Sayu.../ hati ini makin sayup/ Rindu.../ terkenangkan desa permai
Wajah ayah bonda bermain di mata/ Mengajakku pulang ke desa/
Di hari bahagia hari raya
Bait di atas adalah penggalan lagu Air Mata Syawal dendangan penyanyi popular negeri jiran Malaysia, Siti Nurhaliza. Lagu itu dikirim sahabat saya dari seberang dan tanpa sengaja si bungsu dan abangnya memutarnya kala mencari file sebuah video Nussa. Dan spontan mereka berkata, "Yah, kapan kita pulang kampung ke rumah atuk dan nenek, Yah? Saya hanya bisa terdiam dalam, terpaku kaku. Bukan karena tak mampu menjawabnya, tapi mendengar kata pulang kampung, ayah, ibu bagai sengatan listrik yang langsung menyebar ke seluruh sendi tulang. Ingatan berkejar-kejaran melintasi lorong-lorong waktu dari dulu hingga kini.
Terbayang asyiknya bermain di pematang sawah sembari menanti mata kail dimakan ikan, berlari bersama teman jelang petang menutup tirai. Mengejar dan menendang bola plastik tanpa taktik, yang penting kaki menyentuh bola dan bisa menendangnya. Mandi dan berenang di sungai dan bila senja datang bergegas pergi ke surau untuk mengaji. Dan bila Ramadhan tiba gembira itu datang berlipat ganda. Maklum, juadah yang tidak ada pada bulan sebelumnya, terhidang kala waktu berbuka datang. Bahkan daging kerbau atau ayam yang "menghilang" selama 11 bulan, terkadang hadir menampakkan dirinya di atas tikar pandan, tempat jamuan itu dihidangkan.
Kini, kala Ramadhan menuju purna, pulang atau mudik mengusik relung hati setiap insan perantau. Antrean berjejal panjang, berdesak-desakan dan letih di perjalanan tidak lagi menjadi pertimbangan. Semuanya dilakukan agar pulang kampung atau mudik menjadi kenyataan. Tenggelam sudah kalkulasi materi dan segenap penghalang untuk kembali pulang. Begitulah aura romantisme kampung mampu menarik setiap diri dan memanggilnya untuk kembali bersedekap erat dengan kampung.
Hanya saja terkadang pulang hanya dipahami setakat kulit, tidak mencungkil isi. Padahal pulang kampung dalam ranah agama kita sedang menjalankan teologi "ilaihi raji'un", kembali kepada Sang Pencipta diri. Pulang adalah hasrat diri untuk kembali ke tempat asal, di mana darah itu tertumpah pertama kali, di tempat nilai-nilai kehidupan itu bermula diajarkan, di ceruk kasih sayang itu disauk dalam balutan kesederhanaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pulanglah dengan membawa diri tanpa balutan yang membuat sanak saudara lupa, orang kampung sungkan. Tanggalkan jabatan yang membuat diri besar, simpan baju kebesaran, ulurkan tangan, sadarkan diri dari buaian aksesori dunia yang membuat lupa siapa diri. Hanya dengan itulah diri akan mampu bersimpuh di hadapan ayah-ibu dengan tulus ikhlas. Kalau tidak, diri hanya mampu bersimpuh tapi tetap angkuh dengan jabatan-jabatan kebesaran. Memandang sanak saudara sebelah mata, dan diri tidak mampu menjabat tangan sejawat dengan akrab, seperti saat-saat di kampung dulu. Sebab diri sudah merasa lebih dari setiap diri.
Pulang kampung sejatinya adalah keinginan terdalam diri. Pulang ibarat "jeda" dalam mengarungi kehidupan. Liku-liku dan hiruk pikuk kehidupan dunia membuat diri terkadang tercerabut dari akar sejatinya. Diri ingin merebahkan tubuhnya di pangkuan kampung, menikmati semilir angin ketulusan dan mendengarkan nyanyian burung kebenaran. Sebab, keaslian dan kesejatian itu sudah mulai lama tidak bersedekap dengan diri. Bahkan sudah berganti dengan lilitan selimut tebal kepalsuan.
Tarikan pulang kampung itu hakikatnya adalah anugerah suci Tuhan kepada diri. Persis seperti yang dilukiskan Jalaluddin Rumi, bahwa kita adalah seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Lengkingan pilu suara seruling itu adalah jeritan merdu manusia untuk kembali kepada rumpun sejatinya. Pulang kampung itu mengajarkan diri untuk tidak lupa siapa dirinya, dari mana berasal dan akan pulang ke mana. Dalam ungkapan orang tua dahulu, "Setinggi apapun bangau terbang, hinggapnya di kubangan jua." Ia akan kembali pulang ke tempat di mana ia berasal. Diri akan merasa nyaman kembali pulang ke tempat asalnya.
Sekarang, pertanyaan muncul dalam diri, benarkah pulang itu mendatangkan kenyamanan atau malah penderitaan? Semuanya terpulang kepada diri. Kalaulah diri yang dibawa pulang, bukan diri yang dikenal oleh ayah, ibu, sanak saudara, dan kawan sekampung, alamat diri akan terasing di tengah keramaian fitri. Kendati orang menegur sapa, tapi diri tetap kehilangan jatinya. Diri merasa merana dan gelisah di tengah tumpukan harta dan kuasa.
Hanya dengan pulanglah, pulang itu akan mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan. Pulanglah atau kembalilah kepada hakikat diri yang suci. Tanggalkan baju kotor dunia yang membuat diri tidak mampu melihat kebenaran itu benar dan kebatilan itu batil. Pasang kembali baju asli diri, baju yang telah dibasuh oleh Ramadhan.
Hanya dengan baju aslilah, diri akan pulang dengan nyaman dan menyenangkan. Semua keluarga, handai tolan, jiran tetangga akan menyambutnya dengan senang, merayakan diri yang kembali fitri. Demikian juga kala pulang ke tempat yang abadi. Diri akan disambut ilahi dengan ungkapan, "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ikhlas dan diridai, masuklah ke dalam golongan hamba-Ku dan masuklah ke surga-Ku". Oleh karena itu, pulanglah!
(mmu/mmu)