Terorisme di Sri Lanka
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Terorisme di Sri Lanka

Rabu, 24 Apr 2019 11:30 WIB
Irfan L. Sarhindi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Terorisme di Sri Lanka
Foto: Reuters
Jakarta - Baik Hans Rosling --dalam Falfuctness-- maupun Yuval Noah Harari --dalam Sapiens-- menilai dunia relatif lebih sejahtera dan aman ketimbang satu-dua abad silam. Perang telah menjadi opsi paling akhir, negara berlomba-lomba memperpanjang masa damai karena itu dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi-politik. Tetapi sebagaimana dicatat pula oleh Friedman, periode pasca-globalisasi ketiga ditandai oleh peralihan kekuatan dari perusahaan ke individu sehingga aksi-aksi teror yang 'menampar' keaman-tenteraman dunia bisa dilakukan oleh sekelompok kecil teroris. Dan itu pula yang terjadi baru-baru ini di Kolombo, Sri Lanka.

Pengeboman terjadi di tiga gereja --St. Anthony, St. Sebastian, dan Sion-- serta di tiga hotel mewah --Shangri-La, Cinnamon Grand, dan Kingsbury. Menewaskan lebih dari 290 orang dengan 500 lainnya mengalami luka-luka. Kepolisian setempat telah menangkap 13 orang terduga pelaku sementara tujuh lainnya dinyatakan tewas saat melancarkan aksi bom bunuh diri. Sementara belum ada satu pun organisasi teror yang mengklaim sebagai dalang, pemerintah Sri Lanka menuding National Thowheeth Jama'ath sebagai pelaku penyerangan.

Juru bicara pemerintah Rajitha Senaratne, serta Menteri Telekomunikasi Harin Fernando mengklaim bahwa sebetulnya intelijen Sri Lanka telah menerima info soal kemungkinan serangan. Tetapi fakta bahwa tidak ada follow up terhadap info tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya teror mengerikan ini, perlu diusut lebih lanjut. Selain itu, kejadian ini juga dikaitkan dengan ISIS --walaupun sudah resmi jatuh dan kalah-- serta bahwa kejadian ini diklaim dilakukan atas dasar pembalasan penembakan massal di dua Masjid di Christchurch, Selandia Baru. Darah dibalas darah?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagaimana kita ketahui, penembakan massal di Christchurch dilakukan oleh seorang kulit putih yang meyakini white supremacy dan menyalahkan Muslim atas semua kekacauan yang terjadi --menyalahkan para imigran. Tidak kurang dari 50 orang meninggal dan 50 lainnya luka-luka atas penembakan tersebut. Walaupun Senator Anning mengambil keuntungan dari kejadian itu dengan menyatakan sikap anti-Islamnya, pemerintah Selandia Baru, pemerintah Australia, serta masyarakat di kedua negara justru bersikap sebaliknya. Mereka menunjukkan simpati, empati, dan komitmen untuk menjaga harmoni dalam keberagaman.

Klaim bahwa serangan di Sri Lanka adalah balas dendam atas tragedi Christchurch memang belum sepenuhnya terbukti, tetapi bukan berarti gagasan itu akan dibuang mentah-mentah. Apalagi Sri Lanka bukan negara dengan catatan 'damai' seperti Selandia Baru. Alih-alih, Sri Lanka adalah negara dengan konflik sektarian dan perang saudara yang 'meletihkan'. Alhasil, pasca kejadian tersebut, Kepolisian Kolombo mencatat adanya serangan bom molotov terhadap sebuah masjid serta pembakaran terhadap dua toko milik warga Muslim.

Belum diketahui pasti bagaimana persoalan ini akan diselesaikan dan akan ke mana narasi pascateror ini akan berlanjut. Hanya, penting untuk mengetengahkan beberapa catatan. Pertama, setiap kali terjadi aksi teror yang pelakunya kebetulan beragama Islam, kita selalu menegaskan bahwa terorisme tidak ada hubungannya dengan agama. Tetapi apakah klaim tersebut sepenuhnya dapat diterima? Belum tentu. Kita mengerti bahwa friksi, konflik, dan kekerasan teror yang terjadi kadang diinspirasi oleh ideologi agama yang disalahpahami --terlepas dari agama apapun itu. Di Sri Lanka, contohnya, ada organisasi Bodu Bala Sena, kelompok Buddhis Garis Keras.

Tetapi, kedua, persis sejak 9/11 ada semacam kecemasan kolektif bahwa umat Islam sedang dizalimi dan dipersalahkan oleh sekelompok orang melalui perekayasaan kejahatan-kejahatan teror. Atau jika tidak, pada bagaimana media kulit putih menerapkan standar ganda terkait kejahatan teror. Muslim kemudian mendapat stereotip sebagai "punya kecenderungan teroris" sehingga melahirkan Islamofobia bagi non-Muslim, sekaligus insecurity pada diri Muslim di mana kita merasa harus menjelaskan bahwa terorisme tidak ada urusannya dengan agama setiap kali kejadian teror terjadi. Itu sebabnya kita marah ketika Anning berkomentar lalu takjub pada bagaimana PM Selandia Baru bereaksi. Kita lega melihat Islam dan Muslim tidak dipersalahkan.

Namun begitu, PM Selandia Baru terlihat seperti anomali kecil di antara kebiasaan jamak yang dianggap merugikan umat Islam. Dan anggapan tersebut muncul saking kuatnya narasi apokaliptik di dalam benak umat Islam. Bahwa ada konspirasi besar dan jahat, yang tidak kasat mata, yang sedang mengobrak-abrik dunia dan menjadikan Islam dan Muslim sebagai kambing hitam. Bahwa dunia sebentar lagi akan kiamat. Bahkan Osama bin Laden diutak-atik gathuk jadi Musa demi memperkuat gagasan pejuang lurus di masa-masa fitnah kubro ini. Greg Fealy secara jeli menangkap fenomena ini ketika menjabarkan pengeboman gereja di Surabaya.

Namun begitu, ketiga, agar fair, pada akhirnya kita harus mengakui bahwa terorisme tidak dilahirkan semata-mata oleh ideologi agama, tetapi bisa jadi lebih banyak disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap sistem politik, ketimpangan ekonomi, eksploitasi, keterasingan dari kultur dan akar, dan lain-lain. Sebagai contoh, pasca 9/11 Amerika Serikat menyerang banyak negara di Timur Tengah dengan dalih war on terror dan invasi tersebut membuat banyak orang kehilangan rumah, tercerabut hak hidup dan kemerdekaannya, dan harus berjibaku melawan maut mencari suaka ke tempat-tempat asing di mana mereka tidak selalu bisa diterima atau beradaptasi dengan baik sehingga melahirkan persoalan baru.

Kesemua itu pada akhirnya dapat menjadi amarah, dendam, yang jika dirakit dan disulut dapat melahirkan perlawanan, terorisme. Atau setidaknya, sikap antipati dengan narasi apokaliptik yang dipegang teguh. Itu sebabnya persoalan terorisme memang amat kompleks dan tidak semata soal doktrin agama walau bilang terorisme sepenuhnya terlepas dari persoalan agama juga agak kurang pas. Namun begitu, apakah itu berarti dunia memang sedang kacau-kacaunya?

Hans Rosling bilang, tidak. Untuk melihat suatu kejadian buruk butuh statistik, katanya --butuh pembanding (baik terhadap kejadian terorisme di masa lalu atau terhadap jumlah korban akibat hal lain selain terorisme) dan kita akan menemukan bahwa secara umum the world is going well. Tetapi kalau kita melihat teror Christchurch dan Sri Lanka, kita bisa menduga bahwa jangan-jangan the world is going 'right' (kanan) as well.

Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, alumnus University College London, alumnus Australia-Indonesia Muslim Exchange Program

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads