Pajak berperan sebagai tulang punggung penerimaan negara. Kurang lebih 75% penerimaan negara berasal dari pajak. Menurut Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah Kontribusi Wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Target pajak setiap tahun dievaluasi dan kemudian ditetapkan kembali sebagai target tahun berikutnya. Penetapan target pajak dimuat dalam APBN dan biasanya selalu naik setiap tahunnya. Setiap tahun, pemerintah menetapkan APBN melalui persetujuan DPR. APBN memuat alokasi belanja negara disertai pemenuhannya melalui pendapatan negara maupun pembiayaan. Ibarat sebuah bahtera, APBN seolah bahan bakar yang menentukan ke mana kapal dapat berlayar hingga akhirnya mampu berlabuh. APBN menjadi motor penggerak meraih tujuan bangsa wujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur.
Dulu dan Sekarang
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 1983, pemerintah melaksanakan reformasi pajak melalui Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN) dengan mengundangkan lima paket undang-undang perpajakan, yaitu tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), PPN dan PPnBM, PBB serta Bea Meterai (BM). Sistem perpajakan yang semula official-assessment diubah menjadi self-assessment. Sejak 1984 Indonesia memasuki era baru sistem pemungutan pajak, yaitu self assessment system yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
Pertanyaan selanjutnya adalah official-assessment itu apa dan self-assessment itu apa? Secara singkat, official-assessment adalah fiskus (pegawai pajak) yang menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Sementara itu, self-assesment adalah wajib pajak yang menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Perubahan ini dianggap relevan dan tepat mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak sementara jumlah fiskus yang sedikit.
Celetukan Negatif
Dengan perubahan sistem yang mendasar tersebut, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membiasakan masyarakat dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Tidak jarang terdengar sepatah dua patah kata yang mengatakan, "Mau jadi warga negara yang baik kok ribet!" atau, "Saya sudah bayar pajak kok jalan depan rumah saya masih pada rusak?" Kadang ada juga wajib pajak yang bertanya, "Saya bayar pajak uangnya dipakai buat apa sih?"
Semua pertanyaan maupun tanggapan wajib pajak di atas bukanlah suatu halangan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), melainkan justru menjadi pelecut untuk terus memberikan pelayanan yang prima bagi masyarakat --seperti yang tertuang dalam visi DJP, yaitu menjadi institusi penghimpun penerimaan negara yang terbaik demi menjamin kedaulatan dan kemandirian negara.
DJP berhasil mencapai target penerimaannya terakhir pada 2008. Target penerimaan pajak pada 2008 sebesar Rp 535 triliun berhasil direalisasikan sebesar Rp 571 triliun atau 106,7% dari target. Jika dihitung, maka sudah satu dekade target penerimaan pajak tidak tercapai.
Mari kita lihat data tahun 2017 dan 2018. Menurut laporan keuangan DJP 2017, target penerimaan perpajakan adalah sebesar Rp 1.283,5 triliun berhasil direalisasikan sebesar Rp 1.151 triliun atau 89,67% dari target. Walaupun realisasi pertumbuhannya naik 4,07% dari tahun 2016. Sepanjang 2018, penerimaan pajak masih kurang Rp 109 triliun dari target yang ditetapkan dalam APBN sebesar Rp 1.424 triliun dengan realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 1.315 triliun atau 92,41% dari target. Yang teranyar, target penerimaan pajak tahun 2019 sebesar Rp 1.577,6 triliun. Bisakah DJP merealisasikannya?
Mengejar Target
Seperti kata peribahasa "sudah mengilang membajak pula" yang berarti tidak henti-hentinya bekerja, DJP harus terus bekerja dengan penuh integritas dan tanggung jawab dalam mengejar target penerimaan tersebut. Tapi yang perlu kita ketahui sebagai rakyat, DJP tidak akan pernah bisa mencapai tujuan tersebut sendiri, perlu dukungan dari segala pihak untuk merealisasikannya.
DJP telah membuat strategi untuk mencapai target penerimaan tersebut. Strategi tersebut ada di dalam rencana strategis DJP. Pertama, migrasi wajib pajak ke e-filing. Seperti yang kita rasakan sekarang ini semua sudah serba online, termasuk bayar dan lapor pajak juga diarahkan untuk online. Hal ini guna memudahkan wajib pajak yang sulit untuk menjangkau kantor pajak agar tetap bisa menjalankan kewajiban perpajakannya.
Kedua, secara drastis meningkatkan kapasitas call centers. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan komunikasi kepada wajib pajak. Komunikasi yang baik diharapkan dapat menambah kepercayaan masyarakat.
Ketiga, ekstensifikasi wajib pajak berbasis risiko dan IT. Strategi ini menekankan pada penambahan wajib pajak baru yang memiliki potensi perpajakan. Pada praktiknya, strategi ini telah berjalan dengan baik dan salah satu tugasnya adalah memberikan edukasi kepada wajib pajak baru.
Kegiatan lain yang telah dilakukan DJP adalah dengan membuat penyuluhan perpajakan dan kelas pajak yang didelegasikan kepada setiap Kantor Pelayanan Pajak. Semua upaya ini akan optimal jika diikuti dengan antusiasme masyarakat. Selain itu, setidaknya ada tiga saran yang bisa dipertimbangkan agar target pajak ini tercapai.
Pertama, penetapan target yang disesuaikan dengan kemampuan. Target yang ditetapkan dalam APBN tentu telah melalui berbagai pertimbangan, seperti melihat perekonomian secara makro, inflasi, dan kebijakan fiskal. Namun, target yang ditetapkan juga harus dilihat dari sisi historisnya. Kenapa tahun-tahun sebelumnya tidak tercapai, jika ada kesalahan pada internal maka harus diperbaiki, tetapi jika semua sudah baik berarti targetnya yang terlalu tinggi.
Kedua, pemerintah perlu menyatupadukan data yang ada. DJP khususnya harus bisa berkoordinasi dengan lembaga-lembaga dalam negeri maupun luar negeri agar dapat memiliki data yang utuh tentang wajib pajak. Data ini dapat digunakan sebagai penggalian potensi yang masih belum terjamah. Selagi menyatupadukan data yang ada setidaknya gunakan data yang ada secara optimal guna membantu dalam mencapai target yang ditetapkan.
Ketiga, menumbuhkan kesadaran masyarakat. DJP tidak dapat mencapai target penerimaannya sendiri. Dibutuhkan peran serta masyarakat sebagai sumber penerimaan. DJP harus bisa memastikan dan memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa uang pajak yang mereka bayarkan digunakan sebagaimana mestinya.
Masyarakat pun harus aktif mengawal penerimaan pajak dan turut serta dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Sistem self-assesment mendorong masyarakat untuk aktif dalam menjalankan kewajibannya. Masyarakat harus jujur dalam melaporkan setiap penghasilan dan hartanya. Masyarakat juga harus sadar pentingnya target yang ada di dalam APBN. Jika target penerimaan APBN tidak tercapai, maka negara harus mencari sumber penerimaan lain seperti utang yang tentunya memiliki risiko.
Marilah kita sebagai warga negara mulai menyadari pentingnya membayar pajak. Kita kawal APBN kita. Penerimaan pajak akan tercapai dengan adanya kesadaran masyarakat sebagai pembayar pajak dan fiskus yang memiliki integritas dan tanggung jawab dalam menjalankan amanah yang telah diberikan masyarakat.
Bambang Anugrah Saputro mahasiswa D3 Akuntansi Alih Program PKN STAN(mmu/mmu)