Ya, meminta maaf dan memberi maaf tidak harus menunggu 1 Syawal, memang. Namun, tradisi ini memberi kita kesempatan luar biasa membungkus seluruh kesalahan dalam satu kalimat: mohon maaf lahir dan batin. Lalu, mengikutkan pengakuan seluruh salah dan penyesalan personal kita dalam euforia pemaafan sistemik, masif, dan terstruktur.
Permintaan maaf dan pemberian maaf ini memang sebaiknya dari lubuk hati terdalam. Namun, toh kita sama-sama sudah seumur hidup jadi manusia dan tahu sama tahu betapa sulit mengakui kesalahan, apalagi merendahkan hati untuk meminta maaf. Bisa-bisa kita justru menjadi rendah diri dan ini tidak baik untuk hari-hari berikutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang dekat, bisa menjadi pengkhianat. Yang jauh, bisa menjadi musuh. Namun, bukankah yang terdekat dengan diri kita adalah kita sendiri dan bukankah yang terjauh dari diri kita adalah kesadaran kita sendiri? Ketika kesadaran didekatkan dan semakin dekat, keakuan kita tak perlu dijauhkan pun niscaya dengan sendirinya egositas itu menjauh.
Cerita para nabi dan rasul, para sahabat, para kekasih Allah, para alim, kiai, dan orang saleh, yang ringan meminta maaf dan tidak berat memaafkan bisa kita dapatkan dan kita tabung sebanyak-banyaknya dari mana pun sebagai khazanah kekayaan hati. Namun, apalah itu semua jika kita tidak memulainya? Kita harus memiliki kisah hidup kita sendiri.
Aku telah menyadari kesalahan. Aku telah meminta maaf. Aku telah menyesal. Dan aku telah berikrar tidak mengulangi kesalahan. Betapa indah jika keakuan kita mulai diisi dengan pengakuan dan penyesalan? Kita berjalan mendekat pada pertobatan. Jika tidak bisa belajar dari kesalahan, alangkah susah belajar dari dan tentang kebenaran?
Kita perlu menyadari Q.S Al Hijr (15): 85, betapa Allah berfirman, "Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi serta apa saja yang ada di antara keduanya, melainkan dengan kebenaran. Dan sesungguhnya hari Kiamat pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan baik." Kita menghadapi hal yang sama kelak, yakni kenyataan hari akhir.
Percaya atau tidak percaya, setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, setiap manusia akan mati. Dan, siapa pun niscaya berharap kelak meninggal dunia dengan tenang, tidak meninggalkan beban apa pun semasa hidup, termasuk utang dan kesalahan. Kita pasti berharap seluruh utang terlunaskan dan segala salah termaafkan.
Tidak setiap kesalahan akan berujung dosa. Siapa tahu, kesalahan manusiawi menjadi hanya urusan manusia dengan sesamanya. Allah Maha Tahu apa-apa yang dosa. Mohon ampun pada Allah atas dosa-dosa kita pun, jika dosa disebabkan kesalahan kita pada sesama, disarankan untuk lebih dulu minta maaf, menyesal, dan ikrar tak mengulangi.
Manusia bukan tuhan, percuma saja kita berlagak demikian. Apalagi jika hanya untuk menuding orang lain salah dan berbuat salah, layak dikenai dosa dan dimasukkan neraka. Tuhan Maha Pengampun. Sebelum manusia bersalah pun Allah telah memberi kita petunjuk kebenaran. Setelah manusia bersalah pun Allah bukakan pintu ampunan.
Sebanyak-banyak salah dan dosa manusia tidak akan mengurangi ampunan Allah yang Maha Mengampuni. Kesalehan kita tidak menambah keagungan Allah, kesalahan kita tidak mengurangi keagungan Allah. Kita yang perlu saling memaafkan, kita juga yang butuh memohon ampunan pada Allah dan saling memohonkan ampunan dari-Nya.
Kita sama sepakat bahwa manusia adalah tempat dosa dan salah. Namun, terutama dalam suasana Idulfitri, marilah kita saling mengingatkan untuk mewadahi dosa dan salah itu dalam perasaan yang mulia, yakni perasaan berdosa dan bersalah. Jika rasa ruhaniah ini tidak ada, kita patut khawatir, puasa hanya mendapat lapar dan dahaga.
Candra Malik budayawan sufi
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini