Saking rumitnya, di hadapan para pemantau pemilu saya sering berseloroh, "Pemilu Indonesia tak hanya paling rumit di dunia, tetapi juga paling rumit di akhirat, apabila di sana ada pemilu."
Makanya ketika MK memutuskan agar pemilu presiden dan legislatif diselenggarakan secara serentak pada Pemilu 2019, sudah terbayang apa yang akan terjadi: pemilih bingung, surat suara kacau, petugas kelelahan, dan suara tidak sah meningkat tajam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, berbeda dengan Pemilu 1999 atau pemilu-pemilu Orde Baru, pada Pemilu 2004 kita menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Jika sebelumnya, saat menggunakan sistem proporsional daftar tertutup, pemilih hanya memilih gambar partai politik, kali ini pemilih memilih calon-calon yang diajukan partai politik.
Pada Pemilu 1999, peserta pemilu legislatif 48 partai politik, sehingga untuk surat suara DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, masing-masing ada 48 pilihan. Untuk memilih tiga lembaga perwakilan terdapat 144 pilihan. Selain mempermudah pemilih, sistem proporsional daftar tertutup juga meringankan beban penyelenggara.
Bandingkan dengan Pemilu 2004. Kali ini jumlah partai politik peserta pemilu 24, atau berkurang separuh dari pemilu sebelumnya. Namun karena menggunakan sistem proporsional daftar terbuka, maka pemilih dan penyelenggara menghadapi kerumitan.
Mari kita hitung. Pada Pemilu 2004, undang-undang menetapkan 3 sampai 12 kursi tersedia pada setiap daerah pemilihan untuk pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Jika dirata-rata terbentuk 8 kursi per daerah pemilihan.
Jika setiap partai politik mengajukan 8 calon di setiap daerah pemilihan, maka hitungannya adalah 24 partai politik kali 8 calon kali 3 lembaga perwakilan, sama dengan 576 calon. Dengan demikian untuk memilih wakil di 3 lembaga (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) pemilih harus menghadapi 576 calon.
Kedua, pada Pemilu 2004 untuk pertama kalinya kita memilih anggota DPD. Undang-undang mengatur, daerah pemilihan pemilu DPD adalah provinsi, dan di setiap provinsi disediakan 4 kursi perwakilan. Pemilih dipersilakan memilih salah satu, nanti suara terbanyak pertama kedua ketiga dan keempat ditetapkan menjadi calon terpilih
Apabila di setiap provinsi terdapat rata-rata 20 calon, maka pada Pemilu 2004 ketika memasuki bilik suara, pemilih mendapatkan 4 surat suara (DPD, DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) yang di dalamnya terdapat 596 calon.
Pertanyaannya, pemilih mana yang mampu bersikap rasional, jika untuk memilih 4 wakilnya, pemilih harus menghadapi 569 calon? Terlepas bagaimana cara memilihnya di kertas suara (dicoblos, dicentang, atau ditulis), inilah yang membuat The Economist menyimpulkan: pemilu legislatif pada Pemilu 2004 adalah pemilu paling rumit di dunia.
Kerumitan pemilu legislatif tidak hanya dihadapi pemilih, tetapi juga oleh penyelenggara pemilu: KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS. Mari coba kita hitung beban pekerjaan KPU dan jajaranya pada Pemilu 2009.
Pada Pemilu 2009, pemilu legislatif mencatat 171 juta pemilih yang tersebar di 519.920 TPS di seluruh Indonesia dan 873 TPS luar negeri. Untuk melayani 48 partai politik, KPU harus mencetak dan mendistribusikan 700 juta lembar surat suara yang terdiri dari 2.178 varian. Jumlah varian ini menunjukkan jumlah daerah pemilihan, yang terdiri dari daerah pemilihan pemilu DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD.
Pekerjaan KPU dan jajarannya itu berjalan linier dalam kerangka waktu yang ketat. Satu pekerjaan tidak beres, maka akan berdampak ke tahapan berikutnya.
Untuk mencetak surat suara, KPU tidak hanya harus memastikan bahwa surat suara tidak salah cetak, tetapi juga harus memastikan surat suara itu tidak mudah dipalsukan. Selanjutnya adalah mendistribusikan surat suara 520 ribu TPS di seluruh penjuru Tanah Air. Padahal mulai cetak surat suara sampai terdistribusi di TPS, KPU dan jajarannya hanya punya waktu 1,5 bulan. Ini sesungguhnya pekerjaan yang unmanageable.
Makanya tidak perlu heran jika dari pemilu legislatif yang satu ke pemilu legislatif yang berikutnya selalu saja terjadi surat suara rusak, surat suara tertukar, surat suara suara tidak datang tepat waktu, dan lain-lain.
Masalah terberat selanjutnya adalah penghitungan suara. Sungguh ini pekerjaan sangat merepotkan, karena undang-undang tidak konsisten dalam menerapkan sistem proporsional daftar terbuka. Dalam sistem itu, mestinya pemilih hanya mencoblos calon, sehingga coblosan yang lain dianggap tidak sah. Namun undang-undang bilang, pemilih juga bisa coblos partai politik. Bahkan, coblos calon dan partai politik juga dibolehkan. Implikasinya petugas pemilu di TPS (KPPS) harus melipatgandakan konsentrasi saat melihat dan mencatat coblosan yang tertera dalam surat suara.
Berapa surat suara yang harus dihitung petugas KPPS? Pada Pemilu 2009, satu TPS maksimal terdiri dari 500 pemilih. Itu artinya KPPS harus menghitung surat suara 500 kali 4 lembaga perwakilan, jadi 2000 surat suara.
Mungkin Anda akan menyanggah, jumlah pemilih yang hadir kan tidak sampai 100%? Betul. Pemilih yang hadir dalam kisaran 70-80%. Tapi bukan berarti surat suara yang tidak terpakai terus dibiarkan begitu saja. Tetap harus dihitung, ditata, dan dirapikan, lalu dicocokkan dengan surat suara yang terpakai.
Pada Pemilu 2009, saya mengikuti pekerjaan menghitung suara ini di beberapa TPS, rata-rata baru selesai jam 02.00 dini hari. Padahal petugas TPS itu sudah bekerja sejak sehari sebelum pemungutan suara. Selain sibuk mengurus kotak suara, bilik suara, surat suara, dan perlengkapan lainnya mereka juga mengeluarkan tenaga untuk mendirikan dan menata TPS.
Pada Pemilu 2014 beban pekerjaan petugas KPPS agak berkurang karena jumlah partai politik peserta pemilu hanya 12 (ditambah 3 partai lokal Aceh). Ketentuannya masih sama: satu TPS maksimal 500 pemilih.
Tahukah Anda, berapa petugas KPPS yang meninggal dunia akibat kelelahan pada Pemilu 2014? Jawabnya, 157 orang.
Saat itu, nyawa melayang akibat kelelahan mengurus pemilu di tingkat bawah (TPS) tidak mendapatkan perhatian. Keterangan KPU pun hanya dicatat seperlunya oleh media. Saya menduga (karena KPU tidak punya catatan), yang meninggal akibat kelelahan pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2004 lebih banyak, mengingat partai politik dan calonnya lebih banyak, sehingga lebih lama juga menghitungnya.
Jadi, para politisi dan pejabat mestinya tidak perlu terkesima, atau pura-pura terkesima, membaca berita banyaknya petugas KPPS yang meninggal dunia pemilu presiden dan legislatif yang diserentakkan pada Pemilu 2019 ini. Pemilu legislatif saja pada tiga pemilu sebelumnya sudah memakan demikian korban banyak, apalagi disatukan dengan pemilu presiden.
Inilah harga mahal yang harus ditanggung oleh petugas pemilu tingkat bawah akibat pembuat undang-undang pemilu (pemerintah dan DPR), yang selalu mengedepankan kepentingannya partai politik dalam mengatur pemilu. Termasuk juga harus bertanggung jawab adalah para hakim Mahkamah Konstitusi plus sejumlah pengamat dan pemantau yang sok pintar tentang pemilu.
Didik Supriyanto peminat ilmu kepemiluan
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini