Ceritanya, seorang anak muda menjiplak unggahan-unggahan Facebook milik kawan saya Agus Mulyadi. Lalu anak itu memajang semua di dinding akunnya sendiri, tanpa menyebutkan sumbernya. Ketika orang-orang berkomentar di sana, ia bersikap seolah-olah semua unggahan itu kreasi dia sendiri.
Tentu tawa kami tak akan cukup keras andai anak itu cuma "orang awam" belaka. Namun, dia ternyata seorang penulis, atau minimal mengaku penulis, dan bahkan dia menjalankan bisnis layanan content writer alias penyuplai tulisan-tulisan "bermutu" untuk situs-situs web.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
***
Awalnya, saya tidak menganggap serius peristiwa kecil lucu-lucuan seperti itu. Saya sendiri pun pernah dua kali mengalaminya, dengan salah satu pelakunya kawan lama saya sendiri. Waktu itu, saya cuma bilang ke beberapa teman: "Sudah, sudah, biarkan saja, siapa tahu memang cuma itu yang bisa bikin mereka bahagia hahaha!"
Namun, baru kemarin itu saya berpikir sedikit lebih serius.
Begini. Di era digital ini, secara teknis aktivitas jiplak-menjiplak tulisan dapat dilakukan dengan jauh lebih mudah dibanding dulu di era cetak. Kita cukup memencet beberapa tombol, menghapus nama penulis asli, maka bereslah sudah. Saya yakin, ada ledakan jumlah penjiplakan tulisan di zaman ini, berlipat-lipat lebih besar dibanding zaman sebelumnya. Lebih-lebih lagi di medsos.
Bisa saja kita menganggap peristiwa semacam itu sebagai angin lalu. Membiarkannya, atau memaafkannya dengan gaya filantropis: "Nggak papaaa, lha wong cuma status Facebook aja lho. Toh status itu memang kutulis untuk dibaca orang. Jadi kalau dijiplak, tentu ia semakin tersebar luas, dan pembacanya jadi jauh lebih banyak."
Pada level tertentu, cara berpikir seperti itu sah-sah saja dan lumayan mulia. Tetapi, saya mempertimbangkan hal yang jauh lebih luas lagi, yaitu tradisi sekaligus paradigma kolektif sebuah masyarakat.
Tradisi yang saya maksudkan itu adalah tradisi menganggap remeh produk-produk pikiran dan gagasan, sembari meletakkannya jauh di bawah nilai uang dan barang-barang. Ini merupakan pandangan dunia yang sangat materialistis dan dangkal.
Coba bayangkan. Saya tertawa saja melihat status-status Facebook saya dicuri, tapi ngomel tak habis-habis ketika tetangga ngutang tak kunjung bayar, padahal nilai utangnya cuma lima ratus ribu. Artinya, saya telah memosisikan gagasan-gagasan saya sebagai sesuatu yang jauh lebih murah nilainya ketimbang sekadar duit lima ratus ribu!
Masih mending kalau saya hanya menertawai penjiplakan atas status-status Facebook saya sendiri. Repotnya, sikap seperti itu seringkali tumbuh menjadi standar yang dipaksa-terapkan kepada orang lain. Hasilnya, saya menertawai orang-orang yang senasib dengan Agus Mulyadi, ketika mereka protes dengan penjiplakan itu. "Halah, cuma gitu aja kok marah-marah sih? Wong cuma status Facebook lho!"
Dari sikap-sikap demikian, muncul kesan umum bahwa orang yang memprotes penjiplakan unggahan medsosnya hanyalah jenis orang yang itungan, krisis eksistensi, dan haus pengakuan. Di sinilah titik bahayanya.
Facebook memang cuma Facebook. Ia platform medsos biasa. Bukan semacam jurnal ilmiah, bukan pula media massa yang berkategori lembaga pers. Bahkan, pada awalnya ia cuma dilihat sebagai mainan. Tetapi, dalam fungsi praktisnya, Facebook dan semua platform medsos adalah ruang untuk membagikan gagasan. Dengan begitu, banyak status Facebook adalah juga produk pikiran dan gagasan. Itu dia.
Facebook pun tidak lagi membatasi jumlah karakter teks yang bisa kita tulis di dindingnya, sehingga batas perbedaan antara "status Facebook" dan "artikel" sekarang ini sudah sangat kabur. Ada banyak artikel yang lebih pendek daripada status Facebook, ada juga banyak artikel yang dikembangkan dari status Facebook.
Pendek kata, saya ingin mengatakan bahwa secara riil status-status Facebook (sekali lagi: juga tulisan-tulisan di platform media yang lain) sama derajatnya dengan artikel-artikel di media massa, yakni sama-sama merupakan informasi atau gagasan. Jadi, ketika kita cukup sensitif melihat orang memplagiat sebuah artikel di suatu media, semestinya sensitivitas yang sama ditimpakan pula kepada penjiplakan status Facebook.
Menjiplak status Facebook sama derajat dosanya dengan menjiplak sebuah artikel. Kira-kira begitulah rumusnya biar lebih mudah membayangkannya.
Dari pemahaman itu, tampak bahwa sikap meremehkan penjiplakan atas unggahan-unggahan di medsos akan rentan membentuk ekosistem intelektual yang buruk bagi masyarakat luas sendiri. Ia menjadi bentuk ke sekian dari sikap memandang murah gagasan, di saat benda-benda fisik dipandang lebih mahal.
Lihat, kita lebih rela mengeluarkan uang dua ratus ribu untuk mendapatkan sebuah kaos cantik, misalnya. Tapi jika nilai yang sama ditetapkan untuk tiket masuk ke sebuah diskusi berdurasi dua jam, apakah orang akan berbondong-bondong datang? Saya ragu.
Bahkan diam-diam pola pikir semacam itu pun kita timpakan kepada buku-buku, produk kebudayaan yang lekat dengan gagasan. Standar harga buku tidak melulu ditetapkan berdasarkan kualitas gagasan yang dipaparkan di dalamnya.
Yang berjalan selama ini, harga sebuah buku ditentukan oleh faktor jumlah halaman kertasnya, jenis sampulnya (apakah soft ataukah hard cover), juga beberapa fitur fisik lainnya. Kalaulah ada penerbit yang menjual buku seorang maestro dengan harga tinggi, pembeli akan menggerundel, "Ya ampun, tipis begini harganya delapan puluh ribu...."
Tuh, standar harga dilihat dari tebal-tipisnya buku, kan? Sangat materialistis.
Jika tradisi seperti itu terus berlanjut, imbasnya bisa lebih luas lagi. Kita tidak akan pernah beranjak dari perlakuan yang buruk kepada produsen-produsen pikiran dan gagasan. Para guru sebagai agen ilmu akan tetap kalah sejahtera dibanding agen gas elpiji, para sastrawan penyaji pintu-pintu imajinasi akan tetap menjalani kehidupan yang lebih nelangsa dibanding penyaji pecel lele atau ayam geprek.
Walhasil, para kreator gagasan tidak punya kesempatan luas untuk semakin memperkuat gagasan-gagasan mereka, untuk membagi ketajaman sudut pandang mereka, sebab kesempatan untuk semua itu tertindas oleh kebutuhan riil penghidupan sehari-hari.
Aktivitas sebagai pencipta gagasan pun semakin tidak menarik, dan akhirnya ditinggalkan. Ujungnya, masyarakat pembaca sendiri yang akan sangat dirugikan, karena mereka kehilangan pilihan atas produk-produk pemikiran yang penuh nutrisi dan menyehatkan.
Lalu apa yang bisa kita harapkan dari masyarakat yang melulu pasrah dijejali barang-barang konsumsi?
***
Maka, mohon maaf, saya setuju-setuju saja dengan perundungan massal oleh para netizen kepada si penjiplak status-status Facebook Agus Mulyadi. Sekilas memang tampak konyol dan berlebihan, namun langkah yang terkesan kurang berbudaya itu bisa menjadi penguatan fondasi bagi tumbuhnya rasa malu kolektif akan kebiasaan menjiplak seenaknya.
Tradisi malu memang dibentuk oleh tekanan-tekanan sosial. Ia bukan bentukan peraturan-peraturan legal. Akan sangat lebay jika seorang penjiplak status Facebook dipolisikan, misalnya, dan sepertinya penegak hukum pun malas mengurusnya. Namun, pembentukan tekanan sosial secara komunal bisa pelan-pelan menjaga agar tradisi asal-copas lebih bisa dikendalikan.
Dari situ, pelan-pelan kita membentuk diri sebagai masyarakat yang menempatkan derajat gagasan dan ilmu pengetahuan lebih daripada barang-barang.
Eh, tapi tunggu dulu. Ngomong-ngomong, anu, betulkah ilmu dan gagasan memang lebih penting daripada barang-barang? Hmmm....
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini