Namun demikian, eskalasi yang terjadi ini sebenarnya tidak lepas dari ketegangan yang berlangsung beberapa waktu sebelumnya, yang menghadirkan perseteruan klasik antara Iran dengan sekutu dekat Inggris, yaitu Amerika Serikat (AS).
Sebagaimana diberitakan, dalam beberapa minggu terakhir, kedua negara ini (AS-Iran) sudah mulai melakukan rally, baik dalam bentuk statement, perang urat sarat, hingga penggelaran alutsista. Sejak perang Irak-Iran lebih dari 40 tahun lalu, baru kali ini hubungan kedua negara meningkat hingga ke titik mengkhawatirkan seperti ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah ini langsung mendapat sambutan positif dari sekutu AS di Timur Tengah seperti Israel dan Arab Saudi, tapi tidak bagi Iran dan koleganya yang lain. Sebab AS tidak hanya mundur dari kesepakatan nuklir tersebut, tapi juga mengetatkan sanksi terhadap Iran. Akibatnya, satu per satu investor angkat kaki dari negara mullah tersebut. Praktis setelah itu Iran mengalami krisis ekonomi yang memprihatinkan.
Untuk ini, Presiden Iran Hasan Rouhani mengancam akan meningkatkan pengayaan uranium hingga ke level tertinggi bila AS dan negara-negara pemegang hak veto tak juga melonggarkan sanksi terhadap mereka.
Pernyataan ini kemudian dianggap sebagai ancaman oleh AS. Tak ayal AS pun melakukan sejumlah manuver provokatif di perairan lepas pantai Iran dengan mengaktifkan kapal induk USS Abraham Lincoln, meluncurkan pesawat bomber B-52, serta mengisi penuh baterai rudal patriot. Tidak hanya itu, AS bahkan mengatakan sudah mengirim sebanyak 1500 personel militer tambahan ke Timur Tengah.
Puncaknya adalah peristiwa yang terjadi pada 20 Juni lalu. Satu unit pesawat nir-awak AS tipe RQ-4 Global Hawk ditembak jatuh di Selat Hormuz oleh sistem pertahanan udara pasukan elit Garda Revolusi Iran. Terang saja, berita ini mengguncang dunia. Atas aksi Iran tersebut, Donald Trump di akun Twitter-nya berkomentar tegas, "Iran made a very big mistake!"
Maka tak ayal, eskalasi ketegangan yang terjadi antardua negara ini terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Dan kini, eskalasi tersebut mulai melahirkan kecemasan di negara-negara Timur Tengah dan dunia umumnya. Karena bagaimana pun, bila pada akhirnya AS dan sekutunya (Inggris) memutuskan melakukan invasi terhadap Iran, maka perang besar pasti akan berkobar tidak hanya di Teluk Persia, tapi juga di seluruh kawasan lain di Timur Tengah. Pada titik inilah masalah ketegangan AS-Iran menjadi permasalahan semua bangsa di dunia.
Dari perspektif ekonomi global, sebagaimana kita ketahui, kawasan Timur Tengah, khususnya Teluk Persia, adalah salah satu lalu lintas perdagangan paling ramai di dunia. Lebih dari 45% suplai minyak dunia berasal dari sini. Dan hampir 75% pasokan energi negara-negara Eropa berasal dari Timur Tengah. Bila perang terjadi, dan lalu lintas suplai energi dunia terganggu, bisa dipastikan harga-harga minyak akan melambung. Sebagai dampaknya, krisis energi terjadi dan ekonomi global akan terpuruk lebih dalam. Hal ini tentu saja merugikan semua pihak.
Kemungkinan Perang
Oleh sebab itu, dalam perspektif rasional kita sebenarnya bisa menilai bahwa sejauh apapun agaknya eskalasi konflik antara AS-Iran kecil kemungkinan akan berujung pada perang baik dalam bentuk invasi AS ke Iran, ataupun sebaliknya.
Bila dianalisis lebih jauh, sebenarnya bukan hal mudah bagi negara mana pun untuk melakukan invasi terhadap negara lain. Hal ini mengingat beberapa hal. Pertama, pembenaran atau rasionalisasi atas alasan invasi itu sendiri. Bagaimana pun setiap perang membutuhkan dukungan dari semua pihak. Dalam kasus Iran, nyaris tidak ada pembenaran yang bisa diberikan AS dan sekutunya sebagai alasan untuk melakukan agresi.
Selain karena akan merugikan banyak pihak di dunia, Iran --sejauh ini-- adalah negara yang patuh pada peraturan internasional. Adapun pesawat nir-awak AS yang ditembak jatuh Iran pada 20 Juli lalu disebabkan karena pesawat tersebut dikatakan memasuki wilayah yurisdiksi Iran. Itu sebabnya, tembakan dari sistem pertahanan Iran tidak lain adalah sebuah mekanisme pertahanan diri yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kedua, perhitungan untung-rugi bila perang berkecamuk. Jangan lupa, setiap negara --terlebih itu negara adidaya yang menganut paham demokrasi seperti AS-- adalah sebuah entitas yang rasional. Setiap keputusan dan tindakan yang diambil pastilah bersandar pada pertimbangan yang rumit, bukan sporadis apalagi emosional. Dan salah satu pertimbangan yang paling dihitung sangat teliti adalah persoalan untung-rugi dari perang tersebut.
Sebagaimana sudah diurai sebelumnya, tidak hanya Iran dan AS, tapi juga kawasan Timur Tengah dan dunia yang akan merasakan dampak kerugian bila perang berkecamuk di Teluk Persia. Di tambah lagi, Iran sekarang tidak sama dengan dengan Iran yang dulu pasca revolusi. Mereka juga bukan Irak atau Afganistan yang tidak memiliki sistem pertahanan canggih. Sebaliknya, Iran adalah salah satu negara terkuat di kawasan Timur Tengah saat ini. Realitas ini pastinya menjadi variabel pertimbangan sendiri bagi siapapun yang bermaksud menantang Iran secara head to head, termasuk AS.
Ketiga, dan ini yang terpenting, dampak agresi itu sendiri terhadap masa depan keamanan dunia. Terkait hal ini, dunia pasti belum lupa dengan dampak agresi AS ke Afganistan pada 2001 dan ke Irak pada 2003. Dua agresi ini masih menyisakan dampak ekonomi, politik, keamanan, dan kemanusiaan yang luar biasa baik di kawasan Timur Tengah maupun di seluruh dunia. Aksi terorisme dan paranoia global yang sekarang merundung dunia tidak lain merupakan dampak langsung dari kesalahan strategi war on terrorism yang digelorakan AS dan sekutunya hampir dua dekade yang lalu.
Meski demikian, dinamika politik internasional tak ubahnya seperti dinamika politik dalam negeri. Banyak hal tak terduga yang bisa saja muncul dan mengubah semua skema permainan. Namun kita tentu berharap agar agresi ataupun perang tak perlu lagi terjadi. Karena di era globalisasi seperti sekarang, setiap letupan kecil di setiap bagian dunia akan berdampak luas secara global. Dalam kerangka itu, agresi ataupun perang sudah selayaknya dimasukkan ke dalam museum sejarah peradaban manusia.
Wim Tohari Daniealdi staf pengajar di Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Pasundan, Bandung
(mmu/mmu)