Setelah pemilu usai, selalu saja ada hal-hal yang tak benar-benar bisa dipastikan tuntas. Angka-angka dan peringkat hasil pemilu mungkin berhasil memberikan kata putus pada siapa yang menempati posisi pertama dalam kontestasi ini. Namun demikian keraguan segera meruap: apakah hasil pemilu sungguh-sungguh mencerminkan siapa memenangkan apa dari segala variabelnya?
Apakah ia telah cukup untuk mengunci keyakinan secara biner tentang siapa yang kalah dalam pertarungan kompleks ini? Apakah ini sekadar soal angka dari bilik suara dan bukan tentang "investasi politik" lain yang telah ditebar jauh sebelum pemilu?
Keraguan-keraguan itu adalah akibat logis tatkala kita memandang medan politik bukan saja sebagai arena kompetisi, melainkan juga tempat berinvestasi dalam jagad rumit pasar politik. Kalah-menang bukan lagi dikotomi mati dan tertutup, melainkan konsep yang lentur bergantung pada kacamata mana kita memandang.
Kompensasi KekalahanApakah ia telah cukup untuk mengunci keyakinan secara biner tentang siapa yang kalah dalam pertarungan kompleks ini? Apakah ini sekadar soal angka dari bilik suara dan bukan tentang "investasi politik" lain yang telah ditebar jauh sebelum pemilu?
Keraguan-keraguan itu adalah akibat logis tatkala kita memandang medan politik bukan saja sebagai arena kompetisi, melainkan juga tempat berinvestasi dalam jagad rumit pasar politik. Kalah-menang bukan lagi dikotomi mati dan tertutup, melainkan konsep yang lentur bergantung pada kacamata mana kita memandang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data-data telah menunjukkan bahwa biaya politik di negeri ini tergolong jumbo. Pada contoh Pilkada DKI Jakarta 2017 lampau saja misalnya, data ICW menunjukkan bahwa tiap paslon menghabiskan lebih dari Rp 80 miliar untuk berkampanye saja. Namun demikian, bagaimana logikanya biaya tinggi itu tetap gigih ditempuh kendati kepastian menang-kalah belum ada? Adakah ini semata perjuangan tulus tanpa pamrih ataukah perlambang adanya sesuatu yang tak terbaca mata awam?
Mustahil untuk tak menduga bahwa pertaruhan dengan dana raksasa dalam kompetisi pemilu memantulkan perhitungan psikologis bahwa biaya tinggi itu belum apa-apa dibanding potensi return yang kelak didapat. Persis di sinilah permasalahan muncul. Publik sering mengira bahwa kompetisi telah tuntas hanya karena perhitungan final di bilik suara sambil menafikan kemungkinan terjadinya investasi politik dari sudut tak terlihat.
Kemenangan elektoral satu kandidat sebagai hasil dari perhitungan resmi Komisi Pemilihan Umum di bilik suara bukan berarti kalahnya satu kandidat lain. Bilamana investasi politik telah ditanam, menang-kalah dapat menjadi demikian relatif.
Sudah barang tentu elite politik kita selalu memiliki visi antisipatif atas segala risiko yang mungkin hadir menimpa dirinya, termasuk dalam soal kekalahan politik. Maka dengan ukuran standar angka-angka perolehan suara, kita tak bisa tergesa-gesa menghukumi kandidat yang tertinggal secara perhitungan elektoral sebagai ia yang sama sekali tersingkir dari medan tarung. Lewat variabel pengaruh yang lain, kekalahan elektoral itu akan dikompensasi.
Ada sekurangnya tiga kemungkinan kompensasi politik yang muncul. Pertama, investasi pengaruh yang ditanam pada partai politik koalisi akan melahirkan basis kuat dalam struktur oposisi yang independen dan besar. Pasca Pilpres 2014, kekalahan elektoral Prabowo membuatnya mendapat kompensasi faksi oposisi yang sangat kuat, dinamai Koalisi Merah Putih, yang kerap merepotkan Koalisi Indonesia Hebat di bawah kemudi Joko Widodo.
Kedua, investasi kharisma pada pendukung fanatik di aras bawah adalah fondasi berharga sebagai barikade politik dalam tiap momen penting ke depan. Dampak kekalahan Prabowo pada Pilpres 2014 membuktikan keterampilan yang terus terjaga dalam mengelola para pendukung untuk menyetir ke mana isu dan agenda politik diembuskan. Fanatisme yang terus bertambah hingga pemilu tahun ini adalah imbal hasil dari bagaimana investasi kharisma itu dimainkan sejak jauh hari.
Kompensasi ketiga diproduksi melalui negosiasi antarelite, yang dalam pengertian ini adalah negosiasi tingkat tinggi kepada pemenang elektoral. Kompromi atau tawaran tertentu adalah wajar dalam mempertemukan dua kepentingan dalam konteks sistem demokrasi. Hanya saja, pada fase ini kekuatan dan daya tawar sangat ditentukan oleh besaran kapital politik yang dipunya.
Kandidat yang kalah secara elektoral tetapi menghimpun aset-aset politik strategis akan lebih ringan dalam mendapatkan kompensasi yang sebanding. Aset itu dapat mewujud dalam rupa massa, kepemilikan jaringan media, atau bahkan dukungan internasional dalam bentuknya yang bermacam-macam. Kesepakatan-kesepakatan yang lahir dari sana bukan tidak mungkin justru akan memberi angin bagi kandidat yang kalah dalam pemilu.
Nisbinya Kemenangan
Tiga kompensasi di atas memperlihatkan betapa nisbinya kemenangan elektoral. Pada banyak kasus, sebutlah misalnya Amerika Serikat, presiden terpilih Donald Trump tampak sangat rapuh di hadapan legislatif. Ia tak berhenti dikepung oleh serangan dari segala segi, yang menunjukkan bahwa kemenangan elektoral tidak secara otomatis langsung menggaransi stabilitas kursi politik sekaligus keamanan kapal koalisi di bawah kemudinya. Ringkas kata, kemenangan elektoral dapat terjungkal menjadi sekadar mitos belaka.
Oleh sebab itu, publik perlu tetap proporsional dan bijak dalam menentukan sikap berpikir pascapemilu usai. Tidak diperlukan puja-puji berbusa. Justru sebaliknya: kita harus tetap awas dalam melihat bagaimana kompensasi itu didapat, dengan mahar dan kompromi seperti apa, dan apakah di sana sedang terjadi perjudian atas nasib bangsa ke depan demi negosiasi jangka pendek. Sebagai rakyat yang memegang penuh otoritas kekuasaan sesungguhnya, kita tak pernah ingin dikorbankan.
Rendy Pahrun Wadipalapa pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya
(mmu/mmu)











































