Sebagaimana tradisi arus balik yang terjadi saban tahunnya, terjadi lonjakan jumlah pendatang baru dari daerah yang masuk ke Jakarta. Tahun ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memprediksikan sebanyak 71. 000 pendatang baru akan memasuki Jakarta.
Jakarta dengan segala citra negatifnya sebagai kota yang padat penduduk, memiliki tingkat polusi tinggi dan rawan kejahatan tampaknya masih menjadi magnet bagi para pendatang baru. Gemerlap Jakarta yang tergambarkan jelas dari berbagai tayangan televisi atau dari cerita kesuksesan saudara, tetangga atau handai-taulan menjadi daya tarik bagi masyarakat di kawasan pedesaan untuk melakukan urbanisasi alias hijrah ke kawasan perkotaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, di antara banyak kota besar lainnya di Indonesia, Jakarta dari tahun ke tahun tetap menjadi tujuan favorit urbanisasi. Seturut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pendatang baru di Jakarta mengalami peningkatan sekitar 2 persen setiap tahunnya. Dan, momen arus balik pasca lebaran menjadi momen terjadinya urbanisasi musiman.
Pada momen arus mudik 2016 lalu misal, jumlah pendatang baru di Jakarta mencapai 68. 000 orang. Pada momen yang sama setahun setelahnya, jumlah pendatang telah mencapai 70.000 orang. Jika ditambah dengan pendatang di luar momen arus balik lebaran, pendatang baru di Jakarta mencapai tidak kurang dari 100. 000 setiap tahunnya. Jumlah yang sangat fantastis dibanding potensi daya dukung Jakarta dalam hal ketersediaan tempat tinggal layak, lapangan pekerjaan dan banyak aspek lainnya.
Sebagai sebuah fenomena sosial, urbanisasi tentu memiliki dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, urbanisasi tentu memiliki dampak positif. Laju pembangunan kawasan perkotaan tentu membutuhkan sumber daya manusia yang tidak sedikit jumlahnya. Pasokan tenaga kerja dari luar wilayah perkotaan bisa menjadi solusi atas problem ini. Pada saat yang sama, kaum pendatang juga memberikan insentif ekonomi bagi wilayah perkotaan. Terbukti, di kawasan urban perekonomian cenderung mengalami pertumbuhan pesat.
Namun di sisi lain, urbanisasi juga memiliki dampak negatif. Seperti dapat kita lihat, arus urbanisasi yang tidak terbendung, ditambah dengan lemahnya manajemen dan pengawasan kependudukan telah melahirkan sejumlah persoalan sosial. Dalam konteks Jakarta, sebagai kota tujuan utama urbanisasi, problem sosial itu mewujud ke dalam berbagai bentuk. Mulai dari tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, maraknya pemukiman ilegal, tingginya angka kejahatan, sampai buruknya kualitas lingkungan hidup.
Dalam konteks kepadatan penduduk misal, laporan Oxford Economics bertajuk Global Cities 2018 memprediksikan Jakarta akan menjadi kota berpenduduk terbesar di dunia pada 2035, yakni mencapai 38 juta jiwa. Pada tahun tersebut, diprediksikan kepadatan penduduk Jakarta akan melampaui Tokyo yang memiliki 37, 8 juta penduduk. Prediksi itu agaknya bukan omong kosong belaka. Berdasar data BPS, jumlah penduduk Jakarta dalam tiga tahun belakangan menunjukkan peningkatan.
Pada 2015, jumlah penduduk Jakarta mencapai 10, 28 juta jiwa, lalu meningkat menjadi 10, 28 juta pada 2016. Pada 2017, jumlah penduduk Jakarta juga naik menjadi 10, 37 juta jiwa. Kepadatan penduduk ini telah memicu serangkaian problem sosial lain. Salah satunya ialah kemacetan. Riset berjudul Inrix 2017 Traffic Sorecard pada 2017 lalu menempatkan Jakarta di urutan ke 12 dalam daftar kota paling macet di dunia. Dalam catatan BPS, setidaknya Rp 56 triliun menguap sebagai imbas dari kemacetan jalanan Jakarta.
Problem lain yang membelit Jakarta ialah soal polusi udara. Dalam laporan World Air Quality Report 2018 yang dikeluarkan World Health Organization (WHO) Jakarta merupakan kota paling terpolusi di Asia Tenggara dan masuk dalam 10 besar ibukota negara terpolusi di seluruh dunia. Tingkat kualitas udara di Jakarta menurut laporan tersebut ialah 2, 5 particular matter (PM) atau empat kali lipat berada di batas aman tahunan yang ditetapkan WHO.
Mempertimbangkan paparan di atas, urbanisasi musiman ke Jakarta idealnya harus dipandang sebagai masalah serius. Pernyataan Gubernur Anies Baswedan yang mempersilakan pendatang baru masuk Jakarta dalam banyak hal tentu kontradiktif terhadap upaya penyelesaian problem sosial Jakarta yang selama beberapa puluh tahun ini diupayakan. Argumentasi hak asasi manusia yang dipakai untuk melegitimasi fenomena urbanisasi musiman ini agaknya juga kurang tepat.
Bagaimana pun, sebuah kota metropolitan apalagi menyandang status sebagai ibu kota negara memerlukan sebuah manajemen atau tata kelola yang mempertimbangkan banyak aspek dan variabel.
Solusi
Arus balik yang membawa serta fenomena urbanisasi musiman dalam skala yang masif jelas merupakan problem yang harus segera diselesaikan. Jika tidak, persoalan sosial yang diakibatkan oleh arus urbanisasi ke kota-kota besar, terutama di Jakarta bisa dipastikan akan kian akut.
Konstitusi memang menjamin hak dan kebebasan warga negara untuk bertempat tinggal dan bekerja di seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, kita tentu tidak bisa mengabaikan begitu saja persoalan terkait tata kota dan kependudukan sebagai bagian dari upaya penciptaan kehidupan yang layak bagi semua warga negara. Dalam hal ini, setidaknya terdapat dua tawaran solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk setidaknya mengurai persoalan yang diakibatkan oleh arus urbanisasi.
Sebagai solusi jangka pendek, penegakan aturan bagi pendatang baru, terutama yang masuk ke Jakarta idealnya tetap diberlakukan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus pro-aktif untuk tidak hanya mendata, namun juga memastikan bahwa para pendatang baru berjumlah puluhan ribu tersebut tidak akan menjadi beban sosial di kemudian hari. Pemprov Jakarta harus memastikan bahwa para pendatang baru memiliki tujuan tempat tinggal dan pekerjaan yang jelas. Harus ada tindakan tegas bagi mereka yang masuk ke Jakarta dengan bermodal kenekatan.
Sebagai solusi jangka panjang, pemerintah pusat tentu harus mengoptimalkan pemerataan pembangunan untuk memangkas kesenjangan ekonomi antara wilayah rural dan urban. Selama pemerataan ekonomi dan pembangunan belum bisa diwujudkan, bisa dipastikan urbanisasi baik dalam momen arus mudik maupun di luar itu akan terus terjadi. Dan, selama itu pula problem sosial terkait tata kelola perkotaan akan sulit diurai.
Pada titik inilah penting kiranya bagi pemerintah untuk mengoptimalkan dana desa demi percepatan pembangunan di wilayah rural. Dana desa idealnya dikelola secara profesional dan transparan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi sehingga berdampak pada terciptanya lapangan pekerjaan. Tidak hanya itu, dana desa idealnya juga digunakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pedesaan sehingga berpunya daya saing yang mumpuni.
Siti Nurul Hidayah peneliti pada Center for the Study of Society and Transformation
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini