Narkotika kembali menjerat pekerja seni dan hiburan Tanah Air. Komedian senior Tri Retno Prayudati alias Nunung ditangkap polisi karena mengkonsumsi narkotika jenis metamfetamina atau sabu. Nunung ditangkap bersama suaminya di kediamannya dengan barang bukti berupa sabu seberat 0,36 gram (19/7). Kasus Nunung kian menambah daftar panjang pekerja seni dan hiburan Tanah Air yang terjerat narkotika.
Kalangan pekerja seni dan hiburan salah satu kelompok yang paling berisiko atau rentan terpapar narkotika. Potensi risiko keterpaparan ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, kebutuhan selalu merasa feel good dan feel better. Kalangan pekerja seni dan dunia hiburan memerlukan "suplemen" yang dapat memacu kinerjanya sepanjang waktu, selalu tampil ceria, terus fokus, dan terus memproduksi inspirasi. Selain itu, mereka juga memerlukan suplemen untuk selalu merasa feel better ketika sebelumnya memiliki masalah.
Kedua, gaya hidup. Penghasilan pekerja seni yang cukup besar cenderung memicu perubahan gaya hidup yang glamor, berhura-hura, dan cenderung "kebablasan" hingga terjerumus penyalahgunaan narkotika. Ketiga, pergaulan rekan kerja. Sejumlah pekerja seni dan hiburan yang terjerat kasus narkotika pada umumnya bermula dari pengaruh dan tawaran rekan atau tim kerja. Bahkan beberapa waktu lalu terungkap jaringan peredaran narkotika yang secara khusus menyasar kalangan pekerja seni dan hiburan.
Kasus narkotika yang menjerat Nunung dan sejumlah artis lainnya diyakini tak ubahnya fenomena gunung es. Masih banyak pekerja seni dan hiburan Tanah Air yang terlibat penyalahgunaan narkotika, namun belum tertangkap aparat. Selain Nunung, sepanjang 2019 telah diungkap sejumlah kasus narkotika di kalangan pekerja seni dan hiburan Tanah Air, di antaranya Yanto Sari, Reva Alexa, Jupiter Fortissimo, Zul 'Zivilia', Eddo 'Indonesian Idol', Agung Saudaga alias Agung Saga, Caca 'Duo Molek', dan terbaru Jefri Nichol.
Penyalahgunaan narkotika di kalangan pekerja seni dan hiburan hanya bagian kecil dari fenomena penyalahgunaan narkotika secara nasional. Merujuk data survei BNN tahun 2017 menunjukkan bahwa angka prevalensi penyalahguna narkotika di Indonesia sebesar 1,7% atau sekitar 3,3 juta jiwa. Jumlah penyalahguna narkotika tersebut 10 kali lipat penduduk Brunei atau 3 kali lipat penduduk Timor Leste. Permasalahan penyalahgunaan narkotika perlu mendapat perhatian, membutuhkan political will dan harus ditangani secara serius supaya tidak menjadi bom waktu dan merusak kualitas SDM pada masa mendatang.
Kebijakan Penanganan
Dalam perspektif politik hukum, paradigma dan orientasi upaya rehabilitatif penyalahguna narkotika sudah sangat jelas dan terang benderang tersurat dalam UU 35/2009 tentang Narkotika. Misal, pada pasal tujuan UU 35/2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa tujuannya untuk menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Pada Pasal 54 juga disebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Kalangan pekerja seni dan hiburan salah satu kelompok yang paling berisiko atau rentan terpapar narkotika. Potensi risiko keterpaparan ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, kebutuhan selalu merasa feel good dan feel better. Kalangan pekerja seni dan dunia hiburan memerlukan "suplemen" yang dapat memacu kinerjanya sepanjang waktu, selalu tampil ceria, terus fokus, dan terus memproduksi inspirasi. Selain itu, mereka juga memerlukan suplemen untuk selalu merasa feel better ketika sebelumnya memiliki masalah.
Kedua, gaya hidup. Penghasilan pekerja seni yang cukup besar cenderung memicu perubahan gaya hidup yang glamor, berhura-hura, dan cenderung "kebablasan" hingga terjerumus penyalahgunaan narkotika. Ketiga, pergaulan rekan kerja. Sejumlah pekerja seni dan hiburan yang terjerat kasus narkotika pada umumnya bermula dari pengaruh dan tawaran rekan atau tim kerja. Bahkan beberapa waktu lalu terungkap jaringan peredaran narkotika yang secara khusus menyasar kalangan pekerja seni dan hiburan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyalahgunaan narkotika di kalangan pekerja seni dan hiburan hanya bagian kecil dari fenomena penyalahgunaan narkotika secara nasional. Merujuk data survei BNN tahun 2017 menunjukkan bahwa angka prevalensi penyalahguna narkotika di Indonesia sebesar 1,7% atau sekitar 3,3 juta jiwa. Jumlah penyalahguna narkotika tersebut 10 kali lipat penduduk Brunei atau 3 kali lipat penduduk Timor Leste. Permasalahan penyalahgunaan narkotika perlu mendapat perhatian, membutuhkan political will dan harus ditangani secara serius supaya tidak menjadi bom waktu dan merusak kualitas SDM pada masa mendatang.
Kebijakan Penanganan
Dalam perspektif politik hukum, paradigma dan orientasi upaya rehabilitatif penyalahguna narkotika sudah sangat jelas dan terang benderang tersurat dalam UU 35/2009 tentang Narkotika. Misal, pada pasal tujuan UU 35/2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa tujuannya untuk menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Pada Pasal 54 juga disebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Lebih lanjut, pada Pasal 103 disebutkan bahwa para hakim dalam menangani perkara pecandu narkotika dapat memutuskan, menetapkan dan memerintahkan pecandu narkotika menjalani rehabilitasi baik terbukti bersalah atau tidak bersalah melakukan tindak pidana narkotika, serta masa menjalani rehabilitasi terhitung sebagai masa menjalani hukuman.
Bahkan lebih maju lagi, dalam rangka menggairahkan upaya rehabilitatif, penyalahguna narkotika didorong melaporkan diri atau dilaporkan oleh orangtua atau wali secara sukarela kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) untuk memperoleh perawatan atau rehabilitasi, sekaligus diberikan imunitas tuntutan pidana penyalahgunaan narkotika. Rangkaian panjang konstruksi hukum rehabilitasi penyalahguna narkotika ini sebagai ijtihad hukum dalam kerangka restorative justice yang menghendaki adanya pemulihan menyeluruh terhadap dampak buruk yang dialami pelaku, korban dan masyarakat.
Problematika Penanganan
Kendati konstruksi politik hukum yang berorientasi rehabilitatif sudah cukup lengkap dan tegas, namun pada level teknis operasional menyisakan sejumlah problem yang cukup pelik. Terdapat sejumlah problem atau hambatan dalam proses penanganan penyalahguna narkotika. Pertama, pemahaman aparatur. Di kalangan aparat penegak hukum tidak sepenuhnya memahami filosofi dasar dan orientasi penghukuman rehabilitatif.
Rehabilitasi dipahami bukan sebagai bentuk hukuman. Aparat penegak hukum masih gemar menempuh tradisi memenjarakan daripada merehabilitasi penyalahguna narkotika. Implikasinya, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) semakin terbebani dan kewalahan menampung narapidana hingga terjadi over kapasitas, bahkan kelebihan daya tampung Lapas mencapai 150-300 persen. Berdasarkan data jenis kasus narapidana sekitar 60-70% adalah kasus narkotika.
Kedua, infrastruktur rehabilitasi narkotika. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan bahwa kapasitas fasilitas rehabilitasi narkotika secara nasional baik yang dikelola pemerintah dan masyarakat hanya mampu menampung atau melayani sekitar 20.000 penyalahguna narkotika dan sebarannya juga tidak merata. Kondisi infrastruktur rehabilitasi narkotika juga masih banyak yang belum sesuai standar pelayanan minimal alias masih ala kadarnya, khususnya kondisi infrastruktur rehabilitasi yang dikelola masyarakat.
Ketiga, standar prosedur dan metode rehabilitasi narkotika. Hingga saat ini belum ada konsensus standar prosedur dan metode rehabilitasi narkotika sebagai pedoman di Kemenkes, Kemensos, dan BNN. Selama ini ketiga lembaga penyelenggara fungsi rehabilitasi narkotika masih sektoral dalam menyelenggarakan layanan antara rehabilitasi medis dan sosial. Padahal intervensi rehabilitasi narkotika meniscayakan adanya intervensi medis dan sosial secara terpadu dan berkelanjutan.
Keempat, distorsi pandangan masyarakat. Rehabilitasi dalam pandangan masyarakat masih dipahami bukan sebagai hukuman. Di benak masyarakat bahwa bentuk hukuman hanya berupa penjara. Rehabilitasi masih dipersepsikan masyarakat umum sebagai bentuk hasil transaksi dan negosiasi aparat hukum kepada para penyalahguna narkotika. Pandangan publik kian diperkuat dengan pembedaan perlakuan aparat hukum kepada beberapa pihak. Tokoh atau publik figur yang terjerat kasus narkotika dengan mudah direhabilitasi, tetapi masyarakat awam yang terjerat kasus narkotika langsung dipenjara.
Reformasi Rehabilitasi
Sengkarut pelaksanaan rehabilitasi narkotika sebagaimana diungkap Ombudsman perlu segera ditindaklanjuti. Langkah awal yang harus dilaksanakan adalah melakukan restrukturisasi institusional yakni menyatukan sejumlah institusi penyelenggara fungsi rehabilitasi dalam satu institusi. Pembauran ini untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi sumberdaya pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi rehabilitasi narkotika sekaligus menghentikan tradisi ego sektoral yang tak berkesudahan.
Langkah selanjutnya adalah upgrading paradigma dan penguatan kapasitas aparatur penegak hukum terkait penanganan kasus penyalahgunaan narkotika. Perbaikan pemahaman ini untuk menghindari maladministrasi penegakan hukum kasus penyalahgunaan narkotika sekaligus menyelamatkan penyalahguna dari penyakit adiksi narkotika.
Kebutuhan restrukturisasi institusional dan perubahan cara pandang aparatur yang berorientasi rehabilitatif menemukan momentum yang tepat dan sangat relevan dengan visi Presiden Jokowi 2020-2024, yakni reformasi birokrasi. Pada periode kepemimpinan kedua, Presiden Jokowi akan melakukan reformasi struktural yang lebih sederhana, lincah, dan cepat. Selain reformasi struktural juga termasuk reformasi mindset aparatur. Oleh karena itu, reformasi struktural dan kultural penanganan penyalahgunaan narkotika yang berorientasi pada upaya rehabilitatif menjadi penting.
Miftahul Khoir pemerhati kebijakan antinarkoba
(mmu/mmu)
Bahkan lebih maju lagi, dalam rangka menggairahkan upaya rehabilitatif, penyalahguna narkotika didorong melaporkan diri atau dilaporkan oleh orangtua atau wali secara sukarela kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) untuk memperoleh perawatan atau rehabilitasi, sekaligus diberikan imunitas tuntutan pidana penyalahgunaan narkotika. Rangkaian panjang konstruksi hukum rehabilitasi penyalahguna narkotika ini sebagai ijtihad hukum dalam kerangka restorative justice yang menghendaki adanya pemulihan menyeluruh terhadap dampak buruk yang dialami pelaku, korban dan masyarakat.
Problematika Penanganan
Kendati konstruksi politik hukum yang berorientasi rehabilitatif sudah cukup lengkap dan tegas, namun pada level teknis operasional menyisakan sejumlah problem yang cukup pelik. Terdapat sejumlah problem atau hambatan dalam proses penanganan penyalahguna narkotika. Pertama, pemahaman aparatur. Di kalangan aparat penegak hukum tidak sepenuhnya memahami filosofi dasar dan orientasi penghukuman rehabilitatif.
Rehabilitasi dipahami bukan sebagai bentuk hukuman. Aparat penegak hukum masih gemar menempuh tradisi memenjarakan daripada merehabilitasi penyalahguna narkotika. Implikasinya, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) semakin terbebani dan kewalahan menampung narapidana hingga terjadi over kapasitas, bahkan kelebihan daya tampung Lapas mencapai 150-300 persen. Berdasarkan data jenis kasus narapidana sekitar 60-70% adalah kasus narkotika.
Kedua, infrastruktur rehabilitasi narkotika. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan bahwa kapasitas fasilitas rehabilitasi narkotika secara nasional baik yang dikelola pemerintah dan masyarakat hanya mampu menampung atau melayani sekitar 20.000 penyalahguna narkotika dan sebarannya juga tidak merata. Kondisi infrastruktur rehabilitasi narkotika juga masih banyak yang belum sesuai standar pelayanan minimal alias masih ala kadarnya, khususnya kondisi infrastruktur rehabilitasi yang dikelola masyarakat.
Ketiga, standar prosedur dan metode rehabilitasi narkotika. Hingga saat ini belum ada konsensus standar prosedur dan metode rehabilitasi narkotika sebagai pedoman di Kemenkes, Kemensos, dan BNN. Selama ini ketiga lembaga penyelenggara fungsi rehabilitasi narkotika masih sektoral dalam menyelenggarakan layanan antara rehabilitasi medis dan sosial. Padahal intervensi rehabilitasi narkotika meniscayakan adanya intervensi medis dan sosial secara terpadu dan berkelanjutan.
Keempat, distorsi pandangan masyarakat. Rehabilitasi dalam pandangan masyarakat masih dipahami bukan sebagai hukuman. Di benak masyarakat bahwa bentuk hukuman hanya berupa penjara. Rehabilitasi masih dipersepsikan masyarakat umum sebagai bentuk hasil transaksi dan negosiasi aparat hukum kepada para penyalahguna narkotika. Pandangan publik kian diperkuat dengan pembedaan perlakuan aparat hukum kepada beberapa pihak. Tokoh atau publik figur yang terjerat kasus narkotika dengan mudah direhabilitasi, tetapi masyarakat awam yang terjerat kasus narkotika langsung dipenjara.
Reformasi Rehabilitasi
Sengkarut pelaksanaan rehabilitasi narkotika sebagaimana diungkap Ombudsman perlu segera ditindaklanjuti. Langkah awal yang harus dilaksanakan adalah melakukan restrukturisasi institusional yakni menyatukan sejumlah institusi penyelenggara fungsi rehabilitasi dalam satu institusi. Pembauran ini untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi sumberdaya pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi rehabilitasi narkotika sekaligus menghentikan tradisi ego sektoral yang tak berkesudahan.
Langkah selanjutnya adalah upgrading paradigma dan penguatan kapasitas aparatur penegak hukum terkait penanganan kasus penyalahgunaan narkotika. Perbaikan pemahaman ini untuk menghindari maladministrasi penegakan hukum kasus penyalahgunaan narkotika sekaligus menyelamatkan penyalahguna dari penyakit adiksi narkotika.
Kebutuhan restrukturisasi institusional dan perubahan cara pandang aparatur yang berorientasi rehabilitatif menemukan momentum yang tepat dan sangat relevan dengan visi Presiden Jokowi 2020-2024, yakni reformasi birokrasi. Pada periode kepemimpinan kedua, Presiden Jokowi akan melakukan reformasi struktural yang lebih sederhana, lincah, dan cepat. Selain reformasi struktural juga termasuk reformasi mindset aparatur. Oleh karena itu, reformasi struktural dan kultural penanganan penyalahgunaan narkotika yang berorientasi pada upaya rehabilitatif menjadi penting.
Miftahul Khoir pemerhati kebijakan antinarkoba
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini