Menjelang pelaksanaan pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap tegas untuk tidak memasukkan nama Oesman Sapta Odang (OSO) ke bursa calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). KPU menegaskan bahwa dasar dari tindakan tersebut adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.30/PUU-XVI/2018 yang telah ditindaklanjuti ke dalam Peraturan KPU No.26/2018 yang melarang pengurus (fungsionaris) parpol mendaftar menjadi calon anggota DPD.
Sebelumnya, melalui putusan No.30/PUU-XVI/2018, MK telah menegaskan ruang lingkup frasa "pekerjaan lain" pada Pasal 182 huruf l UU No.7/2017. Frasa "pekerjaan lain" menurut MK bertentangan secara bersyarat dengan konstitusi dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus parpol. Dengan demikian, pengurus parpol tidak dapat lagi mencalonkan diri sebagai calon anggota dewan, khususnya DPD.
Bagaikan dua sisi mata uang, putusan MK No.30/PUU-XVI/2018 pada satu sisi dapat dipandang responsif. Pasalnya, ruang lingkup frasa "pekerjaan lain" memang tidak dijelaskan secara lebih lanjut dalam UU No.7/2017 sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum di ruang publik. Tetapi, pada sisi lain MK melalui penafsirannya telah melakukan pembatasan hak asasi manusia (HAM), khususnya terhadap pelaksanaan hak politik warga negara.
Pertanyaan yang kemudian muncul: apakah tepat pembatasan pelaksanaan hak politik warga negara dilakukan oleh MK melalui putusannya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menyimpangi Ketentuan
Kerangka doktrinal HAM universal memang membenarkan kekuasaan negara untuk membatasi pelaksanaan hak asasi warga negara. Sebab, tidak semua HAM bersifat absolut. Beberapa di antaranya justru mengandung fleksibilitas. Salah satunya adalah hak untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD, yang merupakan bagian dari hak politik. Kendati demikian, dapat atau tidaknya hak politik dibatasi tidak membuat hak tersebut menjadi tidak lebih penting dibandingkan dengan hak yang lain.
Pembatasan hak politik harus dilaksanakan untuk tujuan tertentu dan dicantumkan dalam hukum nasional. Berdasarkan Pasal 28J ayat (2) konstitusi, ada dua tujuan yang melegitimasi negara untuk melakukannya. Pertama, untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak orang lain. Kedua, untuk memenuhi keadilan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Atas dasar itu, ketika negara telah melaksanakan pembatasan HAM, setiap warga negara akan tunduk pada pembatasan.
Apabila merujuk pada putusan No.30/PUU-XVI/2018, maka terbaca dua alasan pokok MK dalam menafsirkan frasa "pekerjaan lain" pada Pasal 182 huruf l UU No.7/2017. Pertama, DPD secara fungsional didesain sebagai pengimbang bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk dapat menjadi pengimbang, anggota DPD harus berasal dari luar parpol. Tujuannya adalah supaya kebutuhan serta kepentingan daerah dapat disuarakan dan diperjuangkan secara murni oleh DPD.
Kedua, persyaratan pengurus parpol tidak boleh menjadi anggota DPD juga bertujuan untuk mencegah distorsi politik berupa lahirnya perwakilan ganda (double representation) dari parpol dalam pengambilan keputusan di DPR.
Kedua, persyaratan pengurus parpol tidak boleh menjadi anggota DPD juga bertujuan untuk mencegah distorsi politik berupa lahirnya perwakilan ganda (double representation) dari parpol dalam pengambilan keputusan di DPR.
Pembatasan hak politik pada dasarnya hanya dapat dilakukan oleh dan berdasarkan atas kehendak warga negara karena mereka merupakan pemilik genuine dari hak tersebut (rights holder). Dalam konteks kelembagaan negara, DPR merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukannya. Hal ini didasarkan pada desain ketatanegaraan yang menempatkan DPR sebagai lembaga yang dimandatkan oleh warga negara untuk merepresentasikan kepentingannya.
Konsekuensinya, dalam konteks hierarki peraturan perundang-undangan, instrumen hukum yang dibenarkan untuk membatasi hak politik hanyalah produk hukum yang dikeluarkan oleh DPR, yaitu undang-undang, bukan yang lain. Karena itu, pada Pasal 28J ayat (2) konstitusi, frasa yang digunakan dalam merumuskan mekanisme pembatasan HAM adalah "dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang", bukan konstitusi, apalagi putusan MK.
Keberadaan putusan No.30/PUU-XVI/2018 mengindikasikan bahwa MK menyimpangi ketentuan prosedural dalam mekanisme pembatasan HAM, khususnya mengenai persyaratan kelembagaan dan produk hukumnya. Kendati MK berwenang menafsirkan pasal-pasal konstitusi, penafsiran tersebut seharusnya ditujukan untuk menjaga keutuhan HAM, bukan malah dalam rangka membatasi HAM yang telah dijamin oleh konstitusi. Itulah sebabnya MK disebut sebagai the guardian of constitution.
Di samping itu, berbeda dari DPR yang dilembagakan sebagai wujud perwakilan warga negara sehingga dilegitimasi untuk membatasi HAM, MK lebih dihadirkan sebagai mekanisme kontrol untuk membatasi peran dan kekuasaan negara serta untuk menjamin hak asasi setiap warga negara. Pembatasan hak politik melalui putusan MK dengan demikian tidak tepat secara prosedural.
Kekosongan Hukum
Apabila putusan MK tidak dibenarkan untuk membatasi hak politik, maka penafsiran MK terhadap frasa "pekerjaan lain" pada Pasal 182 huruf l UU No.7/2017 berpotensi menimbulkan kekosongan hukum. Pasalnya, adalah ketidakniscayaan bagi DPR untuk membentuk suatu undang-undang yang nantinya akan mengatur mengenai pembatasan hak politik dalam tempo yang singkat.
Salah satu cara untuk mengisi kekosongan hukum akibat dari adanya putusan MK tersebut adalah dengan membentuk Peraturan Presiden (Perpres) tentang tindak lanjut terhadap putusan MK yang berdimensi pembatasan HAM. Terdapat dua alasan pembenar yang membuat Perpres menjadi pilihan yang tepat. Pertama, berdasarkan Pasal 1 ayat (6) jo Pasal 13 UU No.12/2011, Perpres dibentuk dalam rangka melaksanakan tugas dari kekuasaan pemerintahan.
Merujuk pada doktrin HAM internasional, kekuasaan pemerintahan ditugaskan untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect) HAM, tidak terkecuali terhadap hak politik. Di samping itu, berdasarkan Pasal 28I ayat (4) konstitusi jo Pasal 8 UU No.39/1999, kekuasaan pemerintahan dibebankan tanggung jawab untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM. Kendati Perpres bukan undang-undang dan tidak dibentuk oleh DPR, pembentukan Perpres dalam rangka membatasi hak politik dapat difungsikan sebagai jawaban atas tanggung jawab kekuasaan pemerintahan terhadap HAM.
Merujuk pada doktrin HAM internasional, kekuasaan pemerintahan ditugaskan untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect) HAM, tidak terkecuali terhadap hak politik. Di samping itu, berdasarkan Pasal 28I ayat (4) konstitusi jo Pasal 8 UU No.39/1999, kekuasaan pemerintahan dibebankan tanggung jawab untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM. Kendati Perpres bukan undang-undang dan tidak dibentuk oleh DPR, pembentukan Perpres dalam rangka membatasi hak politik dapat difungsikan sebagai jawaban atas tanggung jawab kekuasaan pemerintahan terhadap HAM.
Kedua, prosedur pembentukan Perpres cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan pembentukan undang-undang. Corak pembentukan undang-undang guna membatasi hak politik tentu saja akan lebih kompleks mengingat kuatnya tarik-ulur kepentingan politik di kalangan anggota DPR. Sedangkan dalam pembentukan Perpres, berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU No.12/2011 jo Perpres No.87/2014, Presiden berdaulat secara personal dan profesional untuk memberikan izin perencanaan penyusunan Rancangan Perpres serta menetapkan Rancangan tersebut menjadi Perpres.
Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) dan (2) Perpres No.87/2014, dalam keadaan yang mendesak, tanpa adanya izin dari Presiden terlebih dahulu, Rancangan Perpres bahkan dapat langsung dibahas oleh menteri dan/atau pimpinan lembaga pemerintahan non-kementerian untuk kemudian diajukan kepada Presiden dan/atau ditetapkan secara langsung oleh Presiden menjadi Perpres.
Pembentukan Perpres dalam mengatur pembatasan hak politik dengan demikian tidak sekadar dipandang sebagai pengejawantahan dari tugas kekuasaan pemerintahan. Tetapi, juga dapat memperkuat dimensi putusan MK yang bersifat final dan legally binding di masa yang akan datang, sehingga putusan MK tetap berimplikasi secara luas dan berlaku bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Selain itu, keberadaan Perpres sebagai substitusi dari undang-undang dalam membatasi hak politik juga dapat mencegah terjadinya tumpang-tindih wewenang pembatasan HAM antara MK dengan DPR secara kelembagaan.
Sahid Hadi peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII)
(mmu/mmu)
Sahid Hadi peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini