Pada arus balik ke arah Barat (Jakarta dan sekitarnya) melalui GT Cikatama dan GT Kalitama terjadi pada H+3 atau pada tanggal 9 Juni 2019 mencapai 166.000 kendaraan atau naik tiga kali lipat dari lalu lintas normal yang 67.000 kendaraan. Untuk memfasilitasi 166.000 kendaraan, Korlantas POLRI melakukan berbagai rekayasa lalu lintas, termasuk kebijakan satu arah dari Timur Ke Barat sepanjang sekitar 400 km dan contra flow saat arus balik Lebaran. Bukan hal yang mudah untuk menerapkan kebijakan satu arah sepanjang itu. Saat arus mudik, kepadatan lalu lintas masih cukup terurai karena bervariasinya tujuan pemudik. Sedangkan saat arus balik semua menuju Jabodetabek.
Meskipun sudah ada jalan Tol Trans Jawa, kemacetan saat arus mudik dan balik di jalan arteri maupun jalan Tol Trans Jawa tetap terjadi karena pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi tumbuh tidak seimbang dengan pembangunan jalan. Intinya penambahan jalan tol di mana saja kemacetan akan selalu terjadi, kecuali ada pembatasan usia kendaraan dan terkoneksinya angkutan umum AKAP dengan angkutan umum di daerah (kota dan desa) tujuan pemudik. Jika ini terbangun, kemacetan di perjalanan mudik/balik Lebaran serta pemudik dengan kendaraan roda dua akan berkurang drastis.
Mari kita lihat situasi mudik/balik Lebaran, khususnya di jalan Tol Trans Jawa sebagai prasarana baru transportasi darat sesuai dengan pemantauan saya langsung di lapangan.
Penyebab Kemacetan Arus Mudik dan Balik
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kapasitas jalan Tol Trans Jawa sebenarnya cukup untuk melancarkan arus Lebaran hanya saja karena perilaku pengguna, kemacetan menjadi sulit terurai. Perilaku pengguna jalan tol di seluruh Indonesia sangat menyedihkan. Pengemudi tidak disiplin dalam berlalu lintas. Misalnya menyusul menggunakan bahu jalan, beristirahat di bahu jalan (di bawah jembatan atau di ujung jalan masuk lajur darurat untuk kendaraan yang remnya blong di sekitar Tol Semarang-Bawen). Hebatnya, selain berhenti untuk istirahat di bahu jalan, para pemudik juga menggelar tikar atau alas sambil makan siang layaknya berpiknik di Kebon Binatang Ragunan.
![]() |
Perilaku ganjil dari pengguna jalan tol lain dan sangat membahayakan keselamatan pengguna jalan tol lainnya juga terjadi ketika diterapkan pola lalu lintas satu arah. Banyak pengguna jalan tol berpindah jalur bahkan sampai harus menyeberangi median jalan berumput hanya karena para pengemudi tidak sabar jalan merayap meskipun membahayakan pengguna jalan tol lainnya. Mereka sungguh tidak peduli.
Selain itu pengguna jalan tol di Indonesia masih primitif karena hobi membuang atau meninggalkan sampah dan juga puntung rokok yang masih menyala dipinggir jalan tol. Penulis menyaksikan sendiri pada puncak arus balik (Sabtu-Minggu) lalu sempat menyaksikan ada beberapa lokasi kebakaran rumput di Jalan Tol Trans Jawa yang asapnya mengganggu pandangan dan membahayakan pengguna jalan tol.
Selain persoalan pengguna, persoalan pengelola juga harus ditingkatkan, khususnya dalam memperlancar pembayaran di GT. Memang soal sistem pembayaran di GT bukan hanya tanggung jawab Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) tetapi juga Bank Indonesia, Kementerian Perhubungan dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Sampai hari ini belum ada kepastian, apakah tetap menggunakan e-Toll plus on board unit (OBU) atau dengan RFID. Sebagai informasi bahwa waktu yang dibutuhkan untuk berhenti menempelkan kartu e-Toll dapat menambah kemacetan.
Salah satu penyebab utama kemacetan adalah kesalahan desain semua RA di sepanjang jalan tol di Indonesia. RA di Indonesia di desain untuk orang malas bergerak karena parkir tidak berada di lapangan khusus parkir tetapi berada di depan setiap fasilitas umum, seperti toilet, mushola, dan area kuliner. Akibatnya lalu lintas di dalam RA "semrawut" dan macet di kala libur hari raya. Kemacetan di dalam RA berimbas ke jalan tol.
Saran Yang Harus Dilakukan Untuk Angkutan Lebaran Tahun Depan
Perbaiki atau desain ulang semua RA yang ada di bawah kendali Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) supaya kelancaran keluar dan masuk jalan tol lancar, sehingga kemacetan di jalan tol karena padatnya RA di Lebaran mendatang tidak lagi terjadi. Seharusnya tiap RA mendesain lapangan parkir berada di bagian depan RA dan semua fasilitas umum di bagian belakang atau samping RA termasuk letak SPBU, sehingga memudahkan pengguna untuk keluar masuk RA tanpa harus berputar putar di dalam RA untuk ke toilet, mushola, makan, dsb. Untuk mencapainya dari tempat parkir, pengunjung RA harus berjalan kaki. RA di negara maju, hampir semua desainnya seperti itu.
Bangun RA juga di ramp atau exit ke kota bukan hanya di pinggir tol, lengkapi dengan tempat parkir yang luas dan fasilitas umum yang memadai. Sehingga kalau RA di pinggir tol padat, salurkan ke RA di luar tol. Ketika kembali ke tol, gratis meskipun kartu tetap di tap tetapi saldo tidak terpotong.
Berhenti di bahu jalan dibatasi hanya untuk keadaan darurat dan sebentar, tidak boleh istirahat ala piknik di tempat wisata, dilarang berhenti di arah masuk jalur darurat. Jika melanggar harus di tilang dengan denda optimal. Dilarang membuang sampah dan puntung rokok masih menyala sembarangan di jalur tol, jika dilakukan denda di tempat. Semua ini dapat diawasi oleh CCTV yang tersebar di sepanjang jalan tol.
Bank Indonesia, Kementerian Perhubungan dan BPJT harus sepakat dengan model pembayaran di GT. Mau pakai RFID atau e-Toll atau e-Toll dengan OBU atau ada sistem lain yang lebih handal. Intinya untuk membayar tol, kendaraan tidak perlu kendaraan harus berhenti sekian detik, cukup mengurangi kecepatan saja seperti di beberapa jalan tol di negara lain.
Yang terakhir, pengguna jalan tol harus tertib dan paham tata cara mengemudi yang aman di jalan tol. BUJT harus terus melakukan edukasi kepada konsumennya, baik melalui media sosial atau media main stream. Salam.
Agus Pambagio, pemerhati kebijakan pubik dan perlindungan konsumen.
(dnu/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini