(Kepada Mereka Yang Gugur dalam Demonstrasi)
Siapakah kamu? Tidak ada kartu di saku celanamu. Kamu tidak berbapak, tidak beribu. Kamu yatim piatu. Itu mengapa tidak ada yang bertanggungjawab atas kematianmu. Juga tidak ada belasungkawa dan ungkapan pilu. Tidak ada karangan bunga untukmu. Orang-orang hanya tahu, sebuah peluru telah bersarang di tubuhmu. Lalu di nisanmu kini tertulis, "perusuh pada akhirnya hanya akan terbujur kaku". Kamu adalah contoh baik untuk sebuah perilaku yang tidak boleh ditiru.
Oh, betulkah kamu yang melemparkan batu itu ke dalam kerumunan? Aku tidak mendengar suara yang terlontar dari mulutmu. Kamu bahkan tidak bisa mengeja kata "demokrasi", apalagi "people power!". Sekonyong-konyong saja tumbuh keyakinan di dalam dirimu, tentang sebuah keniscayaan peran yang kamu dengar dari gelombang suara yang merembet pada akar malam, dari dalam belantara tidak berpeta. Di Kurusetra, kamu hanya memiliki sebuah keyakinan tentang kedaulatan yang harus diperjuangkan, sedangkan dari seberang sana terdengar pula tantangan: tentang tidak ada lagi pilihan selain perang total.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siapakah kamu? Lihatlah, bukankah faktanya tidak ada yang mengambil jenazahmu. Dari manakah asalmu? Apakah kewarganegaraanmu? Tidak ada telegram. Tidak ada yang berucap duka. Maka, izinkan aku menguburkanmu di dalam sajakku. Kamu akan menjadi saksi, atas Hati yang menjadi bangkai. Di sini, di negeri yang telah mati.
Bandung, 19 Ramadhan 1440 H.
*) Acep Iwan Saidi, Pengajar Semiotika Desain, Media, dan Kebudayaan ITB (dkp/dkp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini