Alasan pemerintah lewat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dan Menteri Koordinator Politik Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) yaitu untuk membatasi provokator mem-posting video, meme, dan foto terutama peredaran hoax tentang demonstrasi penolakan atau ketidakpuasan terhadap hasil Pilpres 2019 yang disebarkan melalui Facebook, Instagram, Whatsapp.
Lebih lanjut menurut Menkominfo, pembatasan terhadap akses sosial media akan memperlambat download dan upload video saja, serta pembatasan ini bersifat bertahap dan sementara. Menkopolhukam menambahkan bahwa kebijakan ini diambil karena ada skenario untuk melakukan kekacauan, menciptakan antipati kepada pemerintahan yang sah dan menyerang aparat keamanan, sehingga pada akhirnya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dan agar masyarakat mendapatkan informasi yang akurat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Praktik Pembatasan
Penutupan akses sosial media sementara dan secara tetap sudah banyak dilakukan beberapa negara. Ada beberapa negara di dunia ini yang sangat aktif melakukan pemblokiran di sosial media dan melakukan sensor, yaitu Korea Utara, Eritrea, Saudi Arabia, Iran, Banglades, Siria, Turkmenistan, Vietnam, Myanmar, Ethiopia, dan beberapa di antaranya yang bisa dicatat dalam pelaksanaan pemblokiran sosial media sebagai berikut (le-vpn.com, 2018):
Pertama, Myanmar melakukan pemblokiran berita dalam email, sosial media, dan website yang berisikan konten pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah atau segala protes atau ketidaksetujuan terhadap pemerintah.
Kedua, Vietnam membolehkan warganya mengakses website seperti Yahoo, Google, dan Microsoft's MSN, di lain sisi pemerintah memblok website yang melakukan kritik terhadap pemerintah atau yang advokasi terhadap HAM dan demokrasi.
Ketiga, China membolehkan warganya akses terhadap internet dan sangat aktif di bidang sosial media, tetapi pemerintah melakukan pemblokiran IPs, menyaring pencarian di internet atau bahkan menghapus konten yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Keempat, Turki memperkuat peran pemerintah melakukan sensor terhadap internet pada 2014. Tujuan dilakukan pembatasan adalah untuk menyingkirkan lawan politik dan mewajibkan penyedia jasa internet untuk melaporkan kegiatannya pengguna provider mereka setiap dua tahun dan menghapus konten yang tidak disukai pemerintah dalam waktu empat jam sejak ditemukan.
Kelima, Turkmenistan membolehkan hanya satu penyedia jasa internet yaitu yang dikelola pemerintah. Pemerintah memblok akses ke beberapa website dan memonitor lalu lintas email.
Bias dan Sepihak
UU No 19 tahun 2016 yang mengubah UU No 18 tahun 2008 tentang ITE dalam Pasal 40 memberikan ruang kepada pemerintah untuk melakukan pemblokiran terhadap situs-situs tertentu. Pasal 40 poin 2a menyebutkan, "Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Selanjutnya Pasal 40 poin 2b menyebutkan, "Dalam melakukan pencegahan, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum."
Salah satu bentuk pemblokiran yang dilakukan pemerintah yaitu melalui penutupan akses terbatas dan sementara terhadap Instagram, Whatsapp, dan Facebook pada 22 Mei kemarin mengindikasikan bahwa; Pertama, tindakan ini bersifat sepihak dilakukan pemerintah dan hanya berdasarkan pendapat pemerintah saja dalam kasus 22 Mei, yaitu pemerintah berpendapat adanya ancaman dan potensi disintegrasi di masyarakat.
Kedua, pemerintah menggunakan alasan keamanan nasional serta untuk menjaga kepentingan umum adalah bersifat menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya. Belum ada ukuran untuk batasan keamanan nasional dalam perundang-undangan, sehingga mengapa pada akhirnya berujung pada penghentian akses ke sosial media tersebut.
Ketiga, menggeneralisasi penghentian akses sementara kepada semua pengguna internet juga adalah tidak wajar, karena sosial media dipergunakan setiap orang dengan tujuan utama yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan untuk mendapatkan informasi, pendidikan, bersilaturahmi dengan keluarga, untuk tujuan ekonomi, dan lain-lain.
Keempat, tindakan pemerintah yang tidak memberikan pemberitahuan di awal dan secara tiba-tiba menutup akses sosial media juga sangat bias dan sepihak.
Di UU tentang ITE pun pemerintah wajib melakukan sosialisasi terhadap penggunaan internet atau sosial media, bagaimana sebenarnya cara penggunaan internet dan sosial media yang baik sehingga masyarakat umum bisa melakukan filter sendiri terhadap konten negatif atau hoax yang merusak. Tetapi dalam kasus pembatasan akses ke sosial media pada 22 Mei kurang memenuhi rasa keadilan pengguna internet karena kurang melibatkan partisipasi masyarakat di awal seperti yang tercantum dalam Bab III Pasal 7 Peraturan Menteri Kominfo No 19 tahun 2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif.
Mendapatkan informasi melalui sosial media merupakan hak setiap orang dan bagian dari hak asasi manusia. Di satu sisi memang masyarakat diharapkan sadar menggunakan media sosial secara bijak. Pemerintah juga tidak boleh melupakan bahwa ada kebebasan memperoleh informasi yang seharusnya dilindungi yaitu Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Asasi Manusia dan juga Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang menyebutkan, "Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan dan setiap orang berhak untuk kebebasan menyatakan pendapat."
Hak itu termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan pemikiran apapun terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. Kovenan Hak Sipil dan Politik ini telah diratifikasi dan diundangkan melalui UU No 12 tahun 2005, serta pembatasan akses ke sosial media tersebut adalah benar-benar juga dalam kerangka untuk melindungi hak asasi manusia.
Nukila Evanty Direktur RIGHTS Asia, penasihat pada Asia Centre dan Direktur Eksekutif Women Working Group (WWG)
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini