Dari Teologi Menuju Revolusi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Dari Teologi Menuju Revolusi

Jumat, 21 Jun 2019 13:40 WIB
Sarjoko Subejo
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Dari Teologi Menuju Revolusi
Foto: Istock
Jakarta -

Pertanyaan Alfedri, Bupati Siak Sri Indrapura, kepada masyarakat dalam sebuah kunjungan di masjid desa saya pada akhir bulan Ramadhan lalu mengingatkan saya dengan buku Hasan Hanafi berjudul Min al-aqidah ila ats-tsaurah atau Dari Teologi Menuju Revolusi (1991). Dalam buku tersebut, cendekiawan Mesir itu mengkritik ritus agama yang hanya dijalankan sebagai pelaksanaan perintah Tuhan yang melangit tanpa memiliki agenda sosial berarti. Padahal pengejawantahan perintah agama semestinya tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial masyarakat.

Alfedri bertanya, sebagai negara muslim terbesar di dunia, mengapa kemiskinan masih menjadi problem bangsa Indonesia? Bukan tanpa sebab pertanyaan itu muncul, mengingat Islam memiliki berbagai tuntunan dalam mengentaskan kemiskinan. Namun di negara dengan penganut terbesarnya, pengentasan kemiskinan belum berjalan dengan maksimal. Pada 2018, Badan Pusat Statistik merilis angka kemiskinan di Indonesia yang cukup tinggi, sebesar 25,95 juta (9,66%). Dalam kesempatan itu Bupati Siak membeberkan agenda pemerintahannya dalam program pengentasan kemiskinan, yaitu dengan memaksimalkan potensi zakat.

Dalam teologi Islam, harta benda yang dimiliki seseorang mengandung harta milik orang lain yang mesti dibersihkan atau disalurkan. Karenanya, salah satu rukun Islam yang harus dijalankan setiap muslim adalah membayar zakat. Kewajiban zakat sama bobotnya dengan syahadat, salat, puasa, dan haji.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara teologis, perintah zakat adalah untuk membersihkan harta benda. Namun dalam kehidupan sosial potensi zakat begitu besar untuk mendukung pengentasan kemiskinan. Tetapi kesadaran membayar zakat tampaknya belum banyak dilakukan oleh masyarakat. Bahkan, banyak pula yang beranggapan bahwa kewajiban membayar zakat hanyalah memberi 2,5 kg bahan makanan pokok pada akhir bulan Ramadhan.

Pemahaman seperti ini tentu perlu diluruskan mengingat ada dua jenis zakat yang diwajibkan. Pertama, zakat fitrah dengan memberikan minimal 2,5 kg bahan makanan pokok pada bulan Ramadhan. Kedua, zakat mal atau harta benda. Zakat ini dikenakan atas harta benda yang dimiliki oleh seseorang manakala sudah mencapai batas minimum pembayaran zakat (nisab) dan melalui periode satu tahun (haul). Zakat ini meliputi zakat emas dan perak, pertambangan, profesi, perniagaan, peternakan, pertanian dan lain sebagainya.

Menurut data yang diungkapkan Badan Amil Zakat Nasional, potensi zakat nasional di Indonesia pada 2017 mencapai Rp 271 triliun per tahun. Tetapi jumlah zakat yang diterima baru mencapai Rp 5 triliun. Jumlah tersebut masih sangat jauh dari kondisi ideal. Artinya, jika dikelola dengan baik, atau bahkan bisa menjadi sebuah kesadaran sosial, zakat bisa menjadi sebuah cara ampuh untuk mengentaskan kemiskinan.

Berbagai Tantangan

Di samping peluang yang begitu besar, pembayaran zakat menghadapi berbagai tantangan. Pertama, banyak masyarakat yang belum memahami kewajiban dan tuntunan zakat sebagaimana disinggung di atas. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan tokoh agama dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Bagaimana caranya agar masyarakat yang beragama Islam bisa menjalankan perintah agamanya dalam mendukung upaya pengentasan kemiskinan.

Kedua, penyaluran zakat yang masih berupa konsumtif alih-alih produktif, biasanya berupa penyaluran zakat dalam bentuk uang tunai. Hal ini memang sudah sesuai koridor tuntunan praktis Islam (fikih). Namun jika melihat zakat tidak sebatas serah terima harta, pemberian zakat produktif tentu menjadi pilihan yang jauh lebih baik. Bupati Siak menceritakan upaya pemerintahannya menyalurkan zakat dalam bentuk pemberian hewan ternak yang bisa dibudidayakan. Harapannya, penerima zakat bisa menjadi pemberi zakat di masa yang akan mendatang apabila usahanya berkembang.

Ketiga, tidak terkoordinasinya berbagai lembaga penerima zakat. Di Indonesia hampir setiap organisasi massa keagamaan yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan memiliki lembaga penerima zakat, infak, dan sedekah. Namun lembaga-lembaga ini berjalan masing-masing tanpa memiliki wadah untuk melakukan koordinasi dan komunikasi. Ke depan, sebaiknya pemerintah memiliki mekanisme pengumpulan dan penyaluran zakat sebagaimana penentuan awal bulan Ramadan dengan melakukan koordinasi antar berbagai lembaga penerima zakat.

Apakah negara memiliki wewenang dalam menarik zakat kepada masyarakat secara langsung? Apalagi negara Indonesia bukanlah negara agama di mana negara memiliki batas dalam mengatur kehidupan beragama masyarakatnya.

Sebagai contoh adalah negara tidak berhak mengatur warganya untuk menjalankan salat, puasa, atau haji meski pun ketiga hal tersebut termasuk dalam rukun Islam. Negara hanya berkewajiban untuk memberikan fasilitas bagi umat muslim yang ingin menjalankan perintah agamanya, misalnya dengan membentuk panitia haji dan umrah, memberikan izin pembangunan rumah ibadah, dan lain sebagainya.

Di sinilah pertanyaan besarnya. Sejauh mana pemerintah memberikan fasilitas bagi umat muslim dalam menjalankan kewajiban zakat? Pendekatan dalam menangani zakat tentu berbeda dengan salat, puasa, atau haji dan umrah, mengingat kewajiban tiga hal tersebut sudah menjadi pengetahuan umum. Sementara zakat, masih banyak yang belum memahami secara utuh.

Pemerintah memang sudah memiliki Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang bertugas untuk mengelola zakat umat. Tetapi apakah Baznas benar-benar memiliki data setiap zakat yang dikelola oleh banyak lembaga penerima zakat? Atau Baznas masih berfungsi sebagai 'kasir' yang hanya menerima jika ada yang melakukan 'transaksi' terhadapnya?

Dalam agenda pengentasan kemiskinan, menjadi "kasir" tentu tidak cukup. Dibutuhkan sikap pro-aktif dari pemerintah sebagai pengelola negara untuk memastikan iktikad baik masyarakat dalam menjalankan perintah agamanya menjadi tidak sia-sia. Apabila kita sepaham melihat zakat sebagai usaha untuk mengentaskan kemiskinan, tentu lembaga-lembaga penerima zakat itu mau bersinergi satu sama lain.

Diskusi dan perdebatan perihal keterlibatan pemerintah dalam urusan agama akan selalu terjadi. Namun, bukankah kita sama-sama mafhum bahwa pengentasan kemiskinan merupakan tujuan berbangsa dan bernegara khususnya amanah Pancasila sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Peluang pengentasan kemiskinan dari sektor zakat cukup besar melihat pertumbuhan kelas menengah muslim Indonesia sebagaimana diungkapkan Yuswohady (2014). Ia melihat kecenderungan semakin religiusnya kelas menengah muslim yang disebut sebagai Gen-M. Bagi Yuswohady, Gen-M muncul karena besarnya geliat keislaman di kalangan anak muda muslim Indonesia. Pasar muslim menggeliat dan bertumbuh demikian pesat ditandai maraknya industri hijab, kosmetik halal, bank dan keuangan syariah, makanan halal, hotel syariah, dan sebagainya.

Bagi Yuswohady, yang menarik dari fenomena menggeliatnya pasar muslim dan industri berbasis Islam tersebut adalah bahwa nilai-nilai Islam dan ajaran Nabi Muhammad mulai menjadi driving factors bagi konsumen muslim Indonesia dalam memutuskan pembelian dan mempengaruhi perilaku membeli dan mengonsumsi mereka. Artinya, ketaatan kepada ajaran Islam menjadi faktor yang kian penting bagi mereka dalam memutuskan produk dan jasa yang akan mereka beli dan konsumsi.

Jika industri bisa memanfaatkan tumbuhnya religiusitas untuk menciptakan pasar konsumtif yang baru, mengapa kita tidak mengkapitalisasi semangat beragama ini menjadi sebuah gerakan produktif pengentasan kemiskinan melalui zakat?

Sarjoko warga Siak Sri Indra Pura, Riau; sedang menempuh pendidikan S2 Ilmu Komunikasi UGM, Yogyakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads