Korban Tindak Pidana Tidak Ditanggung BPJS?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Korban Tindak Pidana Tidak Ditanggung BPJS?

Rabu, 19 Jun 2019 13:30 WIB
Firdiansyah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta -
Data BPS pada 2018 menunjukkan jumlah korban tindak pidana cukup signifikan. Untuk kasus pencurian dengan kekerasan, pemerkosaan, dan penganiayaan tercatat 10.794 peristiwa terjadi di Indonesia. Para korban tindak pidana ini berpotensi membutuhkan perawatan medis atas luka yang dialaminya.

Pada tindak pidana kekerasan, khususnya penganiayaan yang mengakibatkan korban luka berat, perlu ada penanganan medis segera kepada korban, karena peristiwa yang dia alami dapat menyebabkan cacat permanen hingga kematian jika tidak mendapatkan penanganan medis segera. Salah satu contoh adalah korban begal, di mana korban dapat mengalami kekerasan seperti luka karena senjata tajam hingga tertembak oleh pelaku. Atau korban kekerasan seksual yang harus segera mendapatkan perawatan medis dan psikologis segera setelah peristiwa untuk mengatasi traumanya.

Pertolongan pertama bagi korban tindak pidana menjadi waktu yang krusial bagi kelangsungan kehidupan bagi korban khususnya dan juga bagi keluarga korban, yang kemungkinan dapat terdampak dari peristiwa yang dialami korban, atau dapat dikatakan keluarga korban menjadi secondary victim (korban sekunder) jika mengambil istilah korban dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian bagaimana penanganan medis para korban tindak pidana ini? Apakah dapat mengakses fasilitas BPJS Kesehatan jika dia peserta? Atau mereka harus menanggung biaya pengobatan dan perawatannya sendiri? Jika memang seperti itu, bisa diibaratkan korban kejahatan sudah jatuh tertimpa tangga pula, karena sudah pasti tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan dan perawatan.

Peraturan Baru

Hingga pertengahan 2018, bagi peserta BPJS Kesehatan yang menjadi korban tindak pidana dapat mengakses layanan rumah sakit dengan menggunakan BPJS. Peraturan Presiden No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden No 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, merupakan peraturan yang mengatur bagaimana pelaksanaan jaminan kesehatan (BPJS) di dalamnya tidak mengatur sama sekali mengenai jaminan kesehatan bagi korban tindak pidana.

Tidak adanya aturan yang membolehkan atau melarang korban tindak pidana mendapatkan layanan BPJS Kesehatan menjadi celah bagi korban dan rumah sakit untuk memberikan layanan bagi korban tindak pidana. Sehingga para korban tidak pidana yang menjadi peserta BPJS selama ini telah mendapatkan pertolongan pertama di berbagai fasilitas kesehatan, tanpa harus memikirkan biaya yang dikeluarkan.

Pada September 2018, pemerintah mengeluarkan peraturan baru tentang Jaminan Kesehatan. Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menggantikan Peraturan Presiden sebelumnya. Salah satu kebijakan baru yang diatur dalam peraturan presiden ini adalah pada bagian manfaat yang tidak dijamin, salah satunya pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) huruf r.

Jika pada pada peraturan sebelumnya tidak diatur sama sekali mengenai layanan kesehatan bagi korban tindak pidana, maka pada peraturan baru sangat tegas untuk korban empat peristiwa tindak pidana tidak mendapatkan dapat mengakses layanan kesehatan melalui mekanisme BPJS.

Pada media, Humas BPJS Kesehatan menjelaskan alasan tidak dijaminnya layanan kesehatan bagi korban tindak pidana tersebut karena layanan kesehatannya sudah diatur dalam UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan UU No 31 Tahun 2014. Disampaikan bahwa korban tindak pidana dapat mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mendapatkan layanan pengobatan atau perawatan.

Tidak dijaminnya korban tindak pidana oleh BPJS belum diketahui secara luas oleh masyarakat, seperti yang terjadi di Aceh di mana ada korban pembacokan yang harus menjalani operasi tetapi belum dapat keluar rumah sakit karena tidak ada biaya. Sebelumnya rumah sakit meminta kelengkapan BPJS Kesehatannya, tetapi setelah itu disampaikan bahwa biaya perawatan dan obat-obatan tidak dapat ditanggung oleh BPJS.

Tidak Dapat Diganti

Berdasarkan UU No 31 Tahun 2014, korban pelanggaran HAM yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban tindak pidana penganiayaan berat berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Bantuan tersebut diberikan berdasarkan keputusan LPSK, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2).

Tetapi, tidak serta merta dan segera sesaat setelah kejadian korban dapat mendapatkan bantuan medis oleh LPSK, harus ada prosedur yang dilalui sebelum akhirnya LPSK mengeluarkan keputusan bahwa korban tindak pidana yang mengajukan permohonan berhak untuk mendapatkan bantuan medis.

Khusus untuk korban tindak pidana terorisme, mereka berhak mendapatkan bantuan medis segera dan sesaat setelah terjadinya peristiwa, hal ini tidak diatur dalam UU 31 Tahun 2014 tetapi diatur dalam UU No 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas UU No 15 Tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang No 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi undang-undang pasal 35B ayat (2).

Sedangkan untuk korban tindak pidana lain, selain korban terorisme, harus ada permohonan yang disampaikan kepada LPSK dilengkapi dengan syarat-syarat yang diatur dalam UU No 31 tahun 2014 dan PP No 7 Tahun 2018. Syarat paling utama untuk mengajukan permohonan adalah adanya dokumen yang menyatakan permohonan adalah korban tindak pidana, hal ini salah satunya dibuktikan dengan adanya surat laporan polisi. Permohonan yang disampaikan kepada LPSK kemudian dianalisis untuk diputuskan apakah permohonan diterima atau tidak.

Kalaupun permohonan korban diterima LPSK untuk kemudian diberikan bantuan medis, maka biaya perawatan dan pengobatan korban yang dapat ditanggung terhitung setelah keputusan LPSK dikeluarkan. Sedangkan biaya perawatan dan pengobatan yang sebelumnya telah dikeluarkan, tidak dapat diganti (reimburse) oleh LPSK, karena berhubungan dengan pertanggungjawaban keuangan negara.

Padahal yang sangat dibutuhkan korban adalah penanganan pertama atau sesaat setelah peristiwa tindak pidana, karena tindakan medis ini yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup korban selanjutnya.

Kemunduran

Hukum pidana dan peraturan perundang-undangan di Indonesia belum sepenuhnya berperspektif kepada korban tindak pidana, walaupun sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bagaimana merehabilitasi korban tindak pidana. Adanya Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 dianggap sebagai sebuah kemunduran, karena sama sekali tidak berpersepktif kepada korban. Lain halnya jika pelaku tindak pidana yang membutuhkan perawatan dan pengobatan, negara bertanggung jawab penuh untuk memberikan layanan, tanpa harus si pelaku ini mengajukan permohonan kepada negara untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Selain itu, kehadiran Perpres No 82 tahun 2018 memperlihatkan kurangnya koordinasi dan komunikasi antara Kementerian/Lembaga Negara dalam menyusun satu kebijakan atau peraturan. Tidak dijaminnya korban tindak pidana dalam layanan BPJS karena telah ditanggung oleh LPSK sesuai dengan UU 31 Tahun 2014, ternyata pada pembahasannya tidak melibatkan LPSK, sehingga mengakibatkan adanya perbedaan pemahaman terkait pelaksanaan bantuan medis bagi korban tindak pidana yang dilakukan oleh LPSK.

Oleh karena itu, diperlukan solusi segara untuk menyelesaikan permasalahan ini, jangan sampai korban tindak pidana menjadi korban kedua kalinya karena tidak mendapatkan layanan kesehatan. Salah satu solusi yang mungkin dapat dipertimbangkan adalah korban tindak pidana bisa mendapatkan layanan BPJS segera atau sesaat setelah kejadian sebagai pertolongan pertama, untuk selanjutnya perawatan dan pengobatan dapat menyampaikan permohonan bantuan medis kepada LPSK. Dengan begitu tujuan untuk merehabilitasi korban tindak pidana dapat tercapai.

Firdiansyah staf Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads