Dalam pernyataannya, Wiranto menyebut pembentukan THN bertujuan merespons tindakan, ucapan, maupun pemikiran tokoh masyarakat yang mengarah pada perbuatan melawan hukum. Tim ini diisi oleh pakar hukum tata negara dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi.
Wiranto memang tidak menyebut konteks Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sebagai latar belakang pembentukan THN. Namun, tidak cukup sulit rasanya untuk menarik kesimpulan bahwa pembentukan THN berkaitan erat dengan isu seputar Pilpres 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seturut hasil hitung cepat 12 lembaga resmi, pasangan nomor urut 01 unggul dengan perolehan suara sekitar 54-55 persen. Namun, kubu pasangan nomor urut 02 menolak hasil hitung cepat dan mendeklarasikan kemenangannya. Tidak tanggung-tanggung, mereka mengklaim kemenangan dengan raihan suara 62 persen. Klaim kemenangan itu belakangan diikuti dengan upaya membentuk opini publik bahwa Komisi Pemilhan Umum (KPU) bertindak curang dan berpihak pada kubu petahana.
Nyaris saban hari, baik di media massa maupun media sosial, para eksponen oposisi mengeluarkan pernyataan yang mendeskreditkan KPU. Mulai dari tuntutan untuk mengaudit sistem Teknologi dan Informasi (TI) KPU yang dinilai bermasalah. Sampai seruan untuk menghentikan proses rekapitulasi suara Pilpres. Padahal, saat ini proses rekapitulasi sudah mencapai 70 persen dari total suara.
Termutakhir, muncul seruan agar KPU mendiskualifikasi pasangan capres-cawapres nomor urut 01 dari Pilpres 2019. Seruan ganjil ini datang dari Forum Ijtimak Ulama III yang notabene merupakan penyokong utama kubu oposisi.
Ujaran bernada provokatif pun datang dari sejumlah tokoh oposan. Rizieq Shihab misal, menyatakan bahwa KPU harus melantik pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, berapa pun jumlah perolehan suaranya. Sementara Amien Rais dan Eggy Sudjana berkali-kali mengancam akan mengerahkan kekuatan massa (people power) untuk memprotes hasil Pilpres 2019.
Tiga Persoalan
Dalam banyak hal harus diakui bahwa upaya mendelegitimasi Pilpres 2019 itu nyata adanya. Ancaman people power yang digaungkan sejumlah tokoh pun agaknya tak bisa dipandang sepele. Terlebih mengingat rekam jejak kubu oposisi yang kerap unjuk kekuatan massa saat merespons isu tertentu. Demo bertajuk aksi bela Islam yang berlangsung dalam beberapa jilid dan melibatkan puluhan hingga ratusan ribu orang adalah contohnya.
Kita tentu sepakat bahwa setiap tindakan melawan hukum, upaya mendelegitimasi pemilu yang sah, atau gerakan yang menjurus ke makar harus disikapi dengan penegakan hukum. Kita juga sepakat bahwa pemerintah dan negara idealnya tidak berkompromi dengan kelompok yang memaksakan kehendak dengan melanggar konstitusi. Apalagi sampai mengerahkan massa yang mengancam demokrasi sekaligus eksistensi bangsa.
Namun demikian, kita tentu patut bertanya, apakah pembentukan THN ini benar-benar dibutuhkan? Apakah pembentukan THN memang dimaksudkan sebagai upaya menjaga keutuhan bangsa dan negara, atau justru siasat politik belaka? Lalu, apakah pembentukan THN ini bermanfaat bagi demokrasi atau sebaliknya, justru mengancam demokrasi?
Amatan sederhana menunjukkan bahwa pembentukan THN yang disponsori langsung oleh Wiranto ini mengandung setidaknya tiga persoalan. Pertama, pembentukan THN berpotensi melahirkan semacam tumpang tindih kewenangan yang berpotensi menjurus pada terciptanya konflik kepentingan.
Kondisi itu memungkinkan terjadi lantaran pemerintah sudah memiliki sistem berikut lembaga penegak hukum untuk mengatasi perbuatan melawan hukum, upaya mendelegitimasi pemilu, maupun upaya makar. Keberadaan Undang-undang berikut lembaga penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan, bahkan TNI dirasa lebih dari cukup untuk mengatasi persoalan-persoalan yang menjadi kekhawatiran pemerintah selama ini.
Kedua, pembentukan THN juga berpotensi memberangus kebebasan berpendapat yang pada akhirnya justru menjadi ancaman serius bagi supremasi demokrasi. Seperti kita tahu, agenda pokok gerakan Reformasi 1998 adalah menjamin tegaknya demokrasi. Salah satunya ialah menjamin kebebasan berpendapat di muka publik. Selama dua dekade lebih era Reformasi bergulir, kita memperjuangkan agar supremasi sipil itu tetap tegak.
Langkah pemerintah membentuk THN ini justru memunggungi supremasi sipil dan secara umum mencederai semangat Reformasi. Bukan tidak mungkin ke depan, THN justru menjadi alat pemerintah untuk mengintervensi atau bahkan membungkam kebebasan berpendapat.
Ketiga, pembentukan THN yang diinisiasi oleh Wiranto ini kental dengan nuansa kepentingan politik pribadi. Ada kesan kuat bahwa Wiranto tengah melakukan semacam manuver politik untuk menyelamatkan jabatannya sebagai menteri dalam kabinet Jokowi. Seperti diketahui bahwa Hanura, partai yang selama ini menaungi karir politik Wiranto diprediksi tidak lolos ke Senayan lantaran perolehan suaranya di bawah ambang batas parlemen.
Tanpa keterwakilan di parlemen, Hanura tentu tidak memiliki posisi tawar yang kuat di depan koalisi pengusung Jokowi-Ma'ruf. Dalam konteks inilah, pembentukan THN ini bisa dimaknai sebagai upaya pasang badan Wiranto untuk membela kepentingan Jokowi sekaligus mengamankan posisinya di pemerintahan Jokowi periode kedua.
Rekonsiliasi Nasional
Di tengah memanasnya suasana sosial-politik akibat residu persoalan yang ditinggalkan oleh Pilpres 2019, pembentukan THN adalah upaya kontraproduktif. Pemerintah seharusnya berpikir lebih arif dan lebih berorientasi pada kepentingan bangsa. Apa yang dibutuhkan bangsa ini dalam waktu dekat ialah terjadinya rekonsiliasi nasional yang mempertemukan kedua belah pihak dalam satu kepentingan bersama.
Sudah cukup lama bangsa ini terbelah dalam dua kelompok besar yang saling berhadapan hanya karena perbedaan pilihan dan afiliasi politik. Hampir lima tahun lamanya, bangsa ini hidup dalam suasana polarisasi politik yang tajam. Selama itu pula relasi sosial kita diwarnai oleh sikap saling curiga, saling benci dan saling cela. Walhasil, kohesi sosial yang merupakan modal utama kita dalam membangun peradaban pun mulai merenggang dan mengalami keretakan di sana-sini.
Berakhirnya Pilpres 2019 yang berbarengan dengan datangnya bulan suci Ramadhan ini sepatutnya bisa menjadi momentum bersama untuk menciptakan rekonsiliasi nasional. Inilah waktunya untuk kita menenun kembali semangat kebangsaan dan kekitaan yang sempat koyak karena politik praktis.
Upaya menciptakan rekonsiliasi nasional itu idealnya dimulai dari para elite politik. Jika para elite politik mampu menahan diri untuk tidak berucap dan berperilaku yang dapat menimbulkan kegaduhan dan menjurus ke arah provokasi, besar kemungkinan masyarakat di level akar rumput akan menerima apa pun hasil Pilpres, berdamai dengan kenyataan dan melanjutkan kehidupan sebagaimana mestinya. Toh, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, siapa pun presidennya, kehidupan tetap harus dilakoni dengan kerja keras dan sikap optimistik.
Nurrochman pengajar Filsafat Politik, mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini