Polemik Syarat Keterpilihan Presiden
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Polemik Syarat Keterpilihan Presiden

Senin, 06 Mei 2019 12:40 WIB
Despan Heryansyah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Polemik Syarat Keterpilihan Presiden
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta - Menjelang pengumuman hasil pemilu (pilpres dan pileg), yang saat ini sedang dalam masa rekapitulasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, muncul polemik dalam masyarakat mengenai syarat keterpilihan calon presiden. Perdebatan muncul dalam bentuk pertanyaan apakah pemenang pemilihan presiden tahun 2019 ini cukup dengan mendapatkan suara terbanyak saja, ataukah harus mendapatkan suara terbanyak juga dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia?

Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017-lah yang harus diikuti, karena pada saat ini sebagai hukum positif UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah panduan penyelenggaraan pemilu tahun 2019. Pasal 416 ayat (1) menentukan, pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan Pasal ini menentukan syarat kemenangan presiden, mengesampingkan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 dan Putusan MK terhadap Pasal 159 UU Nomor 42 Tahun 2008.

Sejak 2014

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Polemik mengenai syarat keterpilihan calon presiden sesungguhnya sudah ada sejak tahun 2014 lalu, di mana pada Pilpres 2014 juga hanya melahirkan dua pasangan calon yang berkompetisi. Jika ditarik dari aspek konstitusi, Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD 1945 mengatur, ayat (3): Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

Sedangkan ayat (4): Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.

MK atas dasar penafsiran gramatikal dan sistematis sudah menafsirkan bahwa Pasal 6A ayat (3) tersebut berlaku apabila terdapat calon presiden lebih dari dua pasang. Sedangkan, ayat (4) sudah menentukan bahwa jika hanya terdapat dua pasangan calon, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak yang akan dilantik.

Selain itu, dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 juga mengatur mengenai syarat keterpilihan calon presiden ini, dalam Pasal 159 disebutkan bahwa pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Karena dianggap multitafsir, pasal tersebut diujikan ke Mahkamah Konstitusi dan melalui Putusan 50/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada 3 Juli 2014, MK menyatakan pemberlakuan pasal ini sepanjang terdapat lebih dari dua pasangan calon, sementara jika hanya ada dua pasangan calon, pasal ini tidak berlaku.

Terhadap ketentuan itu, KPU juga sudah mengakomodasinya dalam Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2009, yang dalam Pasal 3 ayat (7) disebutkan, dalam hal hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon dalam pemilu presiden dan wakil presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih.

Maka secara yuridis-teoritis sesungguhnya tafsiran MK dan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2009 ini adalah acuan mengenai syarat keterpilihan calon presiden dalam pemilu tahun 2019 ini. Alasannya, pemberlakuan Pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017 tetap berdasarkan pada tafsiran MK terhadap Pasal 6A UUD 1945, selain itu keberadaan Peraturan KPU juga masih tetap berlaku sepanjang belum dibatalkan dalam judicial review di Mahkamah Agung.

Kesalahan

Terlepas dari polemik syarat keterpilihan calon presiden di atas, terdapat kesalahan dalam pemaknaan Pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017. Banyak pihak yang memaknai bunyi Pasal 416 ini bahwa calon terpilih selain harus memperoleh lebih 50% suara secara nasional, juga harus menang di 18 provinsi dari keseluruhan jumlah provinsi yang ada. Padalah frasa yang tertulis adalah "dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia".

Artinya, calon yang sudah mendapatkan lebih dari 50% suara, hanya cukup dengan mendapatkan 20% saja suara di 18 Provinsi, tanpa harus menjadi pemenang di provinsi tersebut. Sehingga secara faktual, pada Pilpres 2019, jika melihat hasil quick count hampir tidak mungkin pasangan yang memperoleh lebih dari 50% suara tidak mendapatkan sedikitnya 20% suara di 18 Provinsi.

Despan Heryansyah peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads