Menangkal Radikalisme dengan Pemberantasan Korupsi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menangkal Radikalisme dengan Pemberantasan Korupsi

Senin, 29 Jul 2019 10:41 WIB
hasan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Radikalisme bisa secara sederhana kita definisikan sebagai keinginan untuk mengubah bentuk dan dasar negara, dari negara republik berdasarkan Pancasila menjadi negara dalam bentuk lain. Bentuk lain itu utamanya adalah negara berbasis agama, baik yang bersifat lokal yang masih membawa identitas atau nama Indonesia maupun yang sifatnya transnasional, yaitu negara yang melampaui sekat-sekat kebangsaan, seperti yang dipromosikan oleh para penganjur khilafah.

Keinginan atas sebuah negara dalam bentuk lain selain Republik Indonesia ini sudah ada sejak dulu, dan terus terpelihara. Sejak awal berdirinya negara ini sudah ada pihak-pihak yang menginginkan negara Indonesia dalam format negara Islam. Meski akhirnya format yang disepakati adalah negara dalam format seperti sekarang, keinginan atas negara Islam itu tidak pernah mati. Keinginan itu juga tidak statis. Ia menguat dan melemah tergantung pada sejumlah faktor.

Salah satu faktor yang berpengaruh adalah tingkat kepuasan setiap orang terhadap keadaan negara sekarang, terhadap kinerja pemerintah. Kalau pemerintah sekarang memuaskan dan dianggap baik, keinginan untuk mengubah negara dalam format lain itu akan berkurang. Sebaliknya, kalau orang menganggap kinerja pemerintah ini buruk, keinginan untuk mengubah negara akan menguat. Nah, salah satu parameternya adalah korupsi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa yang dipikirkan orang ketika melihat kasus-kasus korupsi? Negara ini adalah negara rusak dan gagal. Ini adalah kerusakan akibat sistemnya salah. Untuk memperbaikinya, sistemnya harus diganti. Cara berpikir seperti itu bisa terbentuk secara spontan, bisa juga melalui propaganda. HTI dalam setiap propaganda selalu menggunakan isu ini, negara rusak dan korup, khilafah adalah solusinya. Dalam sistem khilafah tak ada lagi korupsi.

Korupsi punya akibat lain, yaitu ketidakadilan. Sama seperti efek yang tadi dijelaskan, ketidakadilan juga akan memicu pikiran untuk mencari alternatif sistem kenegaraan yang lain. Orang diperlakukan tidak adil, misalnya saat berperkara di pengadilan. Karena hakim yang korup, ia kalah, padahal ia berada di pihak yang benar. Atau, orang difitnah oleh penegak hukum yang korup, karena ia tak mau memberi suap. Apa yang dipikirkan orang yang mengalami dan orang-orang yang melihatnya? Sistem ini, negara ini zalim. Karena itu bentuk negara, dasar negara harus diganti.

Korupsi juga menurunkan kredibilitas penegak hukum yang bertugas memberantas terorisme dan radikalisme. Coba perhatikan bagaimana sikap banyak orang terhadap Densus 88. Ada penceramah agama yang terang-terangan menuduh mereka agen negara kafir yang memusuhi umat Islam. Ada pula yang menuduh Densus 88 mengarang fakta-fakta teror dan teroris, agar mereka diberi tambahan anggaran.

Kenapa itu bisa terjadi? Itu semua karena persepsi masyarakat menganggap kepolisian masih korup. Selama bertahun-tahun persepsi itu tidak berubah. Dalam berbagai survei, kepolisian selalu menempati posisis teratas sebagai lembaga yang korup. Persepsi itu tidak mengada-ada. Faktanya, masyarakat merasakan betapa korupnya lembaga itu di berbagai level. Mulai dari hal kecil di jalan raya sampai ke urusan politik kenegaraan.

Tentu saja soalnya tidak sederhana. Orang yang memang menghendaki sistem lain selain sistem republik, akan selalu mencari dalih untuk menganggap negara ini jelek. Mereka tidak peduli bahwa dalam sistem yang mereka impikan pun banyak korupsi. Khilafah, misalnya, dalam sejarahnya dipenuhi oleh berbagai bentuk korupsi. Orang-orang itu bahkan terlibat dalam praktik-praktik korup. Orang-orang yang menghendaki pergantian sistem itu pada saat yang sama juga merupakan orang-orang yang korup pula. Mereka hanya menjadikan korupsi sebagai bahan propaganda saja.

Artinya, tidak ada jaminan bahwa penurunan korupsi akan mematikan minat terhadap sistem lain. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa korupsi memang berkontribusi secara memadai terhadap tumbuh kembangnya gagasan radikal. Jadi, kalau pemerintah mau mengurangi radikalisme, salah satu jalan penting yang harus dilalui adalah dengan keseriusan memberantas korupsi.

Kita semua harus mampu membuktikan bahwa demokrasi yang mereka haramkan adalah sistem yang baik. Selama ini yang dipamerkan dalam kenyataan adalah sebaliknya, demokrasi hanya memberi jalan kepada orang-orang berduit untuk merebut kekuasaan. Dengan kekuasaan itu mereka memperkaya diri lebih banyak lagi, melalui korupsi.

Rakyat mesti mendapat perlindungan agar hak-hak mereka tak dirampas. Negara mesti hadir dalam setiap kesempatan di mana rakyat berpotensi dirugikan dan dizalimi. Dalam kenyataannya, negara sering tidak hadir saat rakyat dizalimi. Bahkan sering terjadi aparat negara bersekutu dengan pihak yang zalim dalam menzalimi rakyat. Alih-alih menindak orang zalim, mereka justru melindungi kezaliman.

Orang-orang mesti diyakinkan bahwa penindakan terhadap radikalisme dan terorisme adalah dalam rangka menegakkan hukum dan melindungi masyarakat, bukan memusuhi dan menzalimi umat Islam. Tapi bagaimana masyarakat bisa percaya soal itu kalau korupsi oleh kepolisian dan aparat penegak hukum begitu telanjang?

Setiap aparat negara, setiap warga negara harus sadar betul efek korupsi pada tumbuhnya radikalisme. Korupsi tidak hanya merusak sistem kehidupan bernegara, tapi juga merangsang orang untuk menghancurkan negara ini.

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads