Seiring berakhirnya Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 pada 17 April lalu, polarisasi yang terbentuk karena perbedaan pilihan calon wakil rakyat, khususnya presiden-wakil presiden, seharusnya juga dapat berakhir. Beberapa bulan masa kampanye ditambah sejumlah momen sosial-politik yang muncul sebelumnya sudah sangat melelahkan bagi persatuan rakyat Indonesia. Ikatan persaudaraan banyak yang putus akibat perbedaan pilihan ini mengingat begitu tajamnya sentimen pada masing-masing pendukung.
Keterbelahan juga dirasakan oleh umat Islam. Seperti yang kita tahu, masing-masing pasangan calon menampilkan narasi keislaman dalam kampanyenya. Mendaku diri paling islami dan merasa jalan keislaman yang diperjuangkan paling kaffah sedangkan kelompok sebelah adalah salah. Sejumlah ulama tampil memoles citra calon yang didukung. Umat yang sudah kadung sami'na wa atha'na dengan ulama mati-matian membela fatwanya.
Hingar bingar dukungan ini tak tampak menggambarkan hakikat demokrasi yang sejatinya bertujuan memilih pemimpin dari calon terbaik. Sebab yang sering ditampakkan adalah upaya saling menjatuhkan melalui keburukan lawan. Mirisnya, umat Islam terbawa dengan gaya politik culas semacam ini. Bukannya mengadu gagasan masing-masing calon, terutama berkaitan dengan kepentingan umat Islam, para pendukung fanatik tersebut malah sibuk membuka aib dan menebar fitnah. Para ulama pun tak luput dari serangan-serangan ini.
Yang terjadi kemudian adalah parade caci maki dan saling sikut antarpendukung. Tuan Guru Bajang dan Ustaz Yusuf Mansur yang mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi disebut ulama yang tersandera kepentingan bisnisnya. Ustaz Abdul Somad dan sejumlah ulama yang mendukung Prabowo disebut anti NKRI dan pendukung khilafah. Adu jotos antarpendukung menjadi lebih panas di media sosial dengan perang tagar dan gambar meme yang sayangnya lebih suka menyerang pribadi dan dipenuhi hoax.
Padahal ulama adalah warasatul anbiya', pewaris para Nabi. Ia diwarisi ilmu untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan dan pesan-pesan kenabian. Oleh karenanya harus kita hormati dan muliakan. Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda, "Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama." (HR. Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami).
Di sisi lain, para ulama sebagai sang pewaris memiliki tanggung jawab menjalankan peran kenabian, tak terkecuali dalam kehidupan sosial-politik. Jangan karena kecintaannya terhadap calon yang didukung kemudian melupakan misi profetik yang disandannya. Meski politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan terdengar terhormat sebagaimana dikatakan George Orwell, maka fungsi ulama dalam arus politik ini seharusnya tetap bisa menunjukkan bahwa kebohongan tetaplah kebohongan dan pembunuhan adalah tindakan keji tak manusiawi.
Ulama diibaratkan seperti lentera. Ketika umat terjebak dalam kegelapan, ia hadir sebagai penerang yang mengantarkannya ke jalan kedamaian. Begitu pun ketika dihadapkan kepada kondisi umat yang terpecah belah akibat Pemilu. Ulama seyogyanya mampu mengajak umat tetap tenang menjaga persatuan dan keutuhan. Sebagai salah satu elite di negeri ini, ulama harus menampilkan keluhuran sikap berpolitik. Menjadi motor rekonsiliasi dua kelompok agar persatuan tidak semakin pecah.
Maka apa yang dilakukan oleh ulama di beberapa daerah patut diapresiasi. Di Jawa Timur, sejumlah ulama pendukung Jokowi dan Prabowo berkumpul menyikapi suasana politik terkini sekaligus menyeru kepada masyarakat untuk menciptakan suasana aman dan kondusif. Begitu pun yang dilakukan sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama, dan organisasi kemasyarakatan di Bogor yang melakukan deklarasi damai untuk menciptakan suasana sejuk pasca Pemilu. Jika di daerah sudah memulainya, mari kita tunggu suara ulama pendukung paslon di lingkaran pusat.
Kita juga perlu apresiasi para ulama yang sejak awal bersikap netral. Pada momen inilah perannya dibutuhkan sebagai mediator dan menjadi jembatan rekonsiliasi kedua belah pihak. Apabila elite ulama di lingkaran pusat sudah "berdamai", kita berharap hal yang sama terjadi pada umat di bawah. Setelah semua itu dilakukan, mari kita susun agenda keumatan bersama-sama. Mengawal aspirasi umat Islam dan janji-janji politik pemimpin yang terpilih dalam Pemilu 2019 ini.
Khairul Arifin warga Muhammadiyah