Di dalam negeri, euforia publik menyambut pemilu lebih dahsyat lagi. Sehari jelang hari pencoblosan, para perantau mudik ke kampung asal untuk memberikan suara. Terminal, bandara, pelabuhan mengalami lonjakan penumpang. Namun, keriuhan yang sebenarnya justru terjadi di media sosial. Tiga hari masa tenang pascamasa kampanye justru menjadi masa paling panas dalam seluruh tahapan pemilu.
Perang opini warganet yang sudah terjadi selama kurang lebih empat setengah tahun belakangan menemui titik kulminasinya. Saling serang tidak hanya terjadi antarpara pendukung pasangan calon presiden, namun juga melibatkan "golongan putih" (golput) yang seolah menemukan momentumnya untuk menunjukkan eksistensinya di kancah politik elektoral nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi ini sebenarnya menempatkan kita dalam situasi yang dilematis. Di satu sisi, kita patut berbangga diri bahwa sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia kita berhasil menggelar pemilu yang barangkali merupakan praktik politik praktis paling rumit di dunia. Antusisme publik, terutama pada pilpres menandai tingginya kepercayaan sekaligus harapan publik bahwa sistem politik demokrasi akan menghadirkan transformasi sosial ke arah lebih baik.
Namun, di sisi lain kita juga harus mengakui bahwa praktik demokrasi yang diwarnai oleh politik identitas, sebaran hoaks, dan eksploitasi ujaran kebencian selama empat setengah tahun terakhir ini telah menyumbang andil pada munculnya pembelahan sosial yang tajam. Masyarakat terbelah ke dalam dua kelompok besar yang dipisahkan oleh perbedaan afiliasi politik. Dua kelompok itu saling berhadapan, menegakkan fanatisme politiknya di atas klaim-klaim kebenaran yang semu. Sepanjang sejarah Indonesia pasca-Reformasi, barangkali inilah titik paling nadir kita dalam berdemokrasi.
Kita terbilang beruntung lantaran pembelahan sosial itu tidak lantas bereskalasi menjadi konflik sosial yang melibatkan sesama anak bangsa, seperti banyak terjadi di negara Timur Tengah. Selama ini, polarisasi politik itu lebih banyak diekspresikan di ranah media sosial. Meski demikian, kondisi itu tidak lantas sepenuhnya menganulir potensi konflik sosial akibat polarisasi politik tersebut. Jika kita tidak waspada, embrio konflik akibat polarisasi politik itu bisa mengecambah menjadi gesekan sosial yang mengancam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa.
Diakui atau tidak, potensi terjadinya gesekan sosial itu nyata adanya. Gejala itu setidaknya dapat didiagnosis dalam sejumlah indikasi. Indikasi yang paling mudah dilihat adalah kian mengendurnya ikatan sosial di tengah masyarakat. Semangat kekitaan yang selama ini telah menjadi semacam cultural-DNA masyarakat Indonesia mulai memudar, tergantikan oleh semangat partisan-sektarian.
Indikasi lainnya terlihat dari terjun bebasnya nilai keadaban dalam cara kita berkomunikasi. Hampir semua lapisan masyarakat, mulai dari elite sampai publik awam tampaknya telah lupa bagaimana menempatkan lawan politik sebagai pihak yang layak diperlakukan secara bermartabat. Sebaliknya, kita terjebak pada sesat pikir yang menganggap lawan politik sebagai musuh yang tidak hanya harus dikalahkan, namun juga harus direndahkan, bahkan dinistakan.
Tak ayal, komunikasi politik kita pun disesaki oleh diksi yang menunjukkan betapa miskinnya kita akan imajinasi yang konstruktif. Kita akrab dengan istilah "cebong" dan "kampret" sebagai idiom berkonotasi peyoratif untuk menyebut pendukung petahana dan oposisi. Tak jelas benar siapa yang pertama kali menginisiasi pelabelan tersebut. Namun, para buzzer politik tampaknya memiliki andil tidak sedikit dalam mengamplifikasi sebutan tersebut.
Belakangan, kaum golput pun tidak lepas dari pelabelan negatif. Kepada mereka yang memilih untuk tidak mendukung siapa pun itu, disematkan berbagai macam "gelar", mulai dari pengecut, benalu, bodoh, bahkan psycho-freak. Praktik komunikasi yang demikian itu tidak hanya aneh dan membingungkan, namun juga menimbulkan semacam ironi dan absurditas.
Momentum Penting
Hasil pemilu kali ini bisa dipastikan tidak akan memuaskan bagi semua pihak. Sebagaimana galibnya sebuah kontestasi politik, pasti akan ada pihak yang tampil sebagai pemenang dan pihak yang tersungkur dalam kekalahan. Juga akan muncul ketidakpuasan dari pihak yang kalah. Sepanjang tidak bereskalasi menjadi upaya untuk mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu, ketidakpuasan itu tentu wajar adanya sebagai bagian dari kronik demokrasi.
Pemilu kali ini adalah momentum penting bagi bangsa, tidak hanya dalam konteks suksesi kekuasaan tertinggi atau juga sirkulasi elite legislatif, namun juga bagi konsolidasi demokrasi secara lebih luas. Saat ini, kita dihadapkan pada dua pilihan jalan. Pertama, ke arah yang berujung pada rekonsiliasi; atau kedua, kembali menuju polarisasi yang tak berujung.
Kita tentu berharap langkah bangsa ini mengayun ke arah yang pertama, yakni ke jalan rekonsiliasi. Langkah ini terutama harus dimulai oleh para elite politik yang terlibat langsung dalam kontestasi elektoral Pemilu 2019. Bagi pihak yang menang, kita berharap mereka tidak menjadikan kemenangannya sebagai pembenaran untuk bersikap jemawa. Sebaliknya, bagi mereka yang kalah, kita berharap kekalahan itu disikapi dengan kesatria dan legawa. Ungkapan itu barangkali terdengar klise dan normatif. Namun, bukankah kehidupan hanyalah rangkaian dari hal-hal klise dan normatif?
Nurrochman mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini