"Soalnya kini ialah menunggu. Menunggu dengan sabar. Yang mereka perlukan ialah waktu. Dengan penuh khawatir mereka melihat pada terang matahari di luar atap daun-daun kayu di atas kepala."
Secuil kutipan dari novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis tersebut sepertinya cocok untuk kondisi hangat usai pemungutan suara saat ini. Dalam novel itu, Wak Katok, Buyung, dan Sanip tengah berburu harimau yang sukar ditangkap. Karena beberapa pertimbangan, mereka memilih menunggu di atas tebing sambil bersembunyi di balik pohon. Mereka tak hanya menunggu sebenarnya, di atas tebing itu mereka bertujuan mengawasi segala gerak-gerik harimau agar bisa lebih dulu membunuhnya sebelum hal sebaliknya terjadi.
Dalam beberapa hal, menunggu itu perlu dilakukan. Menunggu membuat kita bisa lebih mengerti situasi, tidak gegabah dalam melangkah, dan memberikan waktu lebih dalam mempertimbangkan hal-hal lain yang akan dilakukan.
Habis pemungutan suara, maka terbitlah quick count. Pada hakikatnya quick count memang penelitian yang punya akurasi tinggi, namun kita sebenarnya telah mengetahui bersama bahwa quick count --apalagi survei pra-pemilu ataupun exit poll-- bukanlah hasil final. Data-data itu sudah dijelaskan berkali-kali oleh pakar riset merupakan sebuah metode riset saat dilaksanakan pemilu yang diakui memiliki tingkat akurasi tinggi.
Soal menang dan kalah, juga telah jelas bahwa kepastian yang benar-benar pasti ialah hasil perhitungan real count dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun memang butuh waktu lebih lama untuk mendapatkan kepastian real count dari KPU.
Kembali dalam kutipan novel Mochtar Lubis, persoalannya kini ialah menunggu. Menunggu dengan sabar. Yang kita perlukan ialah waktu untuk menunggu KPU selesai melakukan perhitungan real count. Soal quick count, jadikan survei dari beberapa lembaga itu sebagai bentuk pengawasan dan pandangan umum ketika real count telah usai.
Hal senada juga diucapkan Ketua KPU Arief Budiman, jadikanlah quick count sebagai referensi dalam pemilu. Quick count bisa jadi acuan ketika terjadi kecurangan-kecurangan yang tidak diharapkan. Namun kondisi saat ini, quick count terlalu diyakini oleh masyarakat sebagai kepastian, akhirnya saling akuisisi kemenangan terjadi di masyarakat.
Saat ini kedua calon telah mendeklarasikan kemenangannya dari sudut pandang masing-masing. Hal ini membuat para pendukung di kedua pihak makin ramai mengisi berbagai media sosial dengan sama-sama mengakuisisi kemenangan masing-masing. Masa transisi ini harusnya bisa dicegah oleh kedua pasangan calon dengan tidak mendeklarasikan terlebih dahulu kemenangannya sebelum real count KPU berada dalam status final. Deklarasi kemenangan sebelum keputusan KPU membuat kondisi persaingan di masyarakat terus berlangsung. Sentimen seperti ini bisa menimbulkan konflik, salah satunya saling hina di media sosial.
Jika saja menunggu dijadikan nilai luhur masyarakat dan juga kedua paslon saat pemilu maka pembahasan yang bersifat menjustifikasi negatif salah satu pihak tidak akan terjadi di media sosial. Menunggu menjadi amat penting dalam mendamaikan suasana pemilu.
Sikap akuisisi kemenangan ini juga terkesan tidak menghormati pihak penyelenggara pemilu. KPU telah membuat konsep perhitungan dengan real count, maka seharusnya deklarasi kemenangan dilakukan setelah real count itu selesai. Alih-alih sebagai pengawasan, quick count malah menjadi jalan pintas untuk melangkahi agenda yang sudah dicanangkan KPU. Walau hal itu bukan sesuatu yang dilarang, tapi demi menghormati penyelenggara seharusnya kedua paslon bisa sabar menunggu.
Wak katok, Buyung, dan Sanip memilih menunggu dan mengawasi di ketinggian agar tidak dimangsa lebih dulu oleh harimau yang lebih memahami medan hutan. Menunggu jadi sarana mereka untuk bersifat hati-hati dalam melangkah, sebab harimau adalah makhluk yang ganas dan lihai dalam berburu angsa, mungkin bahkan lebih cerdas dari Wak Katok, Buyung, dan Sanip. Maka menunggu adalah sebuah pilihan untuk memberi jeda agar bisa melakukan lebih banyak pertimbangan. Menunggu juga sebuah strategi, kehati-hatian dan kebijaksanaan dalam mencegah ketergesa-gesaan.
Selain itu menunggu hasil pemilu dari KPU adalah sikap yang begitu bermoral. Memang banyak masyarakat yang mempertanyakan siapa yang menang, namun pola itu ada karena sejarah silam yang terjadi di Indonesia, quick count selalu jadi sumber pendeklarasian pasangan calon. Contohnya pemilihan gubernur DKI Jakarta. Saat itu Anies Baswedan dan Sandiaga Uno mendeklarasikan kemenangan karena menang quick count. Hal itu kembali terjadi saat ini. Pola pikir masyarakat akhirnya berubah karena budaya yang kurang tepat.
Penyelenggara juga harusnya bersikap tegas. Kalau perlu ada aturan khusus mengenai syarat-syarat pendeklarasian kemenangan pasangan calon. Itu perlu dilakukan jika memang keadaan publik tak lagi memiliki kesabaran untuk menunggu.
Sekali lagi, mari belajar pada perburuan yang dilakukan oleh Wak Katok, Buyung, dan Sanip. Harimau begitu kejam, sigap, lihai, dan memahami medan hutan. Langkah kita saat menghadapinya perlu penuh kehati-hatian. Jika tidak, maka kita sendiri yang akan diterkam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bayu Prastio mahasiswa Teknik Sipil dan aktif sebagai Pemimpin Umum Pers Mahasiswa Bhaskara Universitas Muhammadiyah Purwokerto











































