Krisis imigran dan pengungsi yang terjadi di Uni Eropa (UE) berakar pada banyak faktor yang saling berkelindan satu sama lain. Gejolak konflik terbuka yang terjadi di beberapa negara asal terutama di kawasan Timur Tengah dan sebagian di kawasan Afrika Utara merupakan faktor pendorong terjadinya displacement dan arus migrasi internasional ke UE. Selama konflik di negara asal tersebut belum dapat diatasi maka tren ini diyakini akan tetap berlanjut.
Faktor lainnya adalah sikap UE terhadap pengungsi maupun migran internasional. Untuk memberikan konteks, Zsolt GΓ‘l (2019) menjelaskan bahwa postur demografi di UE seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup menciptakan kondisi di mana jumlah kelompok pekerja (working group) lebih kecil daripada jumlah angkatan pensiun.
Faktor lainnya adalah sikap UE terhadap pengungsi maupun migran internasional. Untuk memberikan konteks, Zsolt GΓ‘l (2019) menjelaskan bahwa postur demografi di UE seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup menciptakan kondisi di mana jumlah kelompok pekerja (working group) lebih kecil daripada jumlah angkatan pensiun.
Situasi tersebut akan mengarah pada pension crisis serta fiscal imbalance karena sistem dana pensiun di sebagian besar negara UE menerapkan prinsip solidaritas antarkelompok pekerja dan pensiun dan bukan pada akumulasi. Artinya, setiap potongan dana pensiun dari pekerja sesungguhnya didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan dana bagi kelompok pensiun. Dalam kata lain, kecilnya jumlah kelompok pekerja di masa depan tidak akan mampu menyokong kesinambungan sistem dana pensiun karena angkatan pensiun yang lebih besar. Sementara rata-rata tingkat kelahiran di UE terproyeksi rendah.
Sebagian ahli kemudian berpandangan bahwa para pengungsi dan migran dapat diberdayakan untuk menutup defisit kelompok produktif di UE. Solusi ini bukan tanpa masalah karena pertanyaannya adalah seberapa banyak migran yang dibutuhkan? United Nation Population Division melaporkan bahwa untuk mempertahankan keseimbangan rasio kelompok pekerja dan angkatan pensiun dalam rentang waktu 2000-2050 dibutuhkan jumlah dalam kisaran 673 juta pekerja.
Persoalannya kemudian, angka tersebut akan mengalami eskalasi ketika pekerja memasuki masa pensiun dan jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk menyokong kesinambungan menjadi lebih besar. Sikap optimisme UE terhadap para pengungsi dan migran tersebut dalam perspektif keseimbangan fiskal akan tetap melahirkan hasil yang positif dalam beberapa kondisi (Zsolt GΓ‘l, 2019).
Pertama, mayoritas migran adalah tenaga kerja migran yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar pekerja (point based systems) yang fleksibel dan terbuka serta angka pengangguran yang rendah. Kedua, terbukanya akses imigran terhadap pasar kerja. Ketiga, tingkat pendidikan dan keahlian imigran lebih baik atau sama dengan mayoritas penduduk asli. Keempat, faktor kebudayaan dan tradisi yang tidak mempengaruhi efektivitas ekonomi.
Persoalannya kemudian, angka tersebut akan mengalami eskalasi ketika pekerja memasuki masa pensiun dan jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk menyokong kesinambungan menjadi lebih besar. Sikap optimisme UE terhadap para pengungsi dan migran tersebut dalam perspektif keseimbangan fiskal akan tetap melahirkan hasil yang positif dalam beberapa kondisi (Zsolt GΓ‘l, 2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, krisis migrasi dan pengungsi ini menimbulkan beberapa konsekuensi yang memunculkan sikap pesimisme (Zsolt GΓ‘l, 2019). Pertama, krisis utang negara. Sebagai contoh Yunani yang dua kali gagal melakukan pembayaran hutan negara dan rekonstruksi hutang serta tiga kali mendapat paket dana talangan (bail-out). Selain itu, dana talangan juga diperuntukkan untuk Irlandia, Portugal, Spanyol, dan lainnya berkenaan dengan imigran dan pengungsi.
Kedua, krisis keamanan. Aneksasi yang dilakukan oleh Rusia di Krimea, Ukraina, menimbulkan dampak besar pada stabilitas keamanan di Eropa. Arus migrasi dari Ukraina ke negara EU terutama Polandia menjadi persoalan tersendiri. Selain itu, terorisme juga memperparah krisis tersebut. Aksis terorisme di Berlin pada tahun 2016 ketika sebuah truk yang dikendalikan oleh imigran dari Tunisia menabrak Pasar Christmast dan menimbulkan korban jiwa 12 orang serta 56 orang luka-luka. Dilaporkan bahwa pelaku gagal mendapat suaka di German dan Italia.
Ketiga, krisis politik yang ditandai dengan bangkitnya populisme di Eropa paralel dengan sentimen anti-imigran dan anti-partai UE. Pemilihan anggota parlemen UE beberapa waktu yang lalu mayoritas dimenangkan oleh partai sayap kanan. Isu mengenai krisis imigran menjadi diskursus utama dalam banyak kampanye. Letak krusial dari fenomena ini adalah ketika tindakan ekstremis dan represif ditempuh untuk menyelesaikan persoalan migrasi internasional.
Sementara secara politik, prinsip demokrasi adalah pilar utama dalam UE yang secara asas memberikan kebebasan dan hak yang sama bagi setiap orang untuk berkehidupan dan mengembangkan diri. Bila hal tersebut terjadi, maka legitimasi UE terhadap demokrasi menjadi pertaruhannya. Keempat, gelombang besar pencari suaka mengakibatkan sistem suaka atau migrasi di UE menjadi tumbang.
Pergolakan UE dengan krisis imigran dan pengungsi ini akan memasuki babak baru di masa depan dengan kepemimpinan politisi populis. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena kebijakan yang inklusif kepada para migran tidak selalu berujung pada ketidakseimbangan fiskal dan ekonomi, sementara di satu sisi Eropa tengah berhadapan dengan persoalan age-ing population dan kebutuhan akan angkatan pekerja.
Umar Mubdi kandidat Master of Arts di International Peace and Coflict Studies, Collegium Civitas, Warsawa; alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
(mmu/mmu)
Umar Mubdi kandidat Master of Arts di International Peace and Coflict Studies, Collegium Civitas, Warsawa; alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini