Mengevaluasi Pemilu Serentak 2019
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengevaluasi Pemilu Serentak 2019

Jumat, 26 Apr 2019 15:30 WIB
Muhammad Sufyan Abd.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Penghitungan suara di sebuah TPS di Blora, Jawa Tengah (Foto: Dok. Bawaslu Blora)
Jakarta - Laman detikcom intensif menulis berita tentang gugurnya ratusan korban jiwa dari unsur Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilu Serentak 2019. Selain KPPS, korban jiwa meninggal juga ternyata berasal dari aparat Polri dan Panwaslu yang bertugas dalam pemilu serentak pertama pasca era Reformasi ini.

Di sisi lain, kegaduhan tentang klaim kemenangan, yang menariknya disertai dengan data kuat dari masing-masing pasangan calon presiden juga terus terjadi. Hal ini menciptakan paradoks bingungnya masyarakat di tengah terus meluasnya fungsi teknologi informasi komunikasi (TIK) yang hakikatnya praktis dan memudahkan dalam pemprosesan data.

Mengapa pemilu beranggaran jumbo ini --Rp25 triliun-- memunculkan fenomena pertama kalinya munculnya korban jiwa dari sukarelawan masyarakat penyelenggara pemilu? Apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak cakap memperhitungkan operasional lapangan? Mengapa KPU tak cukup adaptif dalam penggunaan TIK guna meredam kegaduhan di ruang publik tadi?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelum menjawab pertanyaan ini, mengacu pengalaman menjadi KPPS di beberapa pemilu sekaligus Ketua Rukun Tetangga (RT), kiranya terdapat tiga masalah makro yang terus terjadi pada pelaksanaan pemilu dan berimbas ketidaknyamanan kepada KPPS dan masyarakat.

Pertama, beban pekerjaan yang diterima KPPS dari KPU jauh melampaui kapasitasnya. Atau, dengan kata lain, nyaris tidak ada distribusi peran dan tanggung jawab secara merata sekaligus proporsional terutama ketika memasuki H-1 pelaksanaan dan hari-H pelaksanaan. Hal ini tergambar dari sejumlah fase. Saat sudah muncul daftar pemilih tetap (DPT) awal, untuk kemudian harus dilakukan pencocokan dan penelitian (coklit), beban ini biasanya diberikan penuh kepada RT tanpa keterlibatan KPU di lapangan.

Faktanya kemudian, ketika DPT akhir ditetapkan dan sekaligus diberikan C6 (surat pemberitahuan mencoblos ke warga), setiap pemilu ada saja warga tak memperoleh C6 tersebut. Padahal, pemutakhiran kondisi warga, semisal pindah atau meninggal, sudah diperbarui di coklit tadi. Imbasnya adalah KPPS yang biasanya merangkap RT, sudah biasa dikomplain warga yang tak dapat C6.

Pada fase H-1, setidaknya dalam dua pemilu terakhir yang penulis alami, distribusi kotak-surat suara serta perlengkapan lainnya, selalu dikirim di atas pukul 22. Situasi ini membuat mau tak mau KPPS harus terus bersiaga bahkan begadang di lapangan padahal di pagi buta sudah harus ke TPS (Tempat Pemungutan Suara).

Hal ini patut disayangkan. Selain berulang terjadi, juga ada janji distribusi lebih cepat (dijanjikan sampai pukul 18), sehingga fisik dan psikis KPPS sebenarnya sudah kurang istirahat dengan "budaya" ngaret tersebut. Maka, lazim terjadi, KPPS dan apalagi bagian keamanan TPS hanya tidur 3-4 jam di malam sebelum pencoblosan!

Situasi ini diperparah dengan proses seleksi KPPS yang sebatas formalitas pada tes kesehatan. KPPS cukup bayar murah ke Puskesmas dan dites sekadarnya pada tensi darah, serta tinggi dan berat badan. Sepatutnya, KPU menyiapkan tes kesehatan lengkap dan profesional ke depannya.

Distribusi logistik ini pun di beberapa tempat telat sampai, bahkan baru di pagi hari pelaksanaan. Ini tentu menjadi kontras dengan persiapan KPPS dan warga yang bahu membahu menyiapkan TPS umumnya H-2 pelaksanaan sekalipun anggaran mendirikan TPS relatif terbatas.

Kedua, simplikasi dan asistansi KPU pada tanggung jawab KPPS masih kurang optimal --untuk tidak menyebut malah makin menurun pada setiap pelaksanaan pemilunya. Hal ini tergambar jelas dalam hal isian form hasil perhitungan (C1) yang rumit serta penyediaan kotak surat suara yang sama sekali tidak difasilitasi dalam Pemilu Serentak 2019.

KPPS, baik ketua dan enam anggotanya, dalam pemilu kemarin harus mengisikan manual C1 Plano, Model C1 Hologram, dan Model C1 salinan kurang lebih 250 halaman. Hal ini keniscayaan mengingat calon legislatif ada tiga wilayah dengan 16 partai yang beranggotakan rata-rata 5 calon legislatif.

Isian ini memang sudah diinfokan dalam Buku Panduan KPPS bahwa di luar Model C1 Hologram, dapat menggunakan pemindai dan printer guna meringankan beban KPPS. Tetapi, sayangnya, panduan ini sebatas himbauan yang tak difasilitasi sehingga mayoritas KPPS menyalin manual karena keterbatasan peranti keras TIK tadi. Sekali lagi, dengan anggaran pemilu terbesar sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, setidaknya KPU bisa meminjamkan peranti keras tersebut untuk bisa digunakan dalam pemilu berikutnya.

Demikian pula dengan penyediaan kotak surat suara pasca perhitungan yang selain tak disiapkan KPU, juga tidak diberikan panduan spesifikasi teknis di lapangan. Alhasil, KPPS berimprovisasi sendiri dengan konsekuensi penyiapan kotak tersebut bisa memakan waktu lebih dari dua hari mengingat banyak calon legislatif dan Dewan Perwakilan Daerah.

Karena itulah, fisik dan psikis anggota KPPS sesungguhnya sudah terkuras bahkan sebelum hari pelaksanaan pemilu. Ketika kemudian berhadapan dengan proses perhitungan dan rekapitulasi suara yang sangat memakan waktu, dan di saat bersamaan seleksi kesehatan sekedar basa-basi, maka korban jiwa tak terhindarkan.

Ketiga, KPU kurang bersungguh-sungguh dalam mengoptimalkan antusiasme serta totalitas KPPS, terutama terkait digitalisasi data. Hasil perhitungan yang memang secara legal harus dilaporkan secara manual tentunya akan lebih optimal jika KPPS diminta mengaktivasi aplikasi Android milik KPU dan KPU RI. Empat fitur di dalamya sama sekali tidak mencantumkan menu rekapitulasi data, yang antara lain, bisa dioptimalkan dengan kewajiban KPPS mengunduh foto Model C1 Plano/Hologram, untuk kemudian di-input manual ke sistem TIK oleh petugas KPU terverifikasi dan tersumpah.

Jika hal ini menjadi mandatori, saya meyakini bahwa kegaduhan ruang publik atas klaim para pihak akan mudah diredam. Bahkan, kontestan bisa malu sendiri karena seluruh data yang valid dan langsung dari lapangan bisa mudah disajikan dan dilihat bersama.

Hal ini tak tercapai karena KPU sendiri relatif tidak memberi apresiasi memadai kepada KPPS (sudah lazim kita mendengar KPPS nombok di tiap pemilu sekalipun tak dikeluhkan) dan/atau KPU relatif kurang telaten dan tekun memberikan informasi atau mempersuasi KPPS dalam mengoptimalkan sumber daya yang dimilik komisi pemilihan tersebut.

Sekalipun semua kita mengetahui bahwa perhitungan sah hanya yang manual. Namun sesuai dengan prolog tulisan ini, akan terlalu naïf kalau kita mengabaikan perubahan masif prilaku masyarakat Indonesia dalam mengakses data dan informasi.

Perbaikan ke Depan

Karena itulah, di mata saya, selama kinerja KPU setidaknya dalam dua pemilu terakhir cenderung tak kunjung membaik, seyogianya pemilu serentak tak lagi dilakukan. Tahapan pemilu presiden dan legislatif-DPD sebaiknya dipisah kembali seperti dialami penulis pada tahun 2014 lalu.

Spirit efisiensi dari pemilu serentak sesungguhnya sudah tercoreng dengan jatuhnya korban jiwa hamper 50 orang! Bujet Rp 25 triliun, dalam mata batin sosial, sejatinya telah berubah menjadi sebuah kerugian besar dengan adanya yang meninggal sebagai imbas tak ada perlakuan sikap (treatment) bertambah progresif dari KPU ke KPPS dan mitranya.

Namun sekira memang regulasi ini tak bisa lagi berubah, maka terdapat beberapa saran yang bisa dilakukan oleh para pemangku terkait. Yakni distribusi dan proporsi peran dan apresiasi dari KPU kepada KPPS ditingkatkan hingga tercapai peta peran lebih kuat.

KPU selayaknya menyeleksi sekaligus memberikan apresiasi kepada KPPS lebih baik, sehingga yang terpilih, adalah mereka ujung tombak yang bugar secara jasmani dan memadai secara psikis, sehingga beban berat pemilu serentak bisa dilewati.

KPU pun memberikan arahan tugas lebih detil dan berulang baik pra, pelaksanaan, dan pasca pemungutan suara. Bukan sekedar membebankan kepada PPKecamatan dan PPS di kelurahan yang notabene juga relawan dari masyarakat, namun langsung turun pada tahapan-tahapan krusial.

Peta peran pun harus berwujud dalam asistansi konkret KPU pada tugas yang tergolong berat bagi KPPS, terutama dalam pengisian rekapitulasi suara, demi tercapainya pelaksanaan tugas KPPS yang lebih efektif namun hasilnya tetap akurat.

Para pemangku pun jangan ragu dalam mengevaluasi jumlah anggota KPPS, terutama perlu dipertimbangkan akan adanya tambahan anggota yang sejak awal diperuntukkan untuk mengisi berbagai form yang banyak tadi. Mereka tidak terlibat proses pemungutan dan perhitungan suara, namun semata fokus pada rekapitulasi.

Semua mereka yang terlibat di lapangan, baik KPPS, Panwaslu, saksi, hingga aparat juga ke depannya diarahkan oleh KPU dalam sistem pemungutan yang lebih sederhana tanpa mengurangi kualitas pelaksanaan pemilu itu sendiri. Bukan sekedar menargetkan tenggat kotak dan surat suara harus dikembalikan ke PPS Kelurahan, namun melatih KPPS secara berulang sejak dini dan pasti dalam proses pelaksanaan pemungutan suara.

Muhammad Sufyan Abd. dosen Digital PR Telkom University, Ketua KPPS dan RT di Kota Bandung
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads