atau Wallace atas nama kesucian kreasionisme, melainkan karena semakin hari saya semakin melihat bahwa aktivitas otak justru semakin menurun, bukannya semakin tinggi.

***

Saya menuliskan kalimat-kalimat ini di Tokushima, sebuah kota sepi sejarak 500 kilometer barat daya Tokyo.

Ini sudah hari kedua saya berada di sini, di flat tempat tinggal adik saya yang sedang studi. Rencananya, saya akan mengalokasikan 20% waktu untuk menengok adik, dan 80% sisanya tentu saja untuk berjalan-jalan. Tapi sekarang sudah hari kedua, dan saya belum beranjak ke mana-mana.

Ada semacam rasa malas keluar rumah, jenis rasa yang dulu-dulu jarang ada pada diri saya. Penyebabnya akhirnya ketemu pula: saya belum punya paket data internet di ponsel saya. Bukankah itu sangat mengerikan? Bayangkan, manusia keluar rumah tanpa paket internet! Manusia macam apa itu?

Tanpa paket internet, saya tidak akan bisa googling untuk mencari toilet umum terdekat. Tanpa paket internet, saya tidak akan bisa mencari warung makan sea food atau vegetarian yang lebih minim kemungkinan mengandung babi. Dan yang lebih menyeramkan, tanpa paket internet, saya akan rentan kesasar, tidak dapat dengan mudah pulang ke flat adik saya saat malam tiba.

Ya, dengan paket internet, saya tinggal buka Google Maps, pencet alamat, klik direction, klik start, lalu suara lembut mbak-mbak penunggu Google Maps dengan penuh ketelatenan akan mengarahkan langkah kaki saya belok kiri belok kanan, hingga akhirnya dia berkata dengan riang: "You have arrived!"

Lima tahun silam, sebenarnya saya pernah datang juga ke negeri ini. Itu masa ketika saya belum berkenalan dengan mbak-mbak Google Maps, bahkan sama sekali tidak membeli paket internet. Namun, jelas saya ingat, petugas hotel di Kyoto memberikan denah manual yang digambar dengan bolpoin ala kadarnya, lalu saya membacanya, mengingat-ingatnya, dan saya berkeliling kota dengan baik-baik saja.

Sekarang, situasinya beda. Saya tak lagi punya kemampuan mengingat. Bukan karena terlalu banyak kenangan pedih di masa lalu yang tak layak diingat, bukan itu. Melainkan karena sepertinya saya telanjur terbiasa meletakkan segala isi otak di luar tempurung kepala.

Ini sesungguhnya pola kemajuan zaman yang terus berjalan. Setiap progres "kemampuan" manusia ditandai dengan pengurangan demi pengurangan isi kepala, dititipkan kepada perangkat-perangkat di luar kepala.

Maka, tahap yang kita yakini sebagai salah satu prestasi terbesar peradaban manusia adalah ditemukannya huruf-huruf, baca-tulis, hingga bermuara ke kapitalisme cetak.

Di satu sisi, itu semua memang merupakan langkah hebat untuk pengabadian pengetahuan. Verba volant scripta manent! Namun di sisi lain, fase itu menjadi wujud dari dipindahkannya isi kepala keluar dari tempurungnya.

Dulu, manusia berilmu menghafal banyak sekali. Contoh paling gampang bisa kita ambil dari sejarah Islam, tempat tradisi hafalan begitu kuat. Para sahabat Nabi menyimpan ayat-ayat Alquran dalam ingatan mereka, karena memang ingatanlah brankas-brankas pengetahuan yang paling dimungkinkan pada zamannya.

Namun, akibat berbagai peperangan, banyak sahabat Nabi yang wafat. Menurut catatan sejarah, tak kurang dari 500 orang di antara yang gugur itu adalah para penghafal Alquran. Melihat situasi tersebut, muncul kekhawatiran akan habisnya penghafal Alquran, dan bisa-bisa disusul "hilangnya" Alquran. Karena itulah, akhirnya Khalifah Umar bin Khattab mengambil langkah penulisan dan pembukuan Alquran.

Lihat. Dari hafalan ke pembukuan. Apa yang terjadi? Jelas, ada pemindahan isi kepala ke kertas-kertas!

Terlalu banyak contoh lain dari zaman tulisan yang menggambarkan pemindahan isi otak ke luar tempurung kepala. Tapi mari kita kembali ke Tokushima.

***

Sebelum berangkat dari Jogja, saya sudah berusaha mencari alternatif akses internet yang bisa saya pakai selama berjalan-jalan di beberapa kota yang saya rencanakan. Tak cukup banyak akses wifi gratis di Jepang, jadi semua harus kita sendiri yang mengusahakan.

Nah, saya pun ketemu dengan situs persewaan portable wifi. Ini memang menarik, meski tidak cukup ekonomis karena saya tidak pergi dalam rombongan. Tapi yang lebih menarik lagi adalah tawaran alat yang dapat disewa selain portable wifi, yaitu instant audio translator, disertai keterangan bahwa alat tersebut mengatasi masalah paling umum di Jepang: bahasa.

Dengan alat tersebut, kita bisa berkata di mikrofonnya, "Permisi, Stasiun Shin Osaka sebelah mana, ya?" Lalu kita pencet tombol terjemah ke bahasa Jepang, dan alat tersebut akan segera berbunyi dengan suara ala Usagi Sailormoon, "Sumimasen, Shin Osaka eki wa doko desuka?"

Kemudian orang yang kita tanyai akan menjawab dalam bahasa Jepang di depan alat kita, kita pencet lagi, dan muncullah jawaban dia dalam bahasa Indonesia (meski kali ini bukan suara Usagi yang muncul).

Tampaknya ini alat biasa saja, wajar saja, perkembangan lebih lanjut saja dari Google Translate. Namun, coba bayangkan efek apa yang bakal menyertainya, alat lebih canggih seperti apa yang akan kian menyempurnakannya, dan bagaimana nasib isi otak yang semakin ditendang keluar dari tempurung kepala.

Saya lulusan Sastra Jepang, meski tidak pernah bisa dengan lancar berbahasa Jepang hehehe. Tahun lalu, jurusan almamater saya di UGM mengundang saya untuk berbagi pengalaman menulis.

Ketika pagi itu saya datang dan berjumpa dengan para dosen, saya langsung bilang begini: "Pak, Bu, saya itu lulusan tercela. Lha kok malah dipanggil buat bicara?"

Pak Mulyadi, dosen linguistik saya, menjawab dengan sendu. "Begini, Iqbal. Kami ini mungkin generasi terakhir pengajar bahasa Jepang. Setelah ini semua akan diambil alih oleh teknologi. Maka kamu kami panggil untuk memberikan alternatif-alternatif lain bagi adik-adikmu."

Generasi terakhir pengajar bahasa Jepang? Oh Tuhan, bahkan bukan cuma di Sastra Jepang, pengajar jurusan-jurusan bahasa asing lainnya pun pasti akan bernasib sama!

Ya, para dosen saya ingin memberikan opsi alternatif "jalan hidup" bagi para lulusan Sastra Jepang UGM, selain sebagai diplomat, penerjemah di perusahaan-perusahaan Jepang, dan profesi-profesi lain yang menuntut kemampuan berbahasa Jepang.

Tak lama lagi, kemampuan berbahasa asing bukan lagi hal yang sangat dibutuhkan. Semua akan bisa diselesaikan dengan enteng oleh teknologi, yang kian hari kian murah, dan diakses masyarakat umum dengan kian mudah.

Ketika dulu kala kami harus berjibaku habis-habisan untuk menghafalkan ribuan kata, juga ribuan huruf Kanji yang mewakilinya, tak lama lagi semua ingatan alias isi otak itu akan cukup ditempelkan pada sepotong alat dalam genggaman tangan kita.

Perancang alat-alat itu memang sedikit banyak menggunakan otak mereka. Tapi jutaan penggunanya akan semakin mengosongkan otak, menitipkan ribuan kosa kata ke dalam memory card di dalam alat-alat, seiring mereka menitipkan ingatan atas jalur-jalur jalanan ke Google Maps, seiring mereka menitipkan kemampuan hitung-menghitung ke kalkulator dan program lain semacam Microsoft Excel, seiring mereka lupa cara mengingat nomor-nomor telepon karena isi phone book di ponsel tinggal kita penceti.

Oh ya. Pekan lalu saya memarkir kendaraan saya di lantai parkir sebuah mal. Agar tidak bingung saat kembali lagi, saya memotret nomor di tiang dekat posisi parkir saya, tanpa melihat sekilas pun nomor itu apalagi mengingat-ingatnya.

Setelah urusan selesai di beberapa lantai di atasnya, sebelum melangkah turun, bagus sekali: HP saya nge-drop! Haduh. Gimana ini? Foto nomor tempat parkir tadi ada di HP!

Akhirnya saya memakai cara baku yang paling purba dalam pencarian tempat parkir: menyisiri tiap baris dari lantai ke lantai, naik-turun lift, tertipu gerobak yang tampilannya sama, dan sebagainya. Saya merasa mirip seorang petani generasi keseratus yang tiba-tiba disuruh kembali ke hutan untuk menjalani hidup dengan berburu dan meramu.

Terang saja, kekonyolan itu terjadi karena saya sudah pasrah total mengosongkan isi otak saya, membuat kepala saya enteng karena menyandarkan nasib kepada galeri foto di HP saya.

***

Andai bapak saya masih ada, sebagai guru Biologi merangkap aktivis Muhammadiyah yang diam-diam tidak taat-taat amat kepada doktrin kreasionisme, beliau mungkin akan berkata,

"Suatu hari nanti kepala manusia akan mengecil. Dan jempol-jempol tangan mereka akan terus membesar."

Saya tidak tahu, apakah arwah Alfred Russel Wallace berkenan menggambar sketsa makhluk masa depan dari jenis seperti itu.

Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads