Seruan "people power" yang digaungkan oleh elite politik tertentu sejak sebelum berlangsungnya pemilihan umum presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif sontak telah menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, dan sekaligus juga menyisakan perdebatan di kalangan ahli hukum.
Bahkan sebagian dari aktivis dan institusi lembaga pegiat Hak Asasi Manusia telah meminta agar aparat tidak gegabah dalam menerapkan delik makar, dan menilai penerapan delik makar dapat bertentangan dengan demokrasi dan sistem hukum Indonesia.
Lalu apakah tepat jika seruan "people power" dari para elite politik tertentu, yang dapat diserukan dengan istilah sejenis lainnya, dengan dalil adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilu dapat dikualifikasi sebagai delik makar sebagaimana dimaksud Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP"), yaitu makar dengan maksud menggulingkan pemerintah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan bagaimana sesungguhnya aturan dan batasan delik makar dalam Hukum Pidana Indonesia?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Delik Makar
Asal kata makar berasal dari bahasa Belanda, yaitu "aanslag", yang secara etimologis berarti "menyerang" (serangan/penyerangan). Makar juga termasuk dalam kategori Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dalam Bab I pada Buku II (kedua) KUHP, yang pengaturannya tersebar diantaranya dalam Pasal 87, 104, 106, dan 107 KUHP.
Berdasarkan pembagiannya, delik makar terhadap keamanan dan keselamatan NKRI dibagi menjadi 3 jenis, yaitu 1) Makar dengan maksud menyerang keselamatan Presiden dan Wakil Presiden yang memerintah (Pasal 104 KUHP); 2) Makar dengan maksud menyerang keutuhan wilayah NKRI (Pasal 106 KUHP); 3) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah (Pasal 107 KUHP).
Pasal 87 KUHP versi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyebutkan bahwa ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 KUHP.
Secara hukum, penerapan delik makar terhadap pelaku yang disangkakan haruslah kembali pada asas hukum pidana yang terdapat dalam Pasal 53 KUHP Tentang Percobaan (poging), yaitu apakah terdapat "niat" (dengan maksud) dan "permulaan pelaksanaan" untuk melakukan Makar, tanpa disertai unsur tidak selesainya perbuatan bukan/di luar kehendak pelakunya, sebagaimana pada Delik Percobaan.
Mengutip pandangan pakar hukum pidana terkemuka di Indonesia, Prof. Moeljatno (almarhum), niat merupakan sikap batin (mens rea) yang masih berada dalam hati dan apabila niat ditunaikan dalam tindakan nyata, maka niat tersebut menjadi suatu kesengajaan.
Sedangkan unsur "permulaan pelaksanaan" akan selalu menjadi bagian yang sulit untuk ditentukan dalam membedah kasus makar. Oleh karenanya, perlu dibedakan dengan tegas antara Perbuatan Persiapan (voorbereidingshandeling) dan Perbuatan Pelaksanaan (uitvoeringshandeling), karena yang termasuk dalam "permulaan pelaksanaan" dalam delik makar adalah Perbuatan Pelaksanaan, dan bukan Perbuatan Persiapan-nya.
Lalu apakah yang dimaksud "Perbuatan Pelaksanaan" dalam Delik Makar? Dari beberapa literatur hukum pidana yang dimiliki penulis, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai Perbuatan Pelaksanaan, jika pelakunya telah mulai melakukan unsur pokok (anasir) dari tindak pidana tersebut, misalnya dalam contoh yang mudah dipahami yaitu Delik Pencurian, yang anasirnya adalah "mengambil barang milik orang lain".
Menurut hemat saya, Permulaan Pelaksanaan dari Delik Makar dapat diwujudkan, misalnya dengan cara membentuk suatu organisasi tertentu yang mempunyai rencana yang terstruktur, sekalipun tanpa kekerasan atau serangan senjata dari pelakunya, yang pada pokoknya memiliki tujuan utama untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan cara-cara atau jalur yang tidak sah (inkonstitusional), misalnya dalam bentuk tindakan meniadakan/menghancurkan kekuasaan pemerintah dan/atau mengubah bentuk pemerintahan secara tidak sah (Pasal 88 Bis KUHP).
Keselamatan Bangsa
Keselamatan Bangsa
Pada 31 Januari 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusannya No 7/PUU-XV/2017 telah menolak permohonan uji materiil (Judicial Review) atas Pasal 87, 104, 106, 107, 108, 139a, 140 KUHP, sehingga eksistensi delik makar di Indonesia masih konstitusional.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa apabila definisi makar dimaknai sebagai "serangan" tanpa dikaitkan dengan rumusan norma lain akan menimbulkan ketidakpastian hukum, dan akibatnya penegak hukum hanya dapat bertindak terhadap pelaku makar setelah ada serangan dan menimbulkan korban.
Selanjutnya, masih menurut pertimbangan hukum MK, delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya kedua syarat tersebut terhadap para pelakunya dapat ditindak oleh aparat penegak hukum.
Menurut pandangan saya, pertimbangan MK ini sejalan dengan kualifikasi delik makar sebagai Delik Formil, yaitu delik yang menekankan rumusannya pada perbuatan (niat dan perbuatan pelaksanaan) dan bukan pada akibatnya. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa tiada makar, apabila makar tersebut ternyata berhasil mencapai tujuannya, sehingga secara hukum tidak ada istilah "percobaan makar".
Last but not least, saya teringat akan ungkapan dari Marcus Tullius Cicero yang menyatakan, "The safety of the people shall be the highest law," yang relevansinya adalah apabila ada tindakan menyerang kepentingan hukum dari tegaknya suatu pemerintahan yang sah dengan cara atau jalur yang inkonstitusional, padahal terdapat jalur hukum yang disediakan oleh Undang-Undang, maka yang berpotensi ikut terancam adalah keselamatan bangsa dan masyarakat itu sendiri, yang seharusnya menjadi hukum yang tertinggi dalam suatu negara beradab.
Albert Aries advokat pada Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP), dosen FH Trisakti
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini