Mengapa Amnesti Diberikan?
Dalam sejarahnya, pemberian amnesti dan abolisi sebelumnya hanya diberikan kepada mereka yang melanggar aturan hukum pidana akibat dari persoalan politik seperti makar atau pemberontakan. Dalam Pasal 1 UU Darurat No.11 tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi dinyatakan bahwa Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Tidak disebutkan secara spesifik untuk narapidana politik, yang memang tidak dikenal dalam istilah hukum.
UU Darurat ini memang dibuat untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada semua orang yang sebelum 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesa (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda. Berdasarkan aturan itu Presiden Sukarno memberikan amnesti kepada para pemberontak PRRI di Sumatera Barat dan Manado.
Pada masa awal Reformasi, Presiden Habibie memberikan amnesti kepada perorangan seperti Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan yang dipidana karena subversi dan mengkritik pemerintah. Presiden Abdurrahman Wahid juga pernah memberikan amnesti kepada Budiman Sudjatmiko. Presiden SBY memberikan amnesti dan abolisi bagi anggota GAM Aceh setelah kesepakatan damai di Helsinki.
Lalu ditafsirkan, seolah amnesti hanya boleh diberikan bagi narapidana politik. Ada juga yang mempertanyakan, apakah pemberian amnesti untuk Nuril sama dengan menembak semut dengan meriam?
Menilik dari sejarah pemberian amnesti, tujuannya beragam. Jalan amnesti ditempuh untuk menghapus pidana para narapidana politik, untuk menarik garis pembeda yang tajam dengan rejim terdahulu bahwa rezim ini bukan kontinuitas dari rezim yang lama. Juga, untuk mengembalikan keseimbangan sosial pascakonflik.
Sidang Paripurna DPR 25 Juli 2019 yang memberi pertimbangan amnesti Baiq Nuril menyatakan telah menelusuri memorie van toelichting (memori penjelasan) Pasal 14 ayat (2) 1945 UUD 1945, dan menyimpulkan tidak menemukan dalam memori penjelasan pasal tersebut yang membatasi amnesti hanya untuk narapidana politik. Artinya, UUD 1945 sendiri tidak memberi batasan apapun mengenai perkara mana yang bisa masuk dalam konteks amnesti.
Kasus Nuril tidak bisa dilihat sebagai kasus hukum pidana biasa yang berdiri sendiri, tetapi berdimensi keadilan dan kemanusiaan. Bahkan, dapat ditafsirkan kepentingan negara yang luas. Kepentingan negara sesungguhnya bukanlah soal apakah terpidana merupakan narapidana politik dan juga bukan soal apakah pasalnya kejahatan politik, melainkan lebih pada persoalan dimensi kepentingan negara dari substansi perkaranya.
Sedikitnya ada dua alasan mengapa perkara ini sangat kuat berdimensi keadilan, kemanusiaan, dan kepentingan negara. Pertama, berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan 2018, kekerasan terhadap perempuan meningkat 14% dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi 406.178 kasus, dari angka itu 3.915 adalah kekerasan terhadap perempuan di ranah publik, 64%-nya adalah kekerasan seksual. Parahnya, pantauan Komnas Perempuan, kekerasan seksual yang terjadi di sekolah, tempat kerja, tak ditangani dengan memadai.
Kedua, pemerintah sebenarnya sudah sejak 1984 (paling tidak secara legal formal ditunjukkan dengan meratifikasi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) sudah berkomitmen untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Pertimbangan perlu diberikannya amnesti terhadap Nuril dapat dibaca merupakan langkah hukum progresif oleh Presiden untuk menguatkan kembali komitmen negara dalam pengarusutamaan gender, maupun pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan dan menunjukkannya secara luas kepada publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukum di Indonesia masih terbata-bata dalam memahami kekerasan dan pelecehan seksual. Nuril yang hanya bekerja sebagai tenaga honorer pada tata usaha sebuah SMA, dengan relasi yang tak setara dengan pelaku pelecehan HM yang merupakan kepala sekolah atasannya langsung di tempat kerja. Putusan kasasi dan PK itu menjadi barometer bahwa kalangan terpelajar sekali pun masih awam tentang pelecehan seksual.
Umumnya, yang disangka termasuk pelecehan seksual adalah hanya ketika melibatkan kontak fisik dan pemaksaan saja. Padahal, lingkup pelecehan seksual jauh lebih luas dari itu dan juga melibatkan aksi verbal seperti permintaan, komentar, serta gestur seksual yang tidak diinginkan seseorang.
Terlebih lagi, di era digital, pelecehan seksual tidak hanya terjadi dalam interaksi tatap muka, tetapi juga dapat ditemukan dalam daring, telepon, ataupun melalui pesan singkat. Kasus Nuril ini juga mematangkan gagasan agar DPR segera menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Artinya, amnesti bagi Baiq Nuril tidak hanya dinikmati Nuril sendiri, melainkan juga berdampak bagi perempuan lain agar jangan takut membela diri dan mengungkap pelecehan seksual. Amnesti kepada Nuril juga menjadi refleksi ada masalah dalam UU ITE sehingga legislator dan pemerintah perlu duduk bersama untuk merevisi pasal-pasal karet yang bermasalah.
Terobosan
Amnesti bagi Nuril merupakan terobosan yang menyejarah, amnesti pertama pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi yang diberikan kepada seorang perempuan. Ia bukan terpidana makar, melainkan korban pelecehan yang berusaha membela diri tapi justru kemudian menjadi terpidana.
Hukum bukan bangunan yang statis, tidak cukup hanya membaca teks, melainkan juga konteks. Zaman sudah berubah. Jika pada masa transisi politik amnesti diberikan hanya kepada musuh-musuh politik rezim sebelumnya, maka pada masa demokrasi sekarang amnesti mungkin saja diberikan atas alasan pemulihan keadilan dan kemanusiaan ketika tidak ada lagi jalan merestorasi keadilan.
Amnesti kepada Baiq Nuril mungkin bukan jalan sempurna, tetapi itu satu-satunya jalan yang masih tersedia demi penegakan keadilan yang lebih hakiki daripada sekadar penegakan (formalitas) hukum. Amnesti untuk Nuril merupakan terobosan untuk mendekatkan hukum pada keadilan ketika semua jalan sudah buntu.
Tentu, meski amnesti merupakan kewenangan konstitusi Presiden, ia tidak boleh diobral. Karena itu, ke depan amnesti perlu diperjelas dengan UU Amnesti sebagai penjabaran dari Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, misalnya amnesti hanya diberikan dengan pertimbangan kepentingan negara, keadilan dan kemanusiaan yang mendalam dengan syarat-syarat tertentu.
Juga perlu diatur, meski kasus berdimensi politik, untuk kejahatan-kejahatan yang merupakan musuh seluruh umat manusia seperti korupsi, pelanggaran HAM, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida, amnesti tidak diperbolehkan.
Widodo Dwi Putro dosen FH Unram dan Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini